- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Dari Sekian Capres, Kenapa Gak Ada Yang Berani Bilang, "Koruptor Wajib Duhukum Mati"?


TS
anticorruption
Dari Sekian Capres, Kenapa Gak Ada Yang Berani Bilang, "Koruptor Wajib Duhukum Mati"?
Quote:
W.H.Y?

Padahal kita semua tau, kemunduran Indonesia dari berbagai bidang,
baik ekonomi, moral dan lainnya di negeri ini cuma berakar dari satu persoalan aja, yaitu:
Quote:
Tingginya Angka Korupsi Di Indonesia!
Bukan Yang Lain!
Bukan Yang Lain!
Kalau saja ada Capres yang berani dengan lantang berkoar,
"Kalau saya terpilih, Koruptor Wajib di Hukum Mati!",
maka kita bakal ga ngeliat lagi hal-hal seperti ini:
# Senyum-senyum sialan para koruptor meski sudah ditetapkan sebagai
"Tersangka Korupsi" dan digiring ke KPK #
Spoiler for "Senyum para maling":
Quote:




Quote:
Sebaliknya kita bakal bisa melihat para maling sialan tersebut Menangis Minta Ampun
saat di tetapkan sebagai terasngka korupsi.

saat di tetapkan sebagai terasngka korupsi.

# Kondisi-kondisi yang memprihatinkan seperti ini: #
Spoiler for "Kasihan, Gan!":

Kaga tega ane ngeliat gambar diatas itu, Gan

# Anggota2 dewan abal yang diotaknya cuma nyari modal kembali dengan jalan korupsi #
Spoiler for "Anggota dewan abal-abal":

Quote:
Sebaliknya kita bakal punya wakil-wakil rakyat yang berkualitas
yang bener2 mengedepankan hati nurani..

yang bener2 mengedepankan hati nurani..

# Dan lain-lain... #
Quote:
Komeng paling keren
Komeng paling kocax

Quote:
Spoiler for cool comment:
Quote:
Original Posted By struCAD►
Kita yang peduli dengan upaya pemberantasan korupsi pasti masih ingat akan sosok Zhu Rongji, si Wajah Besi yang heroik dalam membasmi korupsi. Pidato inaugurasinya sebagai perdana menteri Cina menjadi termasyhur karena ia minta disediakan peti mati untuk mengubur para koruptor. Melalui ungkapannya yang simbolis, ia minta disediakan seratus peti mati yang 99 di antaranya akan ia gunakan untuk mengubur pejabat yang melakukan korupsi dan satunya lagi untuk mengubur jasadnya sendiri jika ia melakukan korupsi.
Melalui pidato itu ia hendak bertindak tegas terhadap korupsi: menghukum mati para koruptor. Ia juga bersedia dieksekusi mati jika turut melakukan korupsi. Dunia kemudian tahu, Zhu benar-benar membuktikan ucapannya. Selama Zhu memimpin pemerintahan Cina (1998–2003), puluhan ribu koruptor dieksekusi mati, sementara ia sendiri terhindar dari eksekusi mati karena memang tak pernah (terbukti) melakukan korupsi.
Zhu memperlihatkan diri sebagai pemimpin pemerintahan yang memiliki komitmen tak tertandingi dalam melakukan pemberantasan korupsi. Demi membebaskan negerinya dari korupsi, ia rela tidak disenangi (oleh sebagian besar pejabat Cina) di dalam negeri dan dikecam (aktivis HAM internasional) di luar negeri. Di tengah banyaknya sikap permusuhan terhadap dirinya, ia tak mengendurkan konsistensinya dalam memberantas korupsi.
Sebagai pribadi, ia pasti mengalami perang batin yang luar biasa dalam menjalankan kebijakan antikorupsinya. Bayangkan saja, akibat kebijakannya, puluhan ribu pejabat –– dan sebagian merupakan koleganya sendiri di Partai Komunis –– dieksekusi mati. “Kematian” massal semacam ini, ditambah kecaman dari para aktivis HAM dunia, tentu menimbulkan kecamuk hebat pada sisi psikologi kemanusiaan seorang Zhu Rongji. Pada puncaknya, semua kemelut itu menyebabkan ia seperti tengah berperang melawan dirinya sendiri.
Namun, sebagai pemimpin pemerintahan negara, ia lebih terpanggil untuk menanggulangi bahaya besar bernama korupsi yang mengancam rakyat dan negaranya daripada sibuk memikirkan dirinya sendiri. Ia putuskan mengambil tindakan tegas, lugas, nyata, dan mematikan untuk membasmi bahaya itu. Sejarah mencatat, berkat kebijakannya yang fenomenal itu, Cina selamat dari krisis korupsi –– semula termasuk kelompok negara terkorup di dunia kemudian menempati peringkat 64 (2007) dengan pertumbuhan ekonomi 9% per tahun. Cina lolos dari kehancuran akibat korupsi dan si Wajah Besi pun berhasil memenangkan perang melawan dirinya sendiri.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari Zhu Rongji dalam memerangi korupsi tentu bukan segi hukuman mati yang diberlakukan bagi para pelaku korupsi. Hukuman mati bukanlah faktor utama penentu keberhasilan pemberantasan korupsi. Pelajaran berharga yang dapat kita tarik adalah komitmen tak tergoyahkan dalam memimpin gerakan memberantas korupsi yang diwujudkan melalui kebijakan dan tindakan nyata dalam memerangi korupsi.
Dalam kasus Zhu Rongji dan Cina, upaya pemberantasan korupsi terutama dilakukan dari dalam birokrasi melalui kepeloporan pemimpin tertinggi pemerintahan. Hukuman mati hanya menjadi instrumen yang digunakan sebagai shock therapy. Pemimpin memberikan teladan dengan tidak melakukan praktik korupsi serta tegas, lugas, konkret, dan konsisten dalam melakukan penindakan terhadap korupsi. Dengan tanpa mengabaikan hukuman berat yang setimpal bagi pelaku korupsi, kita cenderung memilih pencegahan dari dalam melalui kepeloporan pemimpin dalam menindak kejahatan korupsi sebagai solusi yang lebih baik.
Fenomena pemberantasan korupsi ala Zhu Rongji mengingatkan kembali akan sumber terjadinya korupsi: untuk konteks negara, korupsi lazim terjadi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Korupsi dapat terjadi di luar birokrasi, tetapi hampir selalu kasusnya terkait dengan birokrasi. Hal ini biasa terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Sebagai sebuah kejahatan, korupsi adalah musuh negara yang wajib dibasmi. Namun, korupsi yang terjadi secara masif dan berlangsung puluhan tahun, seperti yang terjadi di Indonesia, dapat mengacaukan upaya pencegahan dan penanggulangannya. Birokrasi pemerintahan yang bobrok dan sakit parah akibat korupsi masif bertahun-tahun menjadi tak mampu melakukan terapi diri untuk membuatnya sehat kembali.
Ibarat penyakit pada manusia, korupsi adalah penyakit yang menyerang akibat perbuatan keji yang dilakukan diri sendiri. Dan itulah yang sedang terjadi negeri ini, birokrasi pemerintahan menjadi runyam dan sakit akibat perilaku korup yang dilakukannya sendiri. Melalui konspirasi dengan anggota parleman, pengusaha, dan aparat penegak hukum, kaum birokrat melakukan korupsi masif yang membuat birokrasi menjadi sakit parah dan tak kuasa melakukan penyembuhan diri.
Dengan demikian, keinginan birokrasi untuk sembuh dari penyakit kronis korupsi lebih tergantung pada keseriusan dan upaya yang dilakukannya sendiri. Dan demikianlah, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia lebih ditentukan oleh komitmen dan tindakan konkret internal birokrasi pemerintahan untuk bebas dari penyakit korupsi. Upaya dari luar lebih bersifat “pertolongan” saja.
Pemerhati korupsi, Quah (2009), menyatakan, tanpa kemauan politik dari pemimpin tertinggi birokrasi, gerakan antikorupsi adalah nonsens. Menurut Klittgard (2005), komitmen dan keseriusan politik pemerintah adalah faktor terpenting dalam upaya pemberantasan korupsi. Menjadi tesis yang harus diperhatikan, upaya pemberantasan korupsi di negara kita, yang utama, justru harus dilakukan oleh pemerintah sendiri. Lebih mengerucut lagi, keberhasilan upaya itu ditentukan oleh kepeloporan pemimpin tertinggi pemerintahan pusat dengan dukungan para pemimpin pemerintahan daerah.
Itu artinya, untuk keberhasilan pemberantasan korupsi, kita membutuhkan kepala negara (presiden) serta para kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) yang tidak hanya mampu memberi teladan dengan kepemimpinan yang bebas dari korupsi, melainkan juga memiliki komitmen kuat untuk membasmi korupsi serta tegas, lugas, konsisten, tak pandang bulu, dan konkret dalam melakukan penindakan terhadap kejahatan korupsi. Persyaratan ini mutlak diperlukan untuk upaya pencegahan korupsi dari dalam birokrasi. Adapun untuk upaya penanggulangan korupsi dari luar, kita dapat mengoptimalkan fungsi dan wewenang lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Melakukan pemberantasan korupsi dari dalam birokrasi memang akhirnya seperti perang melawan diri sendiri. Selain harus menundukkan emosi yang berkecamuk dalam hati sanubari sendiri, itu juga berarti bertarung melawan institusi dan anak buah sendiri sehingga di sana akan terjadi benturan keras dengan orang-orang yang selama ini sudah dikenal dengan baik: teman separtai, sahabat curhat, atau bahkan saudara dan kerabat sendiri. Namun, itulah harga mahal yang harus dibayar untuk membasmi sebuah kejahatan yang puluhan tahun telanjur mengakar kuat dalam kehidupan.
Kita yang peduli dengan upaya pemberantasan korupsi pasti masih ingat akan sosok Zhu Rongji, si Wajah Besi yang heroik dalam membasmi korupsi. Pidato inaugurasinya sebagai perdana menteri Cina menjadi termasyhur karena ia minta disediakan peti mati untuk mengubur para koruptor. Melalui ungkapannya yang simbolis, ia minta disediakan seratus peti mati yang 99 di antaranya akan ia gunakan untuk mengubur pejabat yang melakukan korupsi dan satunya lagi untuk mengubur jasadnya sendiri jika ia melakukan korupsi.
Melalui pidato itu ia hendak bertindak tegas terhadap korupsi: menghukum mati para koruptor. Ia juga bersedia dieksekusi mati jika turut melakukan korupsi. Dunia kemudian tahu, Zhu benar-benar membuktikan ucapannya. Selama Zhu memimpin pemerintahan Cina (1998–2003), puluhan ribu koruptor dieksekusi mati, sementara ia sendiri terhindar dari eksekusi mati karena memang tak pernah (terbukti) melakukan korupsi.
Zhu memperlihatkan diri sebagai pemimpin pemerintahan yang memiliki komitmen tak tertandingi dalam melakukan pemberantasan korupsi. Demi membebaskan negerinya dari korupsi, ia rela tidak disenangi (oleh sebagian besar pejabat Cina) di dalam negeri dan dikecam (aktivis HAM internasional) di luar negeri. Di tengah banyaknya sikap permusuhan terhadap dirinya, ia tak mengendurkan konsistensinya dalam memberantas korupsi.
Sebagai pribadi, ia pasti mengalami perang batin yang luar biasa dalam menjalankan kebijakan antikorupsinya. Bayangkan saja, akibat kebijakannya, puluhan ribu pejabat –– dan sebagian merupakan koleganya sendiri di Partai Komunis –– dieksekusi mati. “Kematian” massal semacam ini, ditambah kecaman dari para aktivis HAM dunia, tentu menimbulkan kecamuk hebat pada sisi psikologi kemanusiaan seorang Zhu Rongji. Pada puncaknya, semua kemelut itu menyebabkan ia seperti tengah berperang melawan dirinya sendiri.
Namun, sebagai pemimpin pemerintahan negara, ia lebih terpanggil untuk menanggulangi bahaya besar bernama korupsi yang mengancam rakyat dan negaranya daripada sibuk memikirkan dirinya sendiri. Ia putuskan mengambil tindakan tegas, lugas, nyata, dan mematikan untuk membasmi bahaya itu. Sejarah mencatat, berkat kebijakannya yang fenomenal itu, Cina selamat dari krisis korupsi –– semula termasuk kelompok negara terkorup di dunia kemudian menempati peringkat 64 (2007) dengan pertumbuhan ekonomi 9% per tahun. Cina lolos dari kehancuran akibat korupsi dan si Wajah Besi pun berhasil memenangkan perang melawan dirinya sendiri.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari Zhu Rongji dalam memerangi korupsi tentu bukan segi hukuman mati yang diberlakukan bagi para pelaku korupsi. Hukuman mati bukanlah faktor utama penentu keberhasilan pemberantasan korupsi. Pelajaran berharga yang dapat kita tarik adalah komitmen tak tergoyahkan dalam memimpin gerakan memberantas korupsi yang diwujudkan melalui kebijakan dan tindakan nyata dalam memerangi korupsi.
Dalam kasus Zhu Rongji dan Cina, upaya pemberantasan korupsi terutama dilakukan dari dalam birokrasi melalui kepeloporan pemimpin tertinggi pemerintahan. Hukuman mati hanya menjadi instrumen yang digunakan sebagai shock therapy. Pemimpin memberikan teladan dengan tidak melakukan praktik korupsi serta tegas, lugas, konkret, dan konsisten dalam melakukan penindakan terhadap korupsi. Dengan tanpa mengabaikan hukuman berat yang setimpal bagi pelaku korupsi, kita cenderung memilih pencegahan dari dalam melalui kepeloporan pemimpin dalam menindak kejahatan korupsi sebagai solusi yang lebih baik.
Fenomena pemberantasan korupsi ala Zhu Rongji mengingatkan kembali akan sumber terjadinya korupsi: untuk konteks negara, korupsi lazim terjadi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Korupsi dapat terjadi di luar birokrasi, tetapi hampir selalu kasusnya terkait dengan birokrasi. Hal ini biasa terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Sebagai sebuah kejahatan, korupsi adalah musuh negara yang wajib dibasmi. Namun, korupsi yang terjadi secara masif dan berlangsung puluhan tahun, seperti yang terjadi di Indonesia, dapat mengacaukan upaya pencegahan dan penanggulangannya. Birokrasi pemerintahan yang bobrok dan sakit parah akibat korupsi masif bertahun-tahun menjadi tak mampu melakukan terapi diri untuk membuatnya sehat kembali.
Ibarat penyakit pada manusia, korupsi adalah penyakit yang menyerang akibat perbuatan keji yang dilakukan diri sendiri. Dan itulah yang sedang terjadi negeri ini, birokrasi pemerintahan menjadi runyam dan sakit akibat perilaku korup yang dilakukannya sendiri. Melalui konspirasi dengan anggota parleman, pengusaha, dan aparat penegak hukum, kaum birokrat melakukan korupsi masif yang membuat birokrasi menjadi sakit parah dan tak kuasa melakukan penyembuhan diri.
Dengan demikian, keinginan birokrasi untuk sembuh dari penyakit kronis korupsi lebih tergantung pada keseriusan dan upaya yang dilakukannya sendiri. Dan demikianlah, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia lebih ditentukan oleh komitmen dan tindakan konkret internal birokrasi pemerintahan untuk bebas dari penyakit korupsi. Upaya dari luar lebih bersifat “pertolongan” saja.
Pemerhati korupsi, Quah (2009), menyatakan, tanpa kemauan politik dari pemimpin tertinggi birokrasi, gerakan antikorupsi adalah nonsens. Menurut Klittgard (2005), komitmen dan keseriusan politik pemerintah adalah faktor terpenting dalam upaya pemberantasan korupsi. Menjadi tesis yang harus diperhatikan, upaya pemberantasan korupsi di negara kita, yang utama, justru harus dilakukan oleh pemerintah sendiri. Lebih mengerucut lagi, keberhasilan upaya itu ditentukan oleh kepeloporan pemimpin tertinggi pemerintahan pusat dengan dukungan para pemimpin pemerintahan daerah.
Itu artinya, untuk keberhasilan pemberantasan korupsi, kita membutuhkan kepala negara (presiden) serta para kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) yang tidak hanya mampu memberi teladan dengan kepemimpinan yang bebas dari korupsi, melainkan juga memiliki komitmen kuat untuk membasmi korupsi serta tegas, lugas, konsisten, tak pandang bulu, dan konkret dalam melakukan penindakan terhadap kejahatan korupsi. Persyaratan ini mutlak diperlukan untuk upaya pencegahan korupsi dari dalam birokrasi. Adapun untuk upaya penanggulangan korupsi dari luar, kita dapat mengoptimalkan fungsi dan wewenang lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Melakukan pemberantasan korupsi dari dalam birokrasi memang akhirnya seperti perang melawan diri sendiri. Selain harus menundukkan emosi yang berkecamuk dalam hati sanubari sendiri, itu juga berarti bertarung melawan institusi dan anak buah sendiri sehingga di sana akan terjadi benturan keras dengan orang-orang yang selama ini sudah dikenal dengan baik: teman separtai, sahabat curhat, atau bahkan saudara dan kerabat sendiri. Namun, itulah harga mahal yang harus dibayar untuk membasmi sebuah kejahatan yang puluhan tahun telanjur mengakar kuat dalam kehidupan.
Quote:
Original Posted By Pacifier►ada gan... tp kemungkin besar jd cawapres doang...
Mahfud MD: Koruptor Berbahaya Seperti Teroris
http://nasional.kompas.com/read/2014...eperti.Teroris
KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai koruptor layak diancam hukuman mati seperti hukuman terhadap teroris. Selain hukuman mati, Mahfud juga berpendapat para koruptor harus dimiskinkan dengan dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU)
ane prediksi si cawapres Jokowi bakal jd 90%!
Mahfud MD: Koruptor Berbahaya Seperti Teroris
http://nasional.kompas.com/read/2014...eperti.Teroris
KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai koruptor layak diancam hukuman mati seperti hukuman terhadap teroris. Selain hukuman mati, Mahfud juga berpendapat para koruptor harus dimiskinkan dengan dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU)
ane prediksi si cawapres Jokowi bakal jd 90%!
Quote:
Original Posted By nihonsei►
Ikut nambahin gan
Selain pemimpin yang berani, dibutuhkan juga pemilih atau pendukung yang cerdas dan berani yang bener-bener ingin Indonesia berubah!
Inget, Gan! "Tuhan gak akan ngerubah nasib suatu kaum, tanpa adanya kemauan yang sungguh2 dari kaum tersebut"
Ikut nambahin gan

Selain pemimpin yang berani, dibutuhkan juga pemilih atau pendukung yang cerdas dan berani yang bener-bener ingin Indonesia berubah!

Inget, Gan! "Tuhan gak akan ngerubah nasib suatu kaum, tanpa adanya kemauan yang sungguh2 dari kaum tersebut"

Komeng paling kocax

Quote:
Spoiler for cool comment:
Quote:
Original Posted By xvanct►bubarin komnas HAM dulu gan 

Quote:
Original Posted By Lurah.Kaskus►Ampe botak sariawan...trus botaknye sembuh sariawannye bloman...trus botak lagi barengan sariawan...negeri kite kagak bakal lepas dari cengkaraman korupsi, gan!
Kecuali orang kek dibawah ini diajak ikut serta dalam pemerintahan, minimal RI2, mudah2an deh Indonesia sedikit bebas dari setan koruptor.


Kecuali orang kek dibawah ini diajak ikut serta dalam pemerintahan, minimal RI2, mudah2an deh Indonesia sedikit bebas dari setan koruptor.

Quote:
Original Posted By denzhyang►Kalo ada Capres yang bilang korupsi harus dihukum mati, ntar capresnya mati semua dong gan? Wkwkwkwk
Diubah oleh anticorruption 10-05-2014 17:38


anasabila memberi reputasi
1
3.9K
Kutip
48
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan