- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Harusnya Ini Makna Al-Maidah Yang Di ucap Ahok


TS
Desyselviany
Harusnya Ini Makna Al-Maidah Yang Di ucap Ahok
Gan, Jujur sebenernya ane udah males sama kasus Ahok :cih :cih
Beritanya berseri, lebih panjang dari pelem Misteri Gunung Berapi :dor :dor :dor
Tapi hati nurani ane juga watir, ia watir aja kalo ane diem aja sedangkan ane tau ada ketidak adilan yang lagi dialamin orang dalam menuju Pilgub DKI Jakarta
Jadi ane gak ada maksud lain yah, cuma mau menyebarkan bagian dari yang menurut ane benar :kangen
Agan Protes di sini bole, maki bole, tukar pikiran bole
Yang penting kita tetep
okeeeeh
kita saling berbagi aja okeeeeh
kalo ane boleh berbagi apa yang menurut ane bener, maka agan juga punya hak dalam membagi apa yang menurut agan bener
kita dewasa aja disini okeeeeeeh
Nah ane nemu tulisan gan, dari pengamat Jurnalistik gitu, dia menelisik dari transkip Buni Yani yang juga sebagai mantan Jurnalis dan sekaligus dosen jurnalistik di sebuah Kampus
dalam tulisan yang ane share
ini menggali maksud dari isi transkip Buni Yani
langsung aja yah gan simak, agak panjang tapi bacanya harus jelas, biar gak jadi paham penistaan
Assalamu alaikumwa rahmatullahi wa barakatuh. Salam sejahtera buat kita semua.
Indonesia sekarang memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan dalam perkembangan hukumnya sejak Negara seolah-olah tidak tampil di saat ia seharusnya hadir, terutama bila kasusnya menyangkut organisasi massa. Peristiwa seperti ini mencolok sekali bila kasusnya menyangkut agama atau agama dibawa-bawa. Kasus yang sangat mencolok adalah ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dituduh menista agama Islam.
Pertanyaan tentunya benarkah Ahok menista agama Islamkarena mengatakan kepada pendengarnya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, supaya mereka para nelayan tidak usah merasa tidak enak kalau tidak memilih Ahok karena ditakut-takuti orang pakai Surah Almaidah ayat 51? Ataukah Ahok justru menjadi korban dari perbuatan tidak bertanggung jawab orang bernama Buni Yani?
Saya tidak ingin masuk ke soal hukum di sini karena itu bukan bidang saya, tapi saya akan melihatnya deri segi pers/jurnalistik.
Harus kita ingat bahwa selama sembilan hari sejak Ahok menyampaikan pidatonya di Pulau Pramuka pada 27 September 2016, tidak ada reaksi dari siapa pun, termasuk anggota DPR, lurah dan pejabat DKI lainnya yang hadir di sana dan mendengar sendiri ucapan Ahok.
Kegaduhan baru muncul setelah Buni Yani (mantan?) wartawan, dosen ilmu komunikasi sebuah lembaga pendidikan jurnalistik dan public relations di Jakarta, membuat dan mengedit transkrip pidato Ahok dengan cara membuang kata “pake” dari kalimatnya dan menambah kalimat “apakah ini penistaan agama?”
Mari kita lihat apa yang terjadi di sini. Ada satu orang yang menggunakan kepandaian jurnalistiknya untuk melakukan editing/menyunting, dengan sengaja mengedit kalimat itu, membuang kata “pake” dan menambahkan kalimat tanya yang provokatif dan menimbulkan kemarahan masyarakat pembacanya. Dia lalu meng-upload hasil editingnya dalam transkrip di account-nya tanpa menyebut sumber video yang dia transkrip itu.
Dengan kata lain, dalam jurnalisme itu merupakan perbuatan plagiarisme. Di atas segala-galanya, dia melakukan editing itu dengan niat jahat, ada ill intent, dalam istilah hukum, ada mens rea (rencana jahat). Ketika dia menerbitkan editingnya dia sudah melakukan actual malice, yang dalam istilah hukum disebut actus reus perbuatan jahat. Jadi ada niat jahat, ada perbuatan jahat, maka lengkaplah tindakan melakukan kejahatan itu atau perbuatan kriminal dengan segala akibatnya yang memecah belah bangsa.
Pertanyaan Anda barangkali adalah dari mana saya bisa mengatakan bahwa Buni Yani ada niat jahat ketika membuat transkrip dan mengedit pidato Ahok.
Pengalaman saya selama tiga tahun sebagai Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat di Dewan Pers, kalau kita ingin menilai apakah dalam suatu berita ada kesalahan, maka kita harus melihat berita itu secara keseluruhan, dari A sampai Z. Dan dasar penilaian kita adalah Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 thn 1999 tentang Pers atau UU Pers. Dari situ akan segera kelihatan apakah tulisan itu melanggar Pasal 1, 2, 3, 4 dan 5 (pasal-pasal yang paling sering dilanggar) natau pasal lainnya dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Mari kita lihat video pidato Ahok di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 yang jadi sumber kontroversi itu. Video itu durasinya satu jam 40 menit.
Sebagai jurnalis kita melihat beberapa elemen penting untuk dijadikan berita, yaitu:
Program perbaikan ekonomi nelayan dengan pembagian keuntungan 80:20 persen; → 10 persen akan dikembalikan ke koperasi untuk pembangunan prasarana; →program sudah berjalan sejak 2015.
Jawaban Ahok kepada seorang ibu tentang kelanjutan program itu bila kelak Ahok tidak terpilih sebagai gubernur → Tetap jabat gubernur sampai Oktober 2017 →Al-Maidah 51;
Dialog Ahok dengan nelayan soal kerja keras dan naik haji/umroh → “kebijakan hablun minallah wa hablun minannas.”
Kalau Anda atau saya menulis berita kunjungan Ahok ke Kepulauan Seribu, mungkin sekali yang kita angkat sebagai lead adalah, misalnya:
“Ahok menawarkan program bagi hasil 80:20 kepada nelayan Kepulauan Seribu untuk mengangkat mereka keluar dari kemiskinan.”
Atau
“Ahok jamin program bagi hasil dengan nelayan Kepulauan Seribu jalan terus walau tidak terpilih lagi karena masa kerjanya masih sampai Oktober 2017.“
Atau
“Ahok yakinkan nelayan Kepulauan Seribu tak usah takut tidak memilih dia jika khawatir berdosa melanggar Al-Maidah 51.”
Atau, kalau Anda ingin mengangkat kebijakan Ahok yang islami, Anda menulis:
“Ahok: Kebijakan saya mengikuti ‘Hablun minallah wa hablun minannas’.”
Tetapi, karena di dalam kepalanya sudah ada rencana jahat, ada ill intent, maka Buni Yani, dengan pengetahuannya sebagai wartawan, dia mengedit kalimat Ahok sedemikian rupa sehingga kalimat yang telah diedit itu menghasilkan makna berbeda atau bertentangan dengan kalimat aslinya.
Dengan kata lain, dia mengedit kalimat/ucapan Ahok dengan niat jahat (actual malice).
Kita semua, sebagai wartawan, tahu tentang fungsi editing. Apa lagi dia sebagai dosen ilmu komunikasi pula, dia tentu tahu, bagaimana dampak negatif suatu berita yang diolah dengan niat jahat. Kita semua tahu bahwa fungsi editing adalah untuk:
Menjamin akurasi (kecermatan) berita
Membuang kata-kata yang tidak penting (hemat kata/economic of words)
Memperbaiki/menghaluskan bahasa
Memperbaiki inkonsistensi
Membuang “libelous statements”(penyataan/kata-kata yang bersifat menghina)
Membuang kalimat/paragraf yang mengadung kata-kata buruk (poor state)
Menjamin bahwa berita itu dipahami (readable) dan lengkap.
Membuat berita itu mengikuti gaya penulisan media bersangkutan
Tapi, Buni Yani, dengan sengaja melanggar prinsip/fungsi editing (editing function) itu supaya tujuannya untuk mendiskreditkan Ahok tercapai, yaitu dengan secara sadar dan sengaja membuang kata “pakai” dari kalimat asli Ahok, yang berbunyi: “Jangan percaya sama orang … dibohongin pakai surat al-Maidah 51.”
Dengan mengedit (membuang) kata “pakai” dari kalimat itu, maka kalimat Ahok menjadi “…dibohongin surat al-Maidah.”
Kalimat yang telah diedit itu lantas bermakna Surat Al Maidah 51 itu bohong. Inilah bukti bahwa Buni Yani dengan sengaja mengedit kalimat yang diucapkan Ahok itu demikian rupa karena dia ada niat jahat, ada actual malice.
Contoh:
Seorang ulama mengatakan, “Budak pun tidak boleh dirudapaksa.” Kalau seseorang mengedit kalimat itu dengan niat jahat, maka dia akan membuang kata “tidak” dari kalimat itu. Sehingga, kalimat yang sudah diedit itu akan berbunyi, “Budak pun boleh dirudapaksa.”
Makna dari kalimat yang sudah diedit itu jelas sangat berbeda bahkan bertentangan dengan kalimat aslinya.
Kita lihat sekarang beberapa akibat dari perbuatannya itu:
Berapa banyak energi bangsa ini yang habis terkuras akibat perbuatan actual malice-nya Buni Yani?
Berapa milyar pemerintah harus keluarkan untuk polisi dan militer menjaga keamanan selama dua hari demonstrasi besar pada 2/11 dan 4/12?
Berapa juta jam kerja produktif yang hilang?
Friends jadi unfriends?
Bangsa ini terpecah karena perbuatannya. Keluarga terpecah karena selisih faham; Bahkan ulama terpecah. Malah ada ulama yang begitu benci pada Ahok sehingga dia mengatakan, “kita tunggu saja dua minggu ini. Kalau Ahok tidak ditangkap, ya, Presidennya kita turunkan.”
Dan Ahok, yang sama sekali tidak berbuat satu kesalahan pun, tidak pernah menyebut kata “ulama” selama pidatonya di Kepulauan Seribu, terpaksa menghadapi meja hijau.
Ini semua terjadi karena perbuatan satu orang yang dengan niat jahatnya, menggunakan keahlian jurnalistiknya telah melakukan actual malice.
Perpecahan itu semakin terasa sekarang karena adanya sekelompok masyarakat yang berusaha memaksakan kemauannya, meletakkan hukum di dalam tangannya, mengambil alih fungsi penegak hukum.
Saya khawatir, mereka ini salah menafsirkan kebijakan akomodatif yang ditempuh Kapolri Tito Karnavian dan Panglima TNI Gatot sebagai kelemahan Pemerintah.
Saya pikir, sekarang sudah waktunya aparat pemerintah–Polisi dan TNI—mengatakan: Stop! Enough is enough. Cukup sampai di sini, sebelum terjadi bentrokan horizontal.
Dan ini semua terjadi karena seorang Buni Yani menggunakan kepandaian jurnalistiknya untuk melakukan perbuatan jahat, actual malice. Sehingga berita itu menjadi:
Tidak akurat, tidak berimbang dan beniat buruk (melanggar Pasal 1 KEJ);
Dia menemapuh cara-cara yang tidak professional (mengedit dan menambahkan opini –melanggar Pasal 2 KEJ)
Mencampurkan fakta dan opini (kalimat “Apa ini merupakan penistaan agama?” –Melanggar Pasal 3 KEJ)
Menampilkan berita yang bersifat fitnah (Melanggar Pasal 4 KEJ).
Seandainya Buni Yani ada niat baik, dia mengangkat lead yang menampilkan pendekatan islami Ahok dalam kebijakannya yang “hablun minallah wa hablun minannas” mungkin sekali semua kiyai, semua ulama, semua habib dan habaib akan mengangkat tangan mereka dan berdoa, “Ya, Allah, Ahok sudah melakukan perintahmu, maka turunkanlah hidayahMu kepadanya supaya dia segera masuk Islam. Amiiin.”
Dari paparan ini, saya ingin sekali mengatakan bahwa kita telah melihat bahwa dengan menyeret Ahok ke meja hijau sebenarnya Negara, dalam hal ini polisi, sudah salah mempidana orang error in persona tapi saya tidak mau masuk ke bidang hukum karena itu bukan bidang saya. Saya hanya bisa mengatakan Ahok is a victim of an actual malice story. Ahok adalah korban dari berita yang dibuat dengan niat jahat.
Terima kasih.
Wa billahittaufiq wal huidayah. Wassalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Abdullah Alamudi
Dosen Jurnalistik di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Akademisi Televisi Indonesia dan Mantan Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat di Dewan Pers
Bahan ini disampaikan di Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konsitusi (AMSIK), Kamis, 22 Desember 2016.
UPDATE GAN ANE NEMU VIDEO INI
Ternyata Orang Pulo Seribunya adem ayem aja gan
Lah kenapa kita yang ke kotaan pada ribut yah
Yang komen bawa-bawa tanggal 25 udahan yah gan OOT aseli
kembali ke topik yah cintaaaa
Ini ane page one komen-komen Ganteng yah
Komen Tergereget
Nah yang ini nanti ane jelasin di Thread berikutnya yah gan
Sumber Gan
Beritanya berseri, lebih panjang dari pelem Misteri Gunung Berapi :dor :dor :dor
Tapi hati nurani ane juga watir, ia watir aja kalo ane diem aja sedangkan ane tau ada ketidak adilan yang lagi dialamin orang dalam menuju Pilgub DKI Jakarta



Jadi ane gak ada maksud lain yah, cuma mau menyebarkan bagian dari yang menurut ane benar :kangen
Agan Protes di sini bole, maki bole, tukar pikiran bole


kita saling berbagi aja okeeeeh
kalo ane boleh berbagi apa yang menurut ane bener, maka agan juga punya hak dalam membagi apa yang menurut agan bener
kita dewasa aja disini okeeeeeeh

Nah ane nemu tulisan gan, dari pengamat Jurnalistik gitu, dia menelisik dari transkip Buni Yani yang juga sebagai mantan Jurnalis dan sekaligus dosen jurnalistik di sebuah Kampus
dalam tulisan yang ane share

langsung aja yah gan simak, agak panjang tapi bacanya harus jelas, biar gak jadi paham penistaan

Quote:
Ahok Korban Perbuatan “Actual Malice”
Oleh: Abdullah Alamudi
Oleh: Abdullah Alamudi
Assalamu alaikumwa rahmatullahi wa barakatuh. Salam sejahtera buat kita semua.
Indonesia sekarang memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan dalam perkembangan hukumnya sejak Negara seolah-olah tidak tampil di saat ia seharusnya hadir, terutama bila kasusnya menyangkut organisasi massa. Peristiwa seperti ini mencolok sekali bila kasusnya menyangkut agama atau agama dibawa-bawa. Kasus yang sangat mencolok adalah ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dituduh menista agama Islam.
Pertanyaan tentunya benarkah Ahok menista agama Islamkarena mengatakan kepada pendengarnya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, supaya mereka para nelayan tidak usah merasa tidak enak kalau tidak memilih Ahok karena ditakut-takuti orang pakai Surah Almaidah ayat 51? Ataukah Ahok justru menjadi korban dari perbuatan tidak bertanggung jawab orang bernama Buni Yani?
Saya tidak ingin masuk ke soal hukum di sini karena itu bukan bidang saya, tapi saya akan melihatnya deri segi pers/jurnalistik.
Harus kita ingat bahwa selama sembilan hari sejak Ahok menyampaikan pidatonya di Pulau Pramuka pada 27 September 2016, tidak ada reaksi dari siapa pun, termasuk anggota DPR, lurah dan pejabat DKI lainnya yang hadir di sana dan mendengar sendiri ucapan Ahok.
Kegaduhan baru muncul setelah Buni Yani (mantan?) wartawan, dosen ilmu komunikasi sebuah lembaga pendidikan jurnalistik dan public relations di Jakarta, membuat dan mengedit transkrip pidato Ahok dengan cara membuang kata “pake” dari kalimatnya dan menambah kalimat “apakah ini penistaan agama?”
Mari kita lihat apa yang terjadi di sini. Ada satu orang yang menggunakan kepandaian jurnalistiknya untuk melakukan editing/menyunting, dengan sengaja mengedit kalimat itu, membuang kata “pake” dan menambahkan kalimat tanya yang provokatif dan menimbulkan kemarahan masyarakat pembacanya. Dia lalu meng-upload hasil editingnya dalam transkrip di account-nya tanpa menyebut sumber video yang dia transkrip itu.
Dengan kata lain, dalam jurnalisme itu merupakan perbuatan plagiarisme. Di atas segala-galanya, dia melakukan editing itu dengan niat jahat, ada ill intent, dalam istilah hukum, ada mens rea (rencana jahat). Ketika dia menerbitkan editingnya dia sudah melakukan actual malice, yang dalam istilah hukum disebut actus reus perbuatan jahat. Jadi ada niat jahat, ada perbuatan jahat, maka lengkaplah tindakan melakukan kejahatan itu atau perbuatan kriminal dengan segala akibatnya yang memecah belah bangsa.
Pertanyaan Anda barangkali adalah dari mana saya bisa mengatakan bahwa Buni Yani ada niat jahat ketika membuat transkrip dan mengedit pidato Ahok.
Pengalaman saya selama tiga tahun sebagai Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat di Dewan Pers, kalau kita ingin menilai apakah dalam suatu berita ada kesalahan, maka kita harus melihat berita itu secara keseluruhan, dari A sampai Z. Dan dasar penilaian kita adalah Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 thn 1999 tentang Pers atau UU Pers. Dari situ akan segera kelihatan apakah tulisan itu melanggar Pasal 1, 2, 3, 4 dan 5 (pasal-pasal yang paling sering dilanggar) natau pasal lainnya dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Mari kita lihat video pidato Ahok di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 yang jadi sumber kontroversi itu. Video itu durasinya satu jam 40 menit.
Sebagai jurnalis kita melihat beberapa elemen penting untuk dijadikan berita, yaitu:
Program perbaikan ekonomi nelayan dengan pembagian keuntungan 80:20 persen; → 10 persen akan dikembalikan ke koperasi untuk pembangunan prasarana; →program sudah berjalan sejak 2015.
Jawaban Ahok kepada seorang ibu tentang kelanjutan program itu bila kelak Ahok tidak terpilih sebagai gubernur → Tetap jabat gubernur sampai Oktober 2017 →Al-Maidah 51;
Dialog Ahok dengan nelayan soal kerja keras dan naik haji/umroh → “kebijakan hablun minallah wa hablun minannas.”
Kalau Anda atau saya menulis berita kunjungan Ahok ke Kepulauan Seribu, mungkin sekali yang kita angkat sebagai lead adalah, misalnya:
“Ahok menawarkan program bagi hasil 80:20 kepada nelayan Kepulauan Seribu untuk mengangkat mereka keluar dari kemiskinan.”
Atau
“Ahok jamin program bagi hasil dengan nelayan Kepulauan Seribu jalan terus walau tidak terpilih lagi karena masa kerjanya masih sampai Oktober 2017.“
Atau
“Ahok yakinkan nelayan Kepulauan Seribu tak usah takut tidak memilih dia jika khawatir berdosa melanggar Al-Maidah 51.”
Atau, kalau Anda ingin mengangkat kebijakan Ahok yang islami, Anda menulis:
“Ahok: Kebijakan saya mengikuti ‘Hablun minallah wa hablun minannas’.”
Tetapi, karena di dalam kepalanya sudah ada rencana jahat, ada ill intent, maka Buni Yani, dengan pengetahuannya sebagai wartawan, dia mengedit kalimat Ahok sedemikian rupa sehingga kalimat yang telah diedit itu menghasilkan makna berbeda atau bertentangan dengan kalimat aslinya.
Dengan kata lain, dia mengedit kalimat/ucapan Ahok dengan niat jahat (actual malice).
Kita semua, sebagai wartawan, tahu tentang fungsi editing. Apa lagi dia sebagai dosen ilmu komunikasi pula, dia tentu tahu, bagaimana dampak negatif suatu berita yang diolah dengan niat jahat. Kita semua tahu bahwa fungsi editing adalah untuk:
Menjamin akurasi (kecermatan) berita
Membuang kata-kata yang tidak penting (hemat kata/economic of words)
Memperbaiki/menghaluskan bahasa
Memperbaiki inkonsistensi
Membuang “libelous statements”(penyataan/kata-kata yang bersifat menghina)
Membuang kalimat/paragraf yang mengadung kata-kata buruk (poor state)
Menjamin bahwa berita itu dipahami (readable) dan lengkap.
Membuat berita itu mengikuti gaya penulisan media bersangkutan
Tapi, Buni Yani, dengan sengaja melanggar prinsip/fungsi editing (editing function) itu supaya tujuannya untuk mendiskreditkan Ahok tercapai, yaitu dengan secara sadar dan sengaja membuang kata “pakai” dari kalimat asli Ahok, yang berbunyi: “Jangan percaya sama orang … dibohongin pakai surat al-Maidah 51.”
Dengan mengedit (membuang) kata “pakai” dari kalimat itu, maka kalimat Ahok menjadi “…dibohongin surat al-Maidah.”
Kalimat yang telah diedit itu lantas bermakna Surat Al Maidah 51 itu bohong. Inilah bukti bahwa Buni Yani dengan sengaja mengedit kalimat yang diucapkan Ahok itu demikian rupa karena dia ada niat jahat, ada actual malice.
Contoh:
Seorang ulama mengatakan, “Budak pun tidak boleh dirudapaksa.” Kalau seseorang mengedit kalimat itu dengan niat jahat, maka dia akan membuang kata “tidak” dari kalimat itu. Sehingga, kalimat yang sudah diedit itu akan berbunyi, “Budak pun boleh dirudapaksa.”
Makna dari kalimat yang sudah diedit itu jelas sangat berbeda bahkan bertentangan dengan kalimat aslinya.
Kita lihat sekarang beberapa akibat dari perbuatannya itu:
Berapa banyak energi bangsa ini yang habis terkuras akibat perbuatan actual malice-nya Buni Yani?
Berapa milyar pemerintah harus keluarkan untuk polisi dan militer menjaga keamanan selama dua hari demonstrasi besar pada 2/11 dan 4/12?
Berapa juta jam kerja produktif yang hilang?
Friends jadi unfriends?
Bangsa ini terpecah karena perbuatannya. Keluarga terpecah karena selisih faham; Bahkan ulama terpecah. Malah ada ulama yang begitu benci pada Ahok sehingga dia mengatakan, “kita tunggu saja dua minggu ini. Kalau Ahok tidak ditangkap, ya, Presidennya kita turunkan.”
Dan Ahok, yang sama sekali tidak berbuat satu kesalahan pun, tidak pernah menyebut kata “ulama” selama pidatonya di Kepulauan Seribu, terpaksa menghadapi meja hijau.
Ini semua terjadi karena perbuatan satu orang yang dengan niat jahatnya, menggunakan keahlian jurnalistiknya telah melakukan actual malice.
Perpecahan itu semakin terasa sekarang karena adanya sekelompok masyarakat yang berusaha memaksakan kemauannya, meletakkan hukum di dalam tangannya, mengambil alih fungsi penegak hukum.
Saya khawatir, mereka ini salah menafsirkan kebijakan akomodatif yang ditempuh Kapolri Tito Karnavian dan Panglima TNI Gatot sebagai kelemahan Pemerintah.
Saya pikir, sekarang sudah waktunya aparat pemerintah–Polisi dan TNI—mengatakan: Stop! Enough is enough. Cukup sampai di sini, sebelum terjadi bentrokan horizontal.
Dan ini semua terjadi karena seorang Buni Yani menggunakan kepandaian jurnalistiknya untuk melakukan perbuatan jahat, actual malice. Sehingga berita itu menjadi:
Tidak akurat, tidak berimbang dan beniat buruk (melanggar Pasal 1 KEJ);
Dia menemapuh cara-cara yang tidak professional (mengedit dan menambahkan opini –melanggar Pasal 2 KEJ)
Mencampurkan fakta dan opini (kalimat “Apa ini merupakan penistaan agama?” –Melanggar Pasal 3 KEJ)
Menampilkan berita yang bersifat fitnah (Melanggar Pasal 4 KEJ).
Seandainya Buni Yani ada niat baik, dia mengangkat lead yang menampilkan pendekatan islami Ahok dalam kebijakannya yang “hablun minallah wa hablun minannas” mungkin sekali semua kiyai, semua ulama, semua habib dan habaib akan mengangkat tangan mereka dan berdoa, “Ya, Allah, Ahok sudah melakukan perintahmu, maka turunkanlah hidayahMu kepadanya supaya dia segera masuk Islam. Amiiin.”
Dari paparan ini, saya ingin sekali mengatakan bahwa kita telah melihat bahwa dengan menyeret Ahok ke meja hijau sebenarnya Negara, dalam hal ini polisi, sudah salah mempidana orang error in persona tapi saya tidak mau masuk ke bidang hukum karena itu bukan bidang saya. Saya hanya bisa mengatakan Ahok is a victim of an actual malice story. Ahok adalah korban dari berita yang dibuat dengan niat jahat.
Terima kasih.
Wa billahittaufiq wal huidayah. Wassalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Abdullah Alamudi
Dosen Jurnalistik di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Akademisi Televisi Indonesia dan Mantan Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat di Dewan Pers
Bahan ini disampaikan di Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konsitusi (AMSIK), Kamis, 22 Desember 2016.
UPDATE GAN ANE NEMU VIDEO INI
Ternyata Orang Pulo Seribunya adem ayem aja gan

Lah kenapa kita yang ke kotaan pada ribut yah


Yang komen bawa-bawa tanggal 25 udahan yah gan OOT aseli

kembali ke topik yah cintaaaa

Ini ane page one komen-komen Ganteng yah

Quote:
Original Posted By deakparujar►tarik ke diri sendiri aja, bnyk juga tu ulama2 ente, jelek2in non muslim waktu ceramah di mesjid atau lg ada perwiritan, sebalik nya jg, ada jg ceramah non muslim yg jelekkin islam, apalagi yg ceramah mualaf dan murtadin, tpi gk pnah ada yg sibuk ngelapor ke polisi, tpi knp krn cuma ahok nyinggung ayat almaidah tanpa ada ejekan atau hinaan, semua pada heboh?, jelas dikasus ini dipolitisir.
Quote:
Original Posted By fireinthedeep►nasbung mana paham UU No. 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik
suruh jelasin unsur berita kredibel aja kejang-kejang
suruh jelasin unsur berita kredibel aja kejang-kejang

Quote:
Original Posted By HabenkDF►Bagi ane yang menyebarkan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat itu lebih menistakan agama islam. Apa pernah islam mengajarkan untuk membenci suatu kaum atau orang? Makanya ini bahayanya kalo belajar agama di ajarin ama guru yang salah atau yang ngajarin itu radikal. Kalo kayak gini yang ngancurin islam malah bukan orang diluar islam tetapi orang2 radikal didalam islam itu sendiri.
Quote:
Original Posted By granit.fico►nungguin telolet aja dah
Quote:
Original Posted By aswono►kalau orang yang ngikutin perkembangan berita, dimulai dari keluarnya ahok dari partai pendukungnya ketika jadi cawagub sampai jadi gubernur DKI, pasti deh paham dengan apa maksud ahok nyinggung Surat Al-Maidah 51 tsb.
begitu banyak cara dan upaya untuk menjatuhkan dia, tapi mental semua. Termasuk cara sebagian orang yang mengutip Surat Al-Maidah 51 untuk menolak/menjatuhkannya.
Tapi kenyataannya akan berbeda seandainya ahok masih tetap berada dalam partai pengusungnya ketika jadi cawagub.
menurut penilaian gue pribadi, gak maksud dia meleceh Ayat tsb.
begitu banyak cara dan upaya untuk menjatuhkan dia, tapi mental semua. Termasuk cara sebagian orang yang mengutip Surat Al-Maidah 51 untuk menolak/menjatuhkannya.
Tapi kenyataannya akan berbeda seandainya ahok masih tetap berada dalam partai pengusungnya ketika jadi cawagub.
menurut penilaian gue pribadi, gak maksud dia meleceh Ayat tsb.
gue bukan pendukung ahok ataupun anti dia, karna KTP gue bukan madein DKI 

Komen Tergereget

Quote:
Original Posted By sniper.v►Saijaaa sebahagai moeslim djoestroe ternista oleh sikap dan pernjataan sodara moeslim saijaa ijaang djoewaoeh dari nilai Islam ijang saijaa peladjari di Pondok Salap dan Madrasah ...
Oentoek sodarakoe ijang non moeslim, mohon sekiranja dimakloemi bahwasanja masih banjak soedara moeslim ijaang otaknja masih pentioem tiga.
Mari bersama tetap toleran mendjaga kedamaian di Boemi Hindia tertjinta ini dengan semangat berkobar mengedepanken ideologi Pantjasila kita dengan didasarken atas kejakinan masing-masing ...
Oentoek sodarakoe ijang non moeslim, mohon sekiranja dimakloemi bahwasanja masih banjak soedara moeslim ijaang otaknja masih pentioem tiga.
Mari bersama tetap toleran mendjaga kedamaian di Boemi Hindia tertjinta ini dengan semangat berkobar mengedepanken ideologi Pantjasila kita dengan didasarken atas kejakinan masing-masing ...
Nah yang ini nanti ane jelasin di Thread berikutnya yah gan
Quote:
Original Posted By Kadudulz►bner kn klo emang ahok salah harus tabayyun dlu panggil orang ny ke MUI, jelasin apa maksud klo dirasa kg ada NIAT a.k.a kepleset yg diberi teguran SP1 nah klo masih melakukan dengan SENGAJA baru di laporin.
klo sudah di laporin kg ada respon baru demo dll
si buni pun ane lihat dengan sengaja menghimpun massa dari postingan fb nya (bolasalju) alangkah baik nya jika melaporkan ke pihak berwajib biar media yg blow up.
apapun hasil nya nanti semua pihak bisa menerima nya
klo sudah di laporin kg ada respon baru demo dll
si buni pun ane lihat dengan sengaja menghimpun massa dari postingan fb nya (bolasalju) alangkah baik nya jika melaporkan ke pihak berwajib biar media yg blow up.
apapun hasil nya nanti semua pihak bisa menerima nya

Sumber Gan
Diubah oleh Desyselviany 25-12-2016 02:04
0
23.5K
Kutip
206
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan