- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tentang Pilkada Melalui DPRD Apakah Begitu Buruknya ???


TS
escapoe
Tentang Pilkada Melalui DPRD Apakah Begitu Buruknya ???
Assalamualaikum
Setelah selesainya sidang paripurna oleh DPR beberapa hari yang lalu, ane melihat begitu banyaknya cacian dan makian terhadap orang atau partai yang mendukung pilkada melalui DPRD mulai dari forum forum online sampai menjadi trending topic yang bertahan selama berhari hari, belum lagi kalo ngeliat metro tv yang sejak disahkannya di dpr sampai sekarang tidak henti hentinya menampilkan berita tersebut.
ane mulai berfikir apakah begitu buruknya pilkada melalui DPRD; coba cekidot gan;
ane mulai berfikir apakah begitu buruknya pilkada melalui DPRD; coba cekidot gan;
Quote:
Oleh: Kwik Kian Gie
Sejak Indonesia berdiri sampai tahun 2007 tidak ada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung oleh rakyat. Dalam era Reformasi terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 yang menentukan bahwa Kepala Daerah pada semua jenjang, yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat.
Di tahun 2011 Pemerintahan SBY mengajukan RUU yang mengembalikan Pilkada kepada DPRD. Secara implisit berarti bahwa setelah 5 tahun memerintah dengan sistem Pilkada langsung dirasakan bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan Pilkada oleh DPRD.
Yang sangat aneh, ketika RUU diterima oleh DPR tidak ada yang mempermasalahkan. Namun ketika fraksi-fraksi di DPR terkelompok ke dalam hanya dua koalisi saja, yaitu Koalisi Merah Putih yang menguasai sekitar 70% suara dan Koalisi Gotong Royong yang menguasai sisanya, meledaklah perdebatan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tentang pro dan kontra Pilkada melalui DPRD.
Dalam perdebatan yang demikian gemuruhnya tidak ada yang mengemukakan kenyataan ini. Yang dikemukakan oleh yang setuju maupun yang tidak setuju adalah aspek korupsinya.
Dalam pertimbangannya RUU menggunakan dua argumentasi, yaitu untuk “Memperkuat sifat integral dalam NKRI” dan “Sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.”
Secara lisan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengemukakan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat telah mengakibatkan demikian meluas dan besarnya korupsi sampai pada para Kepala Daerah sendiri, sehingga 330 Kepala Daerah telah masuk penjara atau menjadi tersangka.
Yang pro Pilkada langsung mengatakan bahwa para anggota DPRD akan minta sogokan dari calon Kepala Daerah supaya dipilih. Yang pro Pilkada melalui DPRD mengatakan bahwa kenyataannya, para Kepala Daerah itu harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa terpilih. Seperti telah dikemukakan, pendirian pemerintah yang dinyatakan oleh Mendagri juga mengemukakan betapa hebatnya korupsi dalam Pilkada langsung.
Korupsi atau lengkapnya KKN tidak hanya terjadi pada Pilkada. KKN terjadi pada semua aspek kehidupan bangsa kita sejak lama, yang semakin lama semakin mendarah daging. Bahkan telah merasuk ke dalam otak yang oleh para filosof Yunani kuno disebut sudah terjadi corrupted mind pada elit bangsa kita.
Maka kalau aspek KKN yang dijadikan argumen, yang pro Pilkada langsung maupun yang pro Pilkada melalui DPRD sama-sama kuatnya atau sama-sama lemahnya. Marilah kita telaah hal ini tanpa menggunakan faktor KKN, karena kalau terus menggunakan faktor KKN sebagai argumentasi, kita disuguhi oleh tontonan para maling yang teriak maling.
Kita mulai dari pertimbangan yang tertuang dalam RUU.
Yang pertama, yaitu Pilkada melalui DPRD memperkuat sifat integral dalam NKRI memang benar. Beberapa daerah sangat menonjol kemajuannya dan kesejahteraan rakyatnya karena mempunyai Kepala Daerah yang memang sangat kompeten. Tetapi justru penonjolan kemampuan sangat sedikit daerah inilah yang membuat terjadinya kesenjangan yang besar antara daerah-daerah yang bagus dan daerah-daerah yang masih saja berantakan. Cepat atau lambat, hal yang demikian jelas akan memperlemah NKRI.
Ketika saya menjabat sebagai Kepala Bappenas ada beberapa Kepala Daerah yang minta alokasi dana lebih besar. Saya menolaknya, karena segala sesuatunya telah dipertimbangkan dengan cermat. Beberapa Kepala Daerah langsung menjawab :”Pak, apakah kami perlu menyatakan diri ingin merdeka, memisahkan diri dari NKRI supaya bisa mendapatkan alokasi anggaran yang kami minta?”
Pada waktu yang sama sangat banyak daerah yang minta agar Bappenas memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para perencana daerah. Sampai sekarang yang terjadi adalah anggaran daerah dipakai buat yang bukan-bukan, atau banyak sisa anggaran. Ahok kelebihan anggaran yang mulai membagi-bagikan uang kepada para kepala daerah sekitarnya.
Argumentasi kedua yang tertuang dalam RUU ialah “sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.”
Apa benar argumentasi ini? Tidak mutlak, karena nyatanya – seperti yang telah disebutkan tadi – memang ada beberapa Kepala Daerah yang sangat kompeten. Bagian terbesar dari daerah-daerah tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, kita saksikan sendiri di berbagai televisi betapa banyak dan memalukannya tingkah lakunya Kepala Daerah dalam KKN maupun dalam bidang demoralisasi.
Kita ambil satu contoh yang menonjol adanya kesenjangan sangat besar antara penolakan terhadap Pilkada melalui DPRD dan prestasi dari Kepala Daerah yang paling keras menolak, yaitu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jokowi- Ahok.
Dalam Suara Pembaruan tanggal 17 September 2014 halaman A 23 diberitakan bahwa “hingga pertengahan kedua September 2014 penyerapan APBD hanya 30 %. Diperkirakan penyerapan anggaran untuk pembangunan infra struktur sangat minim, yaitu hanya 0,01 % dari total nilai APBD DKI 2014 sebesar Rp. 72,9 trilyun. “
Selanjutnya dikatakan “Bahkan bila dilihat dari nilai penyerapan anggaran yang baru mencapai 30% atau sebesar Rp. 21,87 trilyun, penyerapan anggaran untuk pembangunan hanya 0,04%. Sedangkan sisanya 29,96% merupakan penyerapan anggaran dari gaji pegawai, alat tulis kantor (ATK) dan TALI (telpon, air, listrik, dan internet).
Jadi yang menolak luar biasa dahsyatnya, yaitu Jokowi-Ahok hanya mampu membangun infra struktur sebesar 0,01% dari anggaran yang disediakan, dan hanya 0,04% dari anggaran pembangunan yang disediakan.
Dalam bidang pembangunan MRT, Gubernur yang lama Fauzi Bowo yang memulai dengan pemberitaan sangat besar. Tetapi dihentikan oleh Gubernur Jokowi dengan alasan terlampau mahal. Setelah 3 bulan dilanjutkan lagi dengan Gubernur Jokowi memegang gambar lokasi awal pembangunan MRT di bunderan HI, seolah-olah dia yang memulai. Total biaya sama sekali tidak kurang, bahkan mungkin ketambahan bunga utang untuk 3 bulan lamanya.
Tentang legitimasi juga sangat aneh dengan pemilihan pemimpin penyelenggara dari berbagai jenjang secara langsung oleh rakyat. Bupati, Walikota, Gubernur, Anggota DPR, anggota DPRD dan Presiden sama semua legitimasinya, sama semua penyandang voc populi vox dei, sama semua menyuarakan suara Tuhan, tetapi pendapatnya dan kepentingannya bisa sangat berseberangan luar biasa.
Hak rakyat yang dirampas
Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana? Jumlah rakyat yang ikut Pilpres adalah 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk Prabowo. Jokowi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62 juta suara bukannya nothing.
Dalam poster kampanye gambar yang dijadikan template ialah Bung Karno, Megawati dan Jokowi. Pikiran Bung Karno tentang Demokrasi sangat jelas, yaitu Demokrasi Perwakilan, dan itupun ditambah dengan asas pengambilan keputusan yang tidak didasarkan atas pemungutan suara melulu.
Dia menggunakan istilah diktator mayoritas dan tirani minoritas untuk mempertegas pendiriannya. Dia juga selalu mengemukakan apakah 50% plus satu itu Demokrasi ? Apakah 50% plus satu itu boleh dikatakan sama dengan “Rakyat”?
Jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya termasuk yang tertinggi di dunia. Apakah penggunaan hak politiknya yang berbondong-bondong itu karena sangat sadar politik ataukah datang untuk menerima uang dari para calon legislatif maupun eksekutif yang dipilih secara langsung?
Kalau 5 tahun yang lalu uang yang harus dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR rata-rata sekitar Rp. 300 juta, di tahun 2014 sudah menjadi Rp. 3 milyar.
Demokrasi, walaupun sistem perwakilan membutuhkan rakyat yang sudah cukup pendidikan dan pengetahuannya. Marilah kita sangat jujur terhadap diri sendiri. Apakah bagian terbesar dari rakyat Indonesia sudah cukup pendidikannya? Para calon presiden sendiri mengemukakan betapa tertinggalnya bagian terbesar dari rakyat kita dalam bidang pendidikan yang dijadikan fokus dari platformnya. Berbicara soal pilkada langsung rakyat digambarkan sebagai yang sudah sangat kompeten menjadi pemilih yang sangat bertanggung jawab.
Melihat demikian banyaknya orang yang demikian luar biasa semangatnya untuk memasuki arena penyelenggaraan negara, kita patut tanya pada diri sendiri tentang apa motifnya? Apakah mereka demikian semangat, demikian ngotot, bersedia mengeluarkan uang, bersedia menggadaikan harta bendanya untuk menjadi anggota legislatif atau eksekutif itu karena demikian luar biasa cintanya kepada bangsa, ataukah sudah membayangkan harta dengan jumlah berapa serta ketenaran dan kenikmatan apa yang akan diperolehnya?
Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22 September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperoleh kredit dari berbagai bank.”
Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan. [yq/kwikkiangie]
Sejak Indonesia berdiri sampai tahun 2007 tidak ada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung oleh rakyat. Dalam era Reformasi terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 yang menentukan bahwa Kepala Daerah pada semua jenjang, yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat.
Di tahun 2011 Pemerintahan SBY mengajukan RUU yang mengembalikan Pilkada kepada DPRD. Secara implisit berarti bahwa setelah 5 tahun memerintah dengan sistem Pilkada langsung dirasakan bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan Pilkada oleh DPRD.
Yang sangat aneh, ketika RUU diterima oleh DPR tidak ada yang mempermasalahkan. Namun ketika fraksi-fraksi di DPR terkelompok ke dalam hanya dua koalisi saja, yaitu Koalisi Merah Putih yang menguasai sekitar 70% suara dan Koalisi Gotong Royong yang menguasai sisanya, meledaklah perdebatan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tentang pro dan kontra Pilkada melalui DPRD.
Dalam perdebatan yang demikian gemuruhnya tidak ada yang mengemukakan kenyataan ini. Yang dikemukakan oleh yang setuju maupun yang tidak setuju adalah aspek korupsinya.
Dalam pertimbangannya RUU menggunakan dua argumentasi, yaitu untuk “Memperkuat sifat integral dalam NKRI” dan “Sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.”
Secara lisan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengemukakan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat telah mengakibatkan demikian meluas dan besarnya korupsi sampai pada para Kepala Daerah sendiri, sehingga 330 Kepala Daerah telah masuk penjara atau menjadi tersangka.
Yang pro Pilkada langsung mengatakan bahwa para anggota DPRD akan minta sogokan dari calon Kepala Daerah supaya dipilih. Yang pro Pilkada melalui DPRD mengatakan bahwa kenyataannya, para Kepala Daerah itu harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa terpilih. Seperti telah dikemukakan, pendirian pemerintah yang dinyatakan oleh Mendagri juga mengemukakan betapa hebatnya korupsi dalam Pilkada langsung.
Korupsi atau lengkapnya KKN tidak hanya terjadi pada Pilkada. KKN terjadi pada semua aspek kehidupan bangsa kita sejak lama, yang semakin lama semakin mendarah daging. Bahkan telah merasuk ke dalam otak yang oleh para filosof Yunani kuno disebut sudah terjadi corrupted mind pada elit bangsa kita.
Maka kalau aspek KKN yang dijadikan argumen, yang pro Pilkada langsung maupun yang pro Pilkada melalui DPRD sama-sama kuatnya atau sama-sama lemahnya. Marilah kita telaah hal ini tanpa menggunakan faktor KKN, karena kalau terus menggunakan faktor KKN sebagai argumentasi, kita disuguhi oleh tontonan para maling yang teriak maling.
Kita mulai dari pertimbangan yang tertuang dalam RUU.
Yang pertama, yaitu Pilkada melalui DPRD memperkuat sifat integral dalam NKRI memang benar. Beberapa daerah sangat menonjol kemajuannya dan kesejahteraan rakyatnya karena mempunyai Kepala Daerah yang memang sangat kompeten. Tetapi justru penonjolan kemampuan sangat sedikit daerah inilah yang membuat terjadinya kesenjangan yang besar antara daerah-daerah yang bagus dan daerah-daerah yang masih saja berantakan. Cepat atau lambat, hal yang demikian jelas akan memperlemah NKRI.
Ketika saya menjabat sebagai Kepala Bappenas ada beberapa Kepala Daerah yang minta alokasi dana lebih besar. Saya menolaknya, karena segala sesuatunya telah dipertimbangkan dengan cermat. Beberapa Kepala Daerah langsung menjawab :”Pak, apakah kami perlu menyatakan diri ingin merdeka, memisahkan diri dari NKRI supaya bisa mendapatkan alokasi anggaran yang kami minta?”
Pada waktu yang sama sangat banyak daerah yang minta agar Bappenas memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para perencana daerah. Sampai sekarang yang terjadi adalah anggaran daerah dipakai buat yang bukan-bukan, atau banyak sisa anggaran. Ahok kelebihan anggaran yang mulai membagi-bagikan uang kepada para kepala daerah sekitarnya.
Argumentasi kedua yang tertuang dalam RUU ialah “sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.”
Apa benar argumentasi ini? Tidak mutlak, karena nyatanya – seperti yang telah disebutkan tadi – memang ada beberapa Kepala Daerah yang sangat kompeten. Bagian terbesar dari daerah-daerah tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, kita saksikan sendiri di berbagai televisi betapa banyak dan memalukannya tingkah lakunya Kepala Daerah dalam KKN maupun dalam bidang demoralisasi.
Kita ambil satu contoh yang menonjol adanya kesenjangan sangat besar antara penolakan terhadap Pilkada melalui DPRD dan prestasi dari Kepala Daerah yang paling keras menolak, yaitu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jokowi- Ahok.
Dalam Suara Pembaruan tanggal 17 September 2014 halaman A 23 diberitakan bahwa “hingga pertengahan kedua September 2014 penyerapan APBD hanya 30 %. Diperkirakan penyerapan anggaran untuk pembangunan infra struktur sangat minim, yaitu hanya 0,01 % dari total nilai APBD DKI 2014 sebesar Rp. 72,9 trilyun. “
Selanjutnya dikatakan “Bahkan bila dilihat dari nilai penyerapan anggaran yang baru mencapai 30% atau sebesar Rp. 21,87 trilyun, penyerapan anggaran untuk pembangunan hanya 0,04%. Sedangkan sisanya 29,96% merupakan penyerapan anggaran dari gaji pegawai, alat tulis kantor (ATK) dan TALI (telpon, air, listrik, dan internet).
Jadi yang menolak luar biasa dahsyatnya, yaitu Jokowi-Ahok hanya mampu membangun infra struktur sebesar 0,01% dari anggaran yang disediakan, dan hanya 0,04% dari anggaran pembangunan yang disediakan.
Dalam bidang pembangunan MRT, Gubernur yang lama Fauzi Bowo yang memulai dengan pemberitaan sangat besar. Tetapi dihentikan oleh Gubernur Jokowi dengan alasan terlampau mahal. Setelah 3 bulan dilanjutkan lagi dengan Gubernur Jokowi memegang gambar lokasi awal pembangunan MRT di bunderan HI, seolah-olah dia yang memulai. Total biaya sama sekali tidak kurang, bahkan mungkin ketambahan bunga utang untuk 3 bulan lamanya.
Tentang legitimasi juga sangat aneh dengan pemilihan pemimpin penyelenggara dari berbagai jenjang secara langsung oleh rakyat. Bupati, Walikota, Gubernur, Anggota DPR, anggota DPRD dan Presiden sama semua legitimasinya, sama semua penyandang voc populi vox dei, sama semua menyuarakan suara Tuhan, tetapi pendapatnya dan kepentingannya bisa sangat berseberangan luar biasa.
Hak rakyat yang dirampas
Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana? Jumlah rakyat yang ikut Pilpres adalah 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk Prabowo. Jokowi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62 juta suara bukannya nothing.
Dalam poster kampanye gambar yang dijadikan template ialah Bung Karno, Megawati dan Jokowi. Pikiran Bung Karno tentang Demokrasi sangat jelas, yaitu Demokrasi Perwakilan, dan itupun ditambah dengan asas pengambilan keputusan yang tidak didasarkan atas pemungutan suara melulu.
Dia menggunakan istilah diktator mayoritas dan tirani minoritas untuk mempertegas pendiriannya. Dia juga selalu mengemukakan apakah 50% plus satu itu Demokrasi ? Apakah 50% plus satu itu boleh dikatakan sama dengan “Rakyat”?
Jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya termasuk yang tertinggi di dunia. Apakah penggunaan hak politiknya yang berbondong-bondong itu karena sangat sadar politik ataukah datang untuk menerima uang dari para calon legislatif maupun eksekutif yang dipilih secara langsung?
Kalau 5 tahun yang lalu uang yang harus dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR rata-rata sekitar Rp. 300 juta, di tahun 2014 sudah menjadi Rp. 3 milyar.
Demokrasi, walaupun sistem perwakilan membutuhkan rakyat yang sudah cukup pendidikan dan pengetahuannya. Marilah kita sangat jujur terhadap diri sendiri. Apakah bagian terbesar dari rakyat Indonesia sudah cukup pendidikannya? Para calon presiden sendiri mengemukakan betapa tertinggalnya bagian terbesar dari rakyat kita dalam bidang pendidikan yang dijadikan fokus dari platformnya. Berbicara soal pilkada langsung rakyat digambarkan sebagai yang sudah sangat kompeten menjadi pemilih yang sangat bertanggung jawab.
Melihat demikian banyaknya orang yang demikian luar biasa semangatnya untuk memasuki arena penyelenggaraan negara, kita patut tanya pada diri sendiri tentang apa motifnya? Apakah mereka demikian semangat, demikian ngotot, bersedia mengeluarkan uang, bersedia menggadaikan harta bendanya untuk menjadi anggota legislatif atau eksekutif itu karena demikian luar biasa cintanya kepada bangsa, ataukah sudah membayangkan harta dengan jumlah berapa serta ketenaran dan kenikmatan apa yang akan diperolehnya?
Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22 September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperoleh kredit dari berbagai bank.”
Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan. [yq/kwikkiangie]
ane juga bingung ngelihat berita pada tanggal Minggu, 02 Oktober 2011, yang di posting di republika;
Quote:
Jenjang Demokrasi Terlalu Panjang, JK Dukung Pilgub Langsung Dihapus
REPUBLIKA.CO.ID,AMBON - Wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009, Jusuf Kalla (JK), mendukung usulan pemerintah menghapus pemilihan gubernur (pilgub) secara langsung. Menurut pendapat JK, gubernur lebih baik dipilih DPRD provinsi sebab posisinya merupakan kepanjangan pemerintah pusat di daerah.
Model demokrasi di Indonesia, kata dia, sangat tidak efektif. Sebab, jenjang pemerintahan pemilihan pemimpin mulai desa, kabupaten/kota, provinsi, hingga negara, dilakukan secara langsung. Hanya tingkat kecamatan saja yang ditunjuk melalui pejabat karier pegawai negeri sipil (PNS).
''Jenjang demokrasi di Indonesia terlalu tinggi. Gubernur lebih baik dipilih DPRD,'' kata JK kepada Republika, Ahad (2/10).
Dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), pemerintah mengusulkan penghapusan usulan pemilihan langsung. Sebagai gantinya, gubernur dipilih lewat mekanisme pemilihan DPRD. Adapun gubernur terpilih menunjuk wakil gubernur yang berasal dari birokrat dengan jenjang pangkat dan jabatan tertinggi.
Meski banyak kalangan menilai usulan pemerintah itu bentuk kemunduran demokrasi, JK mengapresiasi kebijakan pemerintah soal RUU Pemda itu. Pasalnya, tidak ada negara di dunia yang menerapkan model pemilihan langsung berjenjang seperti di Indonesia. Karena itu, ia sependapat gubernur dipilih melalui mekanisme terbatas oleh DPRD.
REPUBLIKA.CO.ID,AMBON - Wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009, Jusuf Kalla (JK), mendukung usulan pemerintah menghapus pemilihan gubernur (pilgub) secara langsung. Menurut pendapat JK, gubernur lebih baik dipilih DPRD provinsi sebab posisinya merupakan kepanjangan pemerintah pusat di daerah.
Model demokrasi di Indonesia, kata dia, sangat tidak efektif. Sebab, jenjang pemerintahan pemilihan pemimpin mulai desa, kabupaten/kota, provinsi, hingga negara, dilakukan secara langsung. Hanya tingkat kecamatan saja yang ditunjuk melalui pejabat karier pegawai negeri sipil (PNS).
''Jenjang demokrasi di Indonesia terlalu tinggi. Gubernur lebih baik dipilih DPRD,'' kata JK kepada Republika, Ahad (2/10).
Dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), pemerintah mengusulkan penghapusan usulan pemilihan langsung. Sebagai gantinya, gubernur dipilih lewat mekanisme pemilihan DPRD. Adapun gubernur terpilih menunjuk wakil gubernur yang berasal dari birokrat dengan jenjang pangkat dan jabatan tertinggi.
Meski banyak kalangan menilai usulan pemerintah itu bentuk kemunduran demokrasi, JK mengapresiasi kebijakan pemerintah soal RUU Pemda itu. Pasalnya, tidak ada negara di dunia yang menerapkan model pemilihan langsung berjenjang seperti di Indonesia. Karena itu, ia sependapat gubernur dipilih melalui mekanisme terbatas oleh DPRD.
apakah cuman ane yang berfikiran kalau pemilihan lewat dprd tidak seburuk yang di gmbarkan oleh media

Quote:
Dampak Sistemik kerugian Pilkada melalui DPRD?..
1. MEDIA: Pendapatan iklan dari calon Gubernur, Walikota Dan Bupati akan menurun drastis.
2. BERITA: Sumber berita juga kehilangan sumber, karena kekacauan kampanye tidak akan terjadi lagi.
3. WARTAWAN: Turunnya penghasilan tambahan awak media yang melakukan kerja "pencitraan" palsu.
4. BUZZER: Perusahaan ‘buzzer social media’ akan kehilangan pelanggan. Rekayasa "pencitraan" tidak lagi laku.
5. PENGAMAT POLITIK: Mengecilkan penghasilan pengamat politik dan mengurangi kesempatan sebagai publik figur.
6. KONSULTAN POLITIK: Konsultan politik tidak laku karena partai politik yang menentukan calon kepala daerah.
7. LEMBAGA SURVEY: Akan gulung tikar karena hanya mendapat pekerjaan 5 tahun sekali di Pilpres dan Pileg.
8. KPU - BAWASLU - PANWASLU: Akan kehilangan smbr pendapatan utama & hny bekerja 5 thn sekali saat Pileg & Pilpres. Jual beli suara stop total.
9. MK : Akan kehilangan sumbr pendapatan utama & hanya bekerja utk mengevaluasi konstitusi yg minim biaya operasi (suap macam Akil akan hilang)
10. INCUMBENT: Tidak ada jaminan terpilih lagi karena pengerahan Bansos tidak akan berpengaruh pada keterpilihan kembali.
11. KPK: Korupsi relatif berkurang akibat pemilihan Kepala Daerah yang selektif, sehingga rejeki penyidik berkurang.
12. POLISI: Polisi akan kehilangan rejeki dan mengurangi kesempatan naik pangkat akibat tidak ada konflik massa dan perkelahian antar kampung.
13. ARTIS: Mempersulit artis tampil sebagai politisi karena yg penting bukan popularitas lagi tapi visi misi.
14. JASA PENGERAH MASSA: Pengangguran politik bertambah akibat tidak ada order aksi karena tidak ada kampanye.
15. JASA PEMBUATAN SPANDUK: Akan bangkrut akibat minim order, pohon ngeluh kenapa tidak dipaku lagi.
itulah kenapa "mereka" mendukung mati2 an dan menghalalkan segala cara Pilkada langsung demi nafsu pribadi dg mengatas namakan rakyat...rakyat yg mana?
**Diolah Dari Berbagai Sumber..
1. MEDIA: Pendapatan iklan dari calon Gubernur, Walikota Dan Bupati akan menurun drastis.
2. BERITA: Sumber berita juga kehilangan sumber, karena kekacauan kampanye tidak akan terjadi lagi.
3. WARTAWAN: Turunnya penghasilan tambahan awak media yang melakukan kerja "pencitraan" palsu.
4. BUZZER: Perusahaan ‘buzzer social media’ akan kehilangan pelanggan. Rekayasa "pencitraan" tidak lagi laku.
5. PENGAMAT POLITIK: Mengecilkan penghasilan pengamat politik dan mengurangi kesempatan sebagai publik figur.
6. KONSULTAN POLITIK: Konsultan politik tidak laku karena partai politik yang menentukan calon kepala daerah.
7. LEMBAGA SURVEY: Akan gulung tikar karena hanya mendapat pekerjaan 5 tahun sekali di Pilpres dan Pileg.
8. KPU - BAWASLU - PANWASLU: Akan kehilangan smbr pendapatan utama & hny bekerja 5 thn sekali saat Pileg & Pilpres. Jual beli suara stop total.
9. MK : Akan kehilangan sumbr pendapatan utama & hanya bekerja utk mengevaluasi konstitusi yg minim biaya operasi (suap macam Akil akan hilang)
10. INCUMBENT: Tidak ada jaminan terpilih lagi karena pengerahan Bansos tidak akan berpengaruh pada keterpilihan kembali.
11. KPK: Korupsi relatif berkurang akibat pemilihan Kepala Daerah yang selektif, sehingga rejeki penyidik berkurang.
12. POLISI: Polisi akan kehilangan rejeki dan mengurangi kesempatan naik pangkat akibat tidak ada konflik massa dan perkelahian antar kampung.
13. ARTIS: Mempersulit artis tampil sebagai politisi karena yg penting bukan popularitas lagi tapi visi misi.
14. JASA PENGERAH MASSA: Pengangguran politik bertambah akibat tidak ada order aksi karena tidak ada kampanye.
15. JASA PEMBUATAN SPANDUK: Akan bangkrut akibat minim order, pohon ngeluh kenapa tidak dipaku lagi.
itulah kenapa "mereka" mendukung mati2 an dan menghalalkan segala cara Pilkada langsung demi nafsu pribadi dg mengatas namakan rakyat...rakyat yg mana?
**Diolah Dari Berbagai Sumber..
Quote:
ini ane tampilin beberapa komeng cerdas dengan argumentasi yaang masuk diakal, beberapa lainnya komeng hanya untuk mencaci, kapan kita bisa majunya, katanya demokrasi, harus salng menghargai atuh gan,
Quote:
Quote:
Original Posted By xugenk►itu semua hanya modus untuk memenangkan calon partai koalisi besar.
koalisi besar hanya bisa dikalahkan dengan suara rakyat yaitu pemilihan langsung.
kalo orangnya bener mau langsung apa ga langsung ga masalah, masalahnya mayoritas pemimpin negara mental bang satrio
koalisi besar hanya bisa dikalahkan dengan suara rakyat yaitu pemilihan langsung.
kalo orangnya bener mau langsung apa ga langsung ga masalah, masalahnya mayoritas pemimpin negara mental bang satrio
Quote:
Original Posted By davasuv►menurut ane sih memang pilkada langsung membuat harga demokrasi menjadi terlalu mahal....
sekarang untuk menjadi walikota / bupati di butuhkan minimal 5m untuk gubernur tentu jumlahnya akan berpuluh kali lipat...di pilgub jatim 2008 sendiri, kabarnya pasangan karsa menghabiskan dana sekitar 1 T untuk meraih kemenangan...sementara di tahun 2003 biaya pemenangan pilgub "hanya" sekitar 10% dari angka 2008..
ujung-ujungnya cepat atau pasti ada upaya mengembalikan modal, tanpa menunggu 5 tahun masa kepemimpinan berakhir....dan tentunya di tambah upaya mendapatkan modal untuk pilkada berikutnya...
pilkada langsung memang lebih demokratis, namun masyarakat kita yang realitanya masih lebih banyak yang memilih uang daripada nuraninya...
sekarang untuk menjadi walikota / bupati di butuhkan minimal 5m untuk gubernur tentu jumlahnya akan berpuluh kali lipat...di pilgub jatim 2008 sendiri, kabarnya pasangan karsa menghabiskan dana sekitar 1 T untuk meraih kemenangan...sementara di tahun 2003 biaya pemenangan pilgub "hanya" sekitar 10% dari angka 2008..
ujung-ujungnya cepat atau pasti ada upaya mengembalikan modal, tanpa menunggu 5 tahun masa kepemimpinan berakhir....dan tentunya di tambah upaya mendapatkan modal untuk pilkada berikutnya...
pilkada langsung memang lebih demokratis, namun masyarakat kita yang realitanya masih lebih banyak yang memilih uang daripada nuraninya...
Quote:
Original Posted By x_gear►
kalo anggota2 dewan terhormat kita memang anggota2 yang bener2 terhormat tentunya ga akan sekontra ini, tapi saya rasa semua kaskuser di sini tau gimana kinerja anggota hewan kita?
tidur di ruang sidang? nonton bokep pas lg rapat? foya2? jalan2 ke luar negeri sampe ajak2 sodara ma tetangga? bini muda di mana2?
agan2 yakin dengan kualitas seperti ini, mereka bisa memilihkan pemimpin yang baik buat agan2 semua?
i would say no... definitely..
saat ini semua orang selalu menyorot 2 kubu yang sedang hot2 nya ribut2 di negeri awang2 sana
tp adakah yg kiranya sekarang mempertanyakan... DPR itu apa si? apa fungsinya buat negeri ini dengan kondisi seperti sekarang? apa benar kita begitu membutuhkan kumpulan orang2 dengan label anggota dewan terhormat ini? adakah kiranya jalan alternatif agar negeri kita bisa jalan dengan tanpa ada nya kehadiran orang2 ini?
*hanya sedikit pemikiran orang bodoh yang prihatin.. sungguh prihatin melihat kondisi negeri ini tanpa bisa melakukan apa2, hanya bisa melihat agan2 di sini yang saling caci..
( andai saja bisa menjadi superman/ son goku ato doraemon..)
kalo anggota2 dewan terhormat kita memang anggota2 yang bener2 terhormat tentunya ga akan sekontra ini, tapi saya rasa semua kaskuser di sini tau gimana kinerja anggota hewan kita?
tidur di ruang sidang? nonton bokep pas lg rapat? foya2? jalan2 ke luar negeri sampe ajak2 sodara ma tetangga? bini muda di mana2?
agan2 yakin dengan kualitas seperti ini, mereka bisa memilihkan pemimpin yang baik buat agan2 semua?
i would say no... definitely..
saat ini semua orang selalu menyorot 2 kubu yang sedang hot2 nya ribut2 di negeri awang2 sana
tp adakah yg kiranya sekarang mempertanyakan... DPR itu apa si? apa fungsinya buat negeri ini dengan kondisi seperti sekarang? apa benar kita begitu membutuhkan kumpulan orang2 dengan label anggota dewan terhormat ini? adakah kiranya jalan alternatif agar negeri kita bisa jalan dengan tanpa ada nya kehadiran orang2 ini?
*hanya sedikit pemikiran orang bodoh yang prihatin.. sungguh prihatin melihat kondisi negeri ini tanpa bisa melakukan apa2, hanya bisa melihat agan2 di sini yang saling caci..
( andai saja bisa menjadi superman/ son goku ato doraemon..)
Diubah oleh escapoe 02-10-2014 11:45
0
2.9K
Kutip
35
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan