- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kakek Ini Punya Cara Beda Melihat Kekalahan Timnas U19


TS
iogia
Kakek Ini Punya Cara Beda Melihat Kekalahan Timnas U19
Agans, rasanya campur-campur nonton Timnas U19 kalah lagi. Sedih dan kecewa, karena harapan yang sudah begitu tinggi harus sirna. Tapi sekaligus bangga, bahwa dari permainan dan sikap mental anak-anak Garuda Muda itu, kita punya gambaran tentang sepakbola di tanah air.
Bukan bermaksud menghibur diri, Emha Ainun Nadjib berusaha menempatkan kekalahan Timnas U19 agar pas. Semoga bisa menjadi bahan refleksi bersama. Salam Indonesia!

Terima kasih sudah reply gan.
Update:
Update:
Bukan bermaksud menghibur diri, Emha Ainun Nadjib berusaha menempatkan kekalahan Timnas U19 agar pas. Semoga bisa menjadi bahan refleksi bersama. Salam Indonesia!

Quote:
U19, Senja dan Fajar
Yangon - Kalau ada di antara Anda yang berusia setua saya dan punya anak atau cucu umur 18-19 tahun, kalau sempat nanti tolong sempatkan diri menatap wajahnya.
Sambil mengagumi gagah tubuhnya, amati ekspressi airmukanya, menyelamlah ke dalam kandungan sorot matanya. Jiwanya sedang pancaroba: ia masih membawa kesejatian batin dari Tuhan penciptanya, tapi juga sedang mulai meng-akses dunia orang dewasa, yang tingkat komplikasi tata-nilainya baru sangat sedikit mereka pahami.
Persentuhan 'asal usul' dan 'sangkan paran' (budaya manusia dewasa yang tidak bisa mereka elakkan untuk secara dinamis 'menggerus' jiwa mereka) akan bisa berharmoni, tapi mungkin juga akan bertubrukan, bertentangan, dan akan ada yang terbunuh dari bagian-bagian batin anak cucu kita 19 tahun itu.
Usia mereka adalah era persimpangan, pertempuran orientasi, komplek nilai-nilai yang mendera. Kita semua orang-orang tua harus memberi perhatian khusus kepada kondisi mereka, dan mengupayakan sekecil mungkin kita lakukan kesalahan di dalam memperlakukan mereka pada ranah nilai apapun yang berkaitan dengan dinamika kejiwaan mereka.
Beberapa puluh di antara anak cucu kita itu, yang sejumlah 23 pemuda di antara mereka sedang berada di Myanmar hari-hari ini, yang di pundak mereka kita letakkan beban yang sangat berat, harapan, tuntutan, kewajiban, atau apapun saja namanya yang intinya adalah 'Indonesia menang', dikasih jembatan yang bernama 'Ayo Indonesia Bisa'.
Tuntutan yang berskala nasional itu bisa jadi tidak sekedar berkonteks sepakbola, tapi juga merupakan keluaran dari kompleks kekalahan-kekalahan nasional di segala bidang: frustrasi politik, ketidakamanan beragama, kegamangan demokrasi, disinformasi informasi, ketidakjelasan bernegara, ketidak-berwajahan kebudayaan, bahkan juga stress sehari-hari setiap orang, dari PKL yang lari-lari tergusur hingga orang parlemen yang sakit hati dan pemenang yang pelantikannya terulur-ulur.
Ada yang mengatakan "Sesungguhnya rakyat Indonesia tidak memperlukan Pemerintah yang baik. Pemerintah dan Negara ada atau tidak sebenarnya juga relatif legitimasi kerakyatannya. Kalau ada Pemerintah korupsi, nggak apa-apa juga asal jangan terlalu berlebihan. Atau kalau terpaksanya Pemerintah memang direstui Tuhan pekerjaannya ngrepotin rakyat dan mentikusi harta rakyat, mungkin tidak terlalu masalah juga – asalkan timnas sepakbola kita menang.
'Timnas menang' itu hari ini bak gunung di punggung kesebelasan U19 kita, dan untuk anak cucu kita usia 18-19 tahun gunung itu bisa saja tak tersangga dengan cukup kuat, meskipun sudah selalu ada refreshing agar mereka "bermain tanpa beban saja". Mereka turun ke lapangan dicambuki oleh teriakan-teriakan "Ayo! Indonesia Bisa!" – secara psikologis kalimat itu lebih logis diucapkan oleh atmosfir ketidak-bisaan nasional kita di banyak bidang. Sebagai kakek saya mungkin ikut berteriak "Ayo, kamu bisa!”, dan teriakan itu landasan faktanya adalah karena saya sendiri selama ini nggak bisa-bisa.
Dalam pertandingan melawan Uzbekistan saya merasakan sendiri beratnya beban anak cucu 19 tahun itu. Mereka bermain tidak tanpa beban, melakukan beberapa kesalahan sehingga gol di gawang mereka. Padahal sebenarnya kelas mereka sama sekali tidak di bawah Uzbekistan. Tatkala pulang dari stadion naik bus dan ketika makan bersama, saya pandangi wajah-wajah mereka, dan sungguh tidak tega. Saya tidak bisa tidur, sampai kemudian berbincang dengan coach Indra Sjafri dan coach lainnya, juga dengan Pak Djohar Arifin, baru saya 'hidup' lagi.
Ternyata saya pun hanya orang-kecil salah satu penduduk Nusantara yang hati saya hari-hari ini sangat tergantung kepada acak cucu saya sendiri. Sedemikian lemahnya saya. Pak Djohar bilang ke wartawan "Cak Nun ini aktif mengawal pembinaan U19 di Yogya, beliau orang tuanya anak-anak kita itu di sana.." – dan ternyata itu tidak tepat amat. Sebab justru sayalah yang sangat bergantung kepada kekaguman dan kebanggaan saya kepada acak cucu 19 tahun itu.
Saya tidak mengerti sepakbola, maka saya Tanya kepada seorang teman dan ia berceramah bahwa:
"Timnas Indonesia U19 itu pernah jaya di tahun 1961. Saat itu Juara di Asia ketika turnamen berlangsung di Bangkok. Kondisi saat itu hampir sama dengan sekarang, konflik di PSSI. Kemudian U19 pernah lolos ke Piala Asia lagi tahun 1978. Gagal total, tapi lolos ke piala dunia karena dinilai pembinaan pemainnya bagus. Saat itu yang boleh lolos ke Piala Dunia adalah Finalis, jadi 2 tim saja.
Indonesia saat itu hanya sampai semifinal. Alasan FIFA saat itu hanya karena Indonesia memiliki sistem pembinaan pemain yang bagus, juga punya turnamen di kelompok usia yang lengkap, jadi diloloskan ke Piala Dunia. Harusnya yang lolos Irak, tapi ada dugaan konflik di FIFA, maka Indonesia yang lolos. Tampil di Piala Dunia U20, tapi gagal total juga. Dibantai Argentina 0-5, dihajar Yugoslavia 0-5 dan dibantai Polandia 0-6. SEA Games 1991 adalah prestasi tertinggi Indonesia, meraih medali emas.
Setelahnya langganan runner-up, baik di Sea Games maupun di AFF Cup (keduanya turnamen ASEAN). Piala AFF U19 2013 yang lalu sebenarnya juga dipandang sebelah mata. Masyarakat Indonesia mencapai titik jenuh karena sepakbola tidak menampilkan prestasi yang lebih tinggi dari sekedar runner up. Gegap gempita AFF U19 tidak seperti AFF 2010 yang lalu (timnas senior).
Begitu tembus semifinal dan final, Masyarakat baru sadar ada timnas yang baru yang memiliki masa depan cerah. Evan Dimas Juara, dan sebulaan setelahnya berhasil lolos ke Piala Asia U19 setelah menyapu bersih 3 pertandingan kualifikasi Piala Asia di Jakarta melawan Laos, Philipina dan Korea Selatan.
Akibat jarang berprestasi, maka masyarakat memukul rata, nggak peduli timnas U19, U23 atau yang senior, pokoknya Indonesia harus juara. Harapan muncul di Timnas U19 ini. Makanya untuk Piala Asia ini agak rame sambutannya. Padahal kalau dibilang level, ini hanya U19."
Mendengar ceramah kawan itu saya menemukan betapa bodoh dan kejamnya saya: diam-diam menuntut anak-cucu saya sendiri untuk pasti harus lolos ke Piala Dunia seakan-akan kita sudah langganan masuk ke putaran Piala Dunia.
Maka, berkat teman itu, ketika seorang wartawan bertanya, "Apakah U19 ini merupakan harapan bagi kebangkitan sepakbola Indonesia?" Saya menjawab, "Sudah bangkit! Anak-anak ini dengan para pemimpinnya sudah berlaku benar, baik dan khusyu, tidak hanya sebagai pemain sepakbola, tapi juga sebagai Manusia-Sepakbola dengan segala faktor kemanusiaan dan dimensi-dimensi psikologisnya, tidak hanya menghitung komposisi kepribadian per-individu, tapi juga latar belakang budayanya, level sosialnya, bahkan tradisi spiritualnya. Kita sudah bangkit. Kita sudah mulai berbuat benar dalam bersepakbola"
"Bukankah kebaikan ditentukan oleh kemenangan?"
"Ya. Saya juga ingin mereka menang dan lolos. Tapi itu bukan satu-satunya faktor. Sebagaimana Anda kimpoi terus istrimu hamil, atau Anda bertani terus panen: hamil dan panen itu bagian Tuhan. Bagian kita adalah berjuang menghamili, berjuang menanam, berjuang menjalankan budaya dan mental persepakbolaan yang benar. Andaikan mereka tidak lolos, saya tetap kagum dan bangga berdasarkan sejarah prestasi mereka selama ini. Saya tetap cinta mereka."
Tentu saja omongan saya yang kayak gitu tidak akan keluar di media massa apapun. Dan memang sebaiknya tidak dimuat, karena saya bukan pelaku sepakbola, bukan pengurus sepakbola, dan tidak punya posisi apapun di U19 maupun di persepakbolaan nasional.
Saya sekedar seorang kakek yang memprihatini masakini Indonesia dan mencintai kebangunan masa depannya. Ada bagian dari Indonesia yg sedang melangkah pasti menuju jurang kematian, ada bagian lain dari Indonesia yg diam-diam sedang menyusun kelahiran dan bahkan sudah lahir, sebagaimana U19 dalam persepakbolaan maupun "19" di bidang pertanian, innovasi tekonologi, kedewasaan beragama, kematangan pembelajaran politik dlsb. saya juga saya temani hampir tiap hari di berates-ratus wilayah Negeri ini.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang sedang memasuki senja dan siap tenggelam dalam di kegelapan malam, ada yang sedang memancarkan matahari baru di fajar hari.
Ada bagian dari Indonesia gegap gempita memuncaki kehancuran, ada bagian lain dari Indonesia yang tak kentara sedang menata kebangkitan.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang riuh-rendah menyempurnakan kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia yang tersembunyi dari pemberitaan sedang merintis kesejatian.
Ada bagian dari Indonesia yang habis-habisan menyebarkan sihir, takhayul dan halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia yang menaburkan kasunyatan kebenaran.
Ada bagian dari Indonesia yang mati-matian menyebarkan kecemasan, kesedihan dan pertengkaran, ada bagian lain dari Indonesia yang berkelana menyemarakkan persaudaraan, kesatuan dan kegembiraan.
Ada bagian dari Indonesia yg melemparkan sebagian bangsanya ke masa silam, ada bagian lain dari Indonesia yang merintis pembuatan fondasi dan batubata masa depan.
Di bagian fajar hari itulah saya hadir.
Yangon, 11 Oktober 2014.
====
*Emha Ainun Nadjibadalah tokoh intelektual Indonesia. Penyuka sastra, seni, dan agama. Saat ini sedang mengikuti perjalanan Timnas U-19 di Myanmar.
Sumur
Yangon - Kalau ada di antara Anda yang berusia setua saya dan punya anak atau cucu umur 18-19 tahun, kalau sempat nanti tolong sempatkan diri menatap wajahnya.
Sambil mengagumi gagah tubuhnya, amati ekspressi airmukanya, menyelamlah ke dalam kandungan sorot matanya. Jiwanya sedang pancaroba: ia masih membawa kesejatian batin dari Tuhan penciptanya, tapi juga sedang mulai meng-akses dunia orang dewasa, yang tingkat komplikasi tata-nilainya baru sangat sedikit mereka pahami.
Persentuhan 'asal usul' dan 'sangkan paran' (budaya manusia dewasa yang tidak bisa mereka elakkan untuk secara dinamis 'menggerus' jiwa mereka) akan bisa berharmoni, tapi mungkin juga akan bertubrukan, bertentangan, dan akan ada yang terbunuh dari bagian-bagian batin anak cucu kita 19 tahun itu.
Usia mereka adalah era persimpangan, pertempuran orientasi, komplek nilai-nilai yang mendera. Kita semua orang-orang tua harus memberi perhatian khusus kepada kondisi mereka, dan mengupayakan sekecil mungkin kita lakukan kesalahan di dalam memperlakukan mereka pada ranah nilai apapun yang berkaitan dengan dinamika kejiwaan mereka.
Beberapa puluh di antara anak cucu kita itu, yang sejumlah 23 pemuda di antara mereka sedang berada di Myanmar hari-hari ini, yang di pundak mereka kita letakkan beban yang sangat berat, harapan, tuntutan, kewajiban, atau apapun saja namanya yang intinya adalah 'Indonesia menang', dikasih jembatan yang bernama 'Ayo Indonesia Bisa'.
Tuntutan yang berskala nasional itu bisa jadi tidak sekedar berkonteks sepakbola, tapi juga merupakan keluaran dari kompleks kekalahan-kekalahan nasional di segala bidang: frustrasi politik, ketidakamanan beragama, kegamangan demokrasi, disinformasi informasi, ketidakjelasan bernegara, ketidak-berwajahan kebudayaan, bahkan juga stress sehari-hari setiap orang, dari PKL yang lari-lari tergusur hingga orang parlemen yang sakit hati dan pemenang yang pelantikannya terulur-ulur.
Ada yang mengatakan "Sesungguhnya rakyat Indonesia tidak memperlukan Pemerintah yang baik. Pemerintah dan Negara ada atau tidak sebenarnya juga relatif legitimasi kerakyatannya. Kalau ada Pemerintah korupsi, nggak apa-apa juga asal jangan terlalu berlebihan. Atau kalau terpaksanya Pemerintah memang direstui Tuhan pekerjaannya ngrepotin rakyat dan mentikusi harta rakyat, mungkin tidak terlalu masalah juga – asalkan timnas sepakbola kita menang.
'Timnas menang' itu hari ini bak gunung di punggung kesebelasan U19 kita, dan untuk anak cucu kita usia 18-19 tahun gunung itu bisa saja tak tersangga dengan cukup kuat, meskipun sudah selalu ada refreshing agar mereka "bermain tanpa beban saja". Mereka turun ke lapangan dicambuki oleh teriakan-teriakan "Ayo! Indonesia Bisa!" – secara psikologis kalimat itu lebih logis diucapkan oleh atmosfir ketidak-bisaan nasional kita di banyak bidang. Sebagai kakek saya mungkin ikut berteriak "Ayo, kamu bisa!”, dan teriakan itu landasan faktanya adalah karena saya sendiri selama ini nggak bisa-bisa.
Dalam pertandingan melawan Uzbekistan saya merasakan sendiri beratnya beban anak cucu 19 tahun itu. Mereka bermain tidak tanpa beban, melakukan beberapa kesalahan sehingga gol di gawang mereka. Padahal sebenarnya kelas mereka sama sekali tidak di bawah Uzbekistan. Tatkala pulang dari stadion naik bus dan ketika makan bersama, saya pandangi wajah-wajah mereka, dan sungguh tidak tega. Saya tidak bisa tidur, sampai kemudian berbincang dengan coach Indra Sjafri dan coach lainnya, juga dengan Pak Djohar Arifin, baru saya 'hidup' lagi.
Ternyata saya pun hanya orang-kecil salah satu penduduk Nusantara yang hati saya hari-hari ini sangat tergantung kepada acak cucu saya sendiri. Sedemikian lemahnya saya. Pak Djohar bilang ke wartawan "Cak Nun ini aktif mengawal pembinaan U19 di Yogya, beliau orang tuanya anak-anak kita itu di sana.." – dan ternyata itu tidak tepat amat. Sebab justru sayalah yang sangat bergantung kepada kekaguman dan kebanggaan saya kepada acak cucu 19 tahun itu.
Saya tidak mengerti sepakbola, maka saya Tanya kepada seorang teman dan ia berceramah bahwa:
"Timnas Indonesia U19 itu pernah jaya di tahun 1961. Saat itu Juara di Asia ketika turnamen berlangsung di Bangkok. Kondisi saat itu hampir sama dengan sekarang, konflik di PSSI. Kemudian U19 pernah lolos ke Piala Asia lagi tahun 1978. Gagal total, tapi lolos ke piala dunia karena dinilai pembinaan pemainnya bagus. Saat itu yang boleh lolos ke Piala Dunia adalah Finalis, jadi 2 tim saja.
Indonesia saat itu hanya sampai semifinal. Alasan FIFA saat itu hanya karena Indonesia memiliki sistem pembinaan pemain yang bagus, juga punya turnamen di kelompok usia yang lengkap, jadi diloloskan ke Piala Dunia. Harusnya yang lolos Irak, tapi ada dugaan konflik di FIFA, maka Indonesia yang lolos. Tampil di Piala Dunia U20, tapi gagal total juga. Dibantai Argentina 0-5, dihajar Yugoslavia 0-5 dan dibantai Polandia 0-6. SEA Games 1991 adalah prestasi tertinggi Indonesia, meraih medali emas.
Setelahnya langganan runner-up, baik di Sea Games maupun di AFF Cup (keduanya turnamen ASEAN). Piala AFF U19 2013 yang lalu sebenarnya juga dipandang sebelah mata. Masyarakat Indonesia mencapai titik jenuh karena sepakbola tidak menampilkan prestasi yang lebih tinggi dari sekedar runner up. Gegap gempita AFF U19 tidak seperti AFF 2010 yang lalu (timnas senior).
Begitu tembus semifinal dan final, Masyarakat baru sadar ada timnas yang baru yang memiliki masa depan cerah. Evan Dimas Juara, dan sebulaan setelahnya berhasil lolos ke Piala Asia U19 setelah menyapu bersih 3 pertandingan kualifikasi Piala Asia di Jakarta melawan Laos, Philipina dan Korea Selatan.
Akibat jarang berprestasi, maka masyarakat memukul rata, nggak peduli timnas U19, U23 atau yang senior, pokoknya Indonesia harus juara. Harapan muncul di Timnas U19 ini. Makanya untuk Piala Asia ini agak rame sambutannya. Padahal kalau dibilang level, ini hanya U19."
Mendengar ceramah kawan itu saya menemukan betapa bodoh dan kejamnya saya: diam-diam menuntut anak-cucu saya sendiri untuk pasti harus lolos ke Piala Dunia seakan-akan kita sudah langganan masuk ke putaran Piala Dunia.
Maka, berkat teman itu, ketika seorang wartawan bertanya, "Apakah U19 ini merupakan harapan bagi kebangkitan sepakbola Indonesia?" Saya menjawab, "Sudah bangkit! Anak-anak ini dengan para pemimpinnya sudah berlaku benar, baik dan khusyu, tidak hanya sebagai pemain sepakbola, tapi juga sebagai Manusia-Sepakbola dengan segala faktor kemanusiaan dan dimensi-dimensi psikologisnya, tidak hanya menghitung komposisi kepribadian per-individu, tapi juga latar belakang budayanya, level sosialnya, bahkan tradisi spiritualnya. Kita sudah bangkit. Kita sudah mulai berbuat benar dalam bersepakbola"
"Bukankah kebaikan ditentukan oleh kemenangan?"
"Ya. Saya juga ingin mereka menang dan lolos. Tapi itu bukan satu-satunya faktor. Sebagaimana Anda kimpoi terus istrimu hamil, atau Anda bertani terus panen: hamil dan panen itu bagian Tuhan. Bagian kita adalah berjuang menghamili, berjuang menanam, berjuang menjalankan budaya dan mental persepakbolaan yang benar. Andaikan mereka tidak lolos, saya tetap kagum dan bangga berdasarkan sejarah prestasi mereka selama ini. Saya tetap cinta mereka."
Tentu saja omongan saya yang kayak gitu tidak akan keluar di media massa apapun. Dan memang sebaiknya tidak dimuat, karena saya bukan pelaku sepakbola, bukan pengurus sepakbola, dan tidak punya posisi apapun di U19 maupun di persepakbolaan nasional.
Saya sekedar seorang kakek yang memprihatini masakini Indonesia dan mencintai kebangunan masa depannya. Ada bagian dari Indonesia yg sedang melangkah pasti menuju jurang kematian, ada bagian lain dari Indonesia yg diam-diam sedang menyusun kelahiran dan bahkan sudah lahir, sebagaimana U19 dalam persepakbolaan maupun "19" di bidang pertanian, innovasi tekonologi, kedewasaan beragama, kematangan pembelajaran politik dlsb. saya juga saya temani hampir tiap hari di berates-ratus wilayah Negeri ini.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang sedang memasuki senja dan siap tenggelam dalam di kegelapan malam, ada yang sedang memancarkan matahari baru di fajar hari.
Ada bagian dari Indonesia gegap gempita memuncaki kehancuran, ada bagian lain dari Indonesia yang tak kentara sedang menata kebangkitan.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang riuh-rendah menyempurnakan kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia yang tersembunyi dari pemberitaan sedang merintis kesejatian.
Ada bagian dari Indonesia yang habis-habisan menyebarkan sihir, takhayul dan halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia yang menaburkan kasunyatan kebenaran.
Ada bagian dari Indonesia yang mati-matian menyebarkan kecemasan, kesedihan dan pertengkaran, ada bagian lain dari Indonesia yang berkelana menyemarakkan persaudaraan, kesatuan dan kegembiraan.
Ada bagian dari Indonesia yg melemparkan sebagian bangsanya ke masa silam, ada bagian lain dari Indonesia yang merintis pembuatan fondasi dan batubata masa depan.
Di bagian fajar hari itulah saya hadir.
Yangon, 11 Oktober 2014.
====
*Emha Ainun Nadjibadalah tokoh intelektual Indonesia. Penyuka sastra, seni, dan agama. Saat ini sedang mengikuti perjalanan Timnas U-19 di Myanmar.
Sumur
Terima kasih sudah reply gan.
Spoiler for Ini Komentar terpilih:
Quote:
Original Posted By romanzieyuri►keren ini kakek gan.
bener kata dia kalo kemenangan juga harus ada campur tangan tuhan.
yang penting udah berusaha dan udah bawa nama indonesia. mereka harus dihargai
bener kata dia kalo kemenangan juga harus ada campur tangan tuhan.
yang penting udah berusaha dan udah bawa nama indonesia. mereka harus dihargai
Quote:
Original Posted By genocide8►
setuju gan, kasian. mereka masih 19 tahun tapi di kasih ekspetasi tinggi. dan pas gagal di caci maki, padahal remaja lain umur 19 tahun tuh lagi senang senang tapi mereka kerja keras buat indonesia
setuju gan, kasian. mereka masih 19 tahun tapi di kasih ekspetasi tinggi. dan pas gagal di caci maki, padahal remaja lain umur 19 tahun tuh lagi senang senang tapi mereka kerja keras buat indonesia

Quote:
Original Posted By semarsengkuni►Sepakat dengan Cak Nun, gan. Yang terpenting adalah prosesnya. Jika proses benar dan baik, maka hasil baik bisa dibilang tinggal selangkah lagi. Jika hasil yang diutamakan, bisa jadi itu karena faktor lucky. Sedangkan jika proses yang diutamakan, maka itu bisa menjadi sistem yang kelak akan memproduksi keberhasilan-keberhasilan. Jika lebih berorientasi hasil, percayalah selangkangan lebih maju.
Quote:
Original Posted By liverpudlian679►Cak Nun memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Timnas U-19 sejak sekitar 6 bulan yang lalu. Coach Indra Sjafri bahkan beberapa kali datang ke rumah Cak Nun untuk meminta nasihat atau berkeluh kesah ketika Timnas U-19 ini mendapat masalah.
Cak Nun beserta istrinya Ibu Novia Kolopaking berinisiatif sendiri berangkat ke Myanmar untuk menonton pertandingan fase grup Piala Asia U-19. Disaat sebagian dari masyarakat kita menghina-hina kegagalan Evan Dimas dkk, Cak Nun hadir sebagai orang tua bagi Evan Dimas dkk untuk mensupport agar mereka tidak patah arang.
Ingat gan, Evan Dimas dkk masih 19 tahun usianya, jalan mereka masih panjang. Ini bukan apologi, Jerman saja membutuhkan waktu 12 tahun untuk menjadi Juara Dunia 2014, dimana mereka memiliki infrastruktur dan kompetisi yang kuat.
Foto Cak Nun ketika menyambut Evan Dimas dkk di Hotel tempat mereka menginap setelah dikalahkan Australia.

Cak Nun beserta istrinya Ibu Novia Kolopaking berinisiatif sendiri berangkat ke Myanmar untuk menonton pertandingan fase grup Piala Asia U-19. Disaat sebagian dari masyarakat kita menghina-hina kegagalan Evan Dimas dkk, Cak Nun hadir sebagai orang tua bagi Evan Dimas dkk untuk mensupport agar mereka tidak patah arang.
Ingat gan, Evan Dimas dkk masih 19 tahun usianya, jalan mereka masih panjang. Ini bukan apologi, Jerman saja membutuhkan waktu 12 tahun untuk menjadi Juara Dunia 2014, dimana mereka memiliki infrastruktur dan kompetisi yang kuat.
Foto Cak Nun ketika menyambut Evan Dimas dkk di Hotel tempat mereka menginap setelah dikalahkan Australia.

Quote:
Original Posted By daedra►kalah
ya kalah gan,,dan disaat inilah mental mereka diuji,,,bisakah mereka
bangkit di tengah badai kritik,,atau malah terpuruk,,ini juga
''seharusnya'' jadi cambuk bwt PSSI,,klub2 di Indonesia harus lebih
professional,,dan kompetisi kompetitif untuk pemain2 muda lebih
teratur,,sekarang evan dimas dkk itu main di tim mane sih?,seharusnya
kan ikut liga kompetitif yaitu ISL,,kenyataannya mereka dibina oleh
timnas,,bukan oleh klub mereka,,kalau gini terus,,ya susah mau bersaing
dengan negara lain.....,,kalau ane liat sih,,kalau dikritik sedikit aja dah nangis,,gimana mau jadi pesepakbola hebat??mudah2an mental mereka jadi lebih kuat lah setelah ini,,sorry klo kepanjangan
ya kalah gan,,dan disaat inilah mental mereka diuji,,,bisakah mereka
bangkit di tengah badai kritik,,atau malah terpuruk,,ini juga
''seharusnya'' jadi cambuk bwt PSSI,,klub2 di Indonesia harus lebih
professional,,dan kompetisi kompetitif untuk pemain2 muda lebih
teratur,,sekarang evan dimas dkk itu main di tim mane sih?,seharusnya
kan ikut liga kompetitif yaitu ISL,,kenyataannya mereka dibina oleh
timnas,,bukan oleh klub mereka,,kalau gini terus,,ya susah mau bersaing
dengan negara lain.....,,kalau ane liat sih,,kalau dikritik sedikit aja dah nangis,,gimana mau jadi pesepakbola hebat??mudah2an mental mereka jadi lebih kuat lah setelah ini,,sorry klo kepanjangan
Update:
Update:
Quote:
Original Posted By liverpudlian679►Pagi tadi Cak Nun diminta oleh Coach Indra Sjafri untuk kembali menyemangati Evan Dimas dkk di Hotel tempat penginapan mereka sebelum pertandingan malam ini melawan UEA di Nay Pyi Taw, Myanmar.


Quote:
Original Posted By liverpudlian679►Cak Nun bersama Ibu Novia Kolopaking sejak awal sudah merencanakan untuk berangkat ke Myanmar dalam rangka mensupport Evan Dimas dkk. Hal ini bukan tanpa sebab. Persinggunugan antara Timnas U-19 dengan Cak Nun sudah terjalin sejak sekitar 6 bulan yang lalu ketika Cak Nun bersama Mas Noe Letto diundang dalam sebuah pertemuan di pusat Training Camp di UNY. Pertemuan-pertemuan selanjutnya kemudian terjadi mengalir begitu saja.
Beberapa link terkait pertemuan Timnas U-19 dengan Cak Nun :
http://kenduricinta.com/v4/melepas-t...dan-wong-tuwo/
http://kenduricinta.com/v4/kegembira...k-timnas-u-19/
http://kenduricinta.com/v4/mocopat-s...nasional-u-19/
Dari beberapa pertemuan tersebut menjadikan hubungan antara Cak Nun dengan Timnas U-19 terbangun sebagai hubungan yang bukan hanya antara suporter dengan pemain sepakbola, melainkan secara alami kemudian menjadi hubungan seorang Ayah dengan anak-anaknya.
Foto pertemuan Cak Nun bersama Istri dengan jajaran staff Pelatih Timnas U-19 di Hotel tempat menginap Timnas U-19 di Myanmar, sehari sebelum pertandingan melawan Australia.

Beberapa link terkait pertemuan Timnas U-19 dengan Cak Nun :
http://kenduricinta.com/v4/melepas-t...dan-wong-tuwo/
http://kenduricinta.com/v4/kegembira...k-timnas-u-19/
http://kenduricinta.com/v4/mocopat-s...nasional-u-19/
Dari beberapa pertemuan tersebut menjadikan hubungan antara Cak Nun dengan Timnas U-19 terbangun sebagai hubungan yang bukan hanya antara suporter dengan pemain sepakbola, melainkan secara alami kemudian menjadi hubungan seorang Ayah dengan anak-anaknya.
Foto pertemuan Cak Nun bersama Istri dengan jajaran staff Pelatih Timnas U-19 di Hotel tempat menginap Timnas U-19 di Myanmar, sehari sebelum pertandingan melawan Australia.

Diubah oleh iogia 14-10-2014 16:22
0
14K
Kutip
90
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan