- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
lagu paling terlarang di indonesia(bisa ditangkap bahkan menghilang)jaman orba


TS
ulerkadutlebay
lagu paling terlarang di indonesia(bisa ditangkap bahkan menghilang)jaman orba
Lagu genjer – genjer merupakan salah satu lagu
berbahasa jawa (lebih tepatnya bahasa osing, yaitu
bahasa atau dialek khas Banyu wangi, Jawa Timur),
yang pernah berjaya di era tahun 60 an. Lagu ini
memang bukan salah satu lagu perjuangan yang sering
diajarkan di sekolah ketika zaman Sekolah Dasar dulu,
tapi lagu ini mempunyai history yang sangat panjang
dan menjadi saksi bisu diantara kontroversi tentang
sejarah Indonesia saat itu, terutama isu Komunisme.
Lagu yang sempat menjadi tabu ini memang mempunyai
sejarah yang “kelam”, sekelam sejarah Indonesia saat
itu. Lagu ini juga menjadi saksi sejarah kekuasaan dari
zaman ke zaman, terlebih zaman Orde baru yang
dikepalai Soeharto, yang secara
formal telah melarang beredarnya lagu ini. Sebuah maha
karya seni yang menjadi korban manipulasi tanpa
argumentasi kekejaman politik dan kekuasaan penguasa
otoriter.
"Genjer -genjer", Sebuah lagu rakyat yang sederhana,
gelap, suram, “angker” dan misterius.
Berikut kisahnya…
Sejarah Lagu Genjer – genjer
Sebelum tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi
(Jawa Timur) merupakan daerah yang sangat subur dan
makmur, sehingga secara ekonomi warga tidak merasa
kekurangan. Namun semenjak kedatangan Jepang ke
Indonesia (1942-1945), keadaan berubah sebaliknya.
Anak – anak muda yang masuk usia produktif (terutama
pria), ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja Romusha
(kerja paksa ala Jepang), untuk di kirim ke seluruh
daerah di Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo
China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos ).
Mereka dipekerjakan di camp militer Jepang yang
sedang berperang dengan sekutu waktu itu.
Akibat ulah Jepang tersebut, lahan pertanian menjadi
tidak terurus. Banyuwangi menjadi daerah yang miskin
hingga kekurangan bahan pangan, dan banyak
masyarakat menjadi kelaparan hingga meninggal dunia.
Sampai salah satu efeknya, masyarakat harus mengolah
daun genjer (limnocharis flava), sejenis eceng gondok,
untuk dijadikan makanan. Sebelumnya, oleh masyarakat
Banyuwangi, tanaman genjer, yang biasanya terdapat di
sungai, dianggap sebagai tanaman gulma atau
pengganggu dan sebagai makanan hewan ternak seperti
ayam dan babi.
Situasi sosial semacam itulah yang akhirnya
menjadikan seorang Muhammad Arief, seniman
angklung asal Banyuwangi, terinspirasi untuk
menciptakan sebuah lagu berjudul "genjer-genjer"
sekitar tahun 1942/1943 , pada saat istri Muhammad
Arief, Ny. Suyekti, menyuguhkan masakan sayur genjer
kepadanya.
Lagu ini menceritakan tentang keadaan masyarakat
miskin di Banyuwangi kala itu, yang sampai harus
makan daun genjer, karena kekurangan makanan. Lagu
ini juga merupakan bentuk sindiran buat penguasa
Jepang yang sudah membuat masyarakat Banyuwangi
menjadi miskin. Lagu "genjer -genjer" diadaptasi dari
lagu rakyat berjudul “Tong Alak Gentak” ali-ali moto ijo,
yang sudah lebih dulu melegenda di Banyuwangi.
Dengan mengganti liriknya, lagu tersebut akhirnya
dengan cepat menjadi lagu populer di masyarakat
Banyuwangi kala itu.
Genjer adalah sejenis gulma yang biasa hidup
di antara tanaman padi di sawah. Awalnya genjer
yang dalam bahasa latinnya disebut limnocharis flava
oleh masyarakat Banyuwangi hanya digunakan untuk
makanan ayam, itik ataupun babi.
Lirik Lagu Genjer - genjer
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Emak'e jebeng podho tuku nggowo welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer dipangan musuhe sego
Terjemahan Bahasa Indonesia
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Ibu si bocah datang memunguti genjer
Ibu si bocah datang memunguti genjer
Dapat sebakul dia berpaling begitu saja tanpa melihat ke
belakang,
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa wadah-
anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi
Lagu Genjer –genjer dan Hubungannya dengan PKI
Setelah masa kemerdekaan, tepatnya pada masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ketika iklim situasi
politik di Indonesia memang sedang berada pada
puncaknya, banyak partai – partai politik berbagai aliran
berdiri waktu itu, seperti Partai Nasional Indonesia
(PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi),
Nahdatul Ulama(NU) dan Partai Rakyat Indonesi (PKI).
Partai – partai tersebut melakukan kampanye besar-
besaran untuk meningkatkan popularitas dan mencari
simpati masyarakat Indonesia sebanyak -banyaknya.
Salah satunya lewat jalur kesenian, karena kesenian
merupakan salah satu “hiburan alternatif” masyarakat
Indonesia, sehingga menjadi salah satu cara efektif
untuk merekrut simpatisan partai. Partai – partai
tersebut membuat organisasi afiliasi berbasis kesenian
dan menggandeng para seniman utuk bergabung
bersama mereka. Sebut saja PNI yang membentuk
Lembaga Kesenian Nasional (LKN), Partai NU
membentuk Lesbumi, Masyumi membentuk Himpunan
Seni dan Budaya Islam (HSBI), serta PKI yang
membentuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra ).
Cerita berawal pada tahun 1962 saat Njoto , seniman dan
salah satu aktivis Lekra yang juga simpatisan PKI,
mampir ke Banyuwangi, saat dalam perjalanan menuju
Bali. Saat itu lagu “genjer –genjer” ditampilkan oleh
para seniman Banyuwangi untuk menghiburnya. Njoto
yang memang berjiwa seni tinggi, memiliki naluri bahwa
lagu ini akan banyak disukai masyarakat Indonesia
kedepannya, selain daripada lirik lagu ini yang memang
mewakili keadaan bangsa Indonesia saat itu.
Sampai akhirnya Njoto menggandeng para seniman
Banyuwangi, termasuk Muhammad Arif, untuk bergabung
bersama Lekra. Sejak digandeng Lekra, “seni
Banyuwangi”an semakin dikenal luas. Banyak lagu-lagu
Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara – acara
PKI dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk lagu
Genjer-genjer, juga lagu lainnya seperti lagu Nandur
Jagung dan lagu Sekolah.
Bahkan seiring perkembangannya, Muhammad Arief
(selain seniman, dia juga mantan tentara),sang pencipta
lagu "genjer - genjer", ditempatkan sebagai anggota
DPRD Kabupaten Banyuwangi, mewakili PKI. Seniman
yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta
membuat lagu yang senapas degan ideologi PKI lainnya,
seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars
Lekra dan Proklamasi.
Popularitas Lagu Genjer –genjer Di Era 1960 an
Dugaan Njoto ternyata benar, tak lama kemudian, lagu
"Genjer-genjer" menjadi sangat populer ke seantero
Nusantara. Apalagi di tahun 1960 an, lagu itu sering
dibawakan penyanyi-penyanyi “beken” era itu, seperti
Lilis Suryani dan Bing Slamet (dalam albumnya “mari
bersuka ria” pada tahun 1965), dan sempat dibikin vinyl
(piringan hitam). Lagu itu seakan menjadi lagu wajib
yang sering diputar di TVRI dan RRI (dua media nasional
yang ada saat itu). Saking terkenalnya bahkan kemudian
muncul pengakuan dari Jawa Tengah, bahwa lagu
"genjer - genjer" ternyata diciptakan oleh Ki Narto
Sabdo seorang dalang kondang dan seniman yang
tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)
yang bernaung di bawah PNI, asal Semarang, yang pada
akhirnya terbukti bahwa Ki Narto Sabdo hanya
mempopulerkannya saja pada setiap penampilannya.
Terlepas dari berbagai polemik dan sejarahnya, lagu
“genjer – genjer” semakin populer di Indonesia. Tapi
disisi lain, stigma masyarakat semakin menganggap dan
mengasosiasikan lagu “genjer – genjer” sebagai lagu
propaganda PKI.
Pencekalan lagu Genjer - genjer
Peristiwa "berdarah" Gerakan 30 September 1965 yang
melibatkan Partai Komunis Indonesia, membuat rezim
Orde Baru yang memang "anti-komunisme", menerapkan
politik "bumi hangus", yaitu menghancurkan segala yang
berhubungan dengan komunis. Mulai dari tokoh –
tokohnya, orang – orang yang terlibat, anak cucu dan
keturunannya, sampai termasuk semua “produk” yang
dilahirkan oleh orang-orang komunis. Sehingga segala
sesuatu yang berhubungan dengan komunis dianggap
“haram” hukumnya dan wajib untuk dilenyapkan.
Fenomena ini terjadi juga di Banyuwangi, dimana
Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer",
ditangkap dan “hilang” (tidak pernah terungkap hingga
kini) dalam aksi "pembersihan" terhadap komunis di
tahun 1966-1967 di Indonesia, akibat dianggap terlibat
dengan PKI. Juga tidak ketinggalan karyanya lagu
“genjer – genjer”, yang memang sudah terlanjur ber
image PKI, ikut di “bumi hangus”kan. Sampai akhirnya
pemerintah mencekal dan melarang disebarluaskannya
lagu ini.
Ada beberapa kesalahan alasan versi “Orde Baru” terkait
pencekalan lagu ini yang selalu dikaitkan dengan
idiologi komunis, yaitu :
1. Sejak awal, lagu ini diciptakan oleh Muhammad Arif
yang notabene seorang seniman Lekra yang
disinyalir dibawah PKI. Juga lagu ini dikembangkan
pula oleh kalangan komunis. Walaupun pada
perkembangannya di era tahun 1960-an, lagu ini
tidak hanya digemari oleh kalangan komunis saja,
tetapi juga masyarakat secara luas. Sebuah
kekeliruan rezim orde baru, karena lagu ini
sebenarnya terinspirasi saat penjajahan Jepang.
2. Para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
dan Pemuda Rakyat -keduanya juga disinyalir
organisasi dibawah PKI-, menyanyikan lagu ini
ketika para jendral diculik, diinterogasi dan disiksa
di lubang buaya Jakarta. Sehingga semakin
memperjelas bahwa lagu ini mempunyai "hubungan
intim" dengan PKI. Peristiwa ini juga digambarkan
pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C.
Noer, yang merupakan “pesanan” Pemerintah rezim
Orde Baru. Tapi akhirnya banyak bukti yang
meyakinkan bahwa film G 30 S/ PKI merupakan film
"fiksi" yang banyak penyimpangan dan kebohongan
publik, sehingga ini merupakan kesalahan penilaian
selanjutnya orde baru terhadap lagu "genjer - genjer.
3. Ketika peristiwa G 30 S tahun 1965 terjadi, Harian
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia),
disinyalir juga memplesetkan lagu "genjer-genjer"
menjadi "jendral-jendral", sehingga maknanya
menjadi berbeda. Dengan alasan itu, semakin
mempertegas lagi lagu ini untuk segera di cekal dan
dilarang peredarannya. Padahal, beberapa seniman di
Banyuwangi yang pertama kali mempopulerkan lagu
ini, merasa tidak tau apa – apa tentang plesetan lirik
lagu ini, dan merasa heran oleh pihak - pihak yang
mendiskreditkan lagu ini.
Perubahan lirik lagu "genjer - genjer" versi KAMI
menjadi
Jendral Jendral Nyang Jakarta pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekel
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni dan dipelosoro
Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo
Jendral Jendral maju terus dipateni
Dengan beberapa alasan tersebut, maka semakin
mengukuhkan pemerintah rezim orde baru untuk segera
mem "bumi hangus"kan lagu “genjer – genjer” di bumi
Indonesia. Siapa pun yang tetap menyanyikan lagu ini
akan dianggap melawan hukum dan ditangkap oleh
aparat keamanan, tentu saja dengan tuduhan komunis.
Bahkan termasuk juga beberapa lagu lainnya yang
memang mempengaruhi unsur kesadaran politik pada
masyarakat. Inilah salah satu dosa besar rezim Soeharto
dalam pembodohan publik!
Lagu Genjer – genjer Pasca Orde Baru
Pada tahun 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto,
Indonesia memasuki era baru, era dimana mulai
terkuaknya kembali sejarah – sejarah lama yang
mengandung unsur kebohongan publik. Pemerintah yang
mempunyai wewenang otoritas regulasi, mencoba
melakukan babak politik baru, dimana konsep kebebasan
berekspresi menjadi semakin terbuka lebar.
Salah satunya masalah hubungan politik dan
kebudayaan. Termasuk larangan penyebarluasan lagu
"genjer-genjer", yang secara formal telah berakhir,
seiring berakhirnya pula hukuman "bumi hangus"
terhadap beberapa produk "kiri". Walaupun sebenarnya
masih ada beberapa kasus stigmatisasi terhadap lagu ini
oleh beberapa pihak. Misalnya saja tahun 2009 yang
terjadi di Solo, ketika ada sekelompok "laskar" yang
mendemo salah satu stasiun radio disana, pada saat
radio tersebut memutarkan lagu "genjer - genjer". Tapi
ya sudahlah, ini Indonesia, negara rancu dengan berjuta
kontroversi. Hanya buang - buang energi kalo kita hanya
membahas kontroversi walaupun dengan argumen yang
jelas, yang ujungnya hanya akan bermuara ke penguasa
(*pemerintah) sebagai regulator.
Bagi masyarakat luas saat ini, lagu "Genjer-genjer"
memang sudah mulai di terima dan di apresiasi dibalik
berbagai macam kontroversinya. Bahkan sebenarnya dari
dulu, tetapi dulu mungkin kita "males" beruurusan
dengan berbagai macam "tetek bengek"nya. Ini terbukti
dengan banyak beredarnya lagu ini melalui berbagai
ruang publik dan media secara bebas. Salah satunya
internet. Sehingga kita bisa dengan mudah dan bebas
mengakses lagu ini, sebebas dari hakikat seni itu
sendiri.
Ada beberapa cover version lagu "genjer - genjer" yang
bisa kita lihat di situs youtube atau beberapa situs
lainnya di internet. Selain dari Bing slamet dan Lilis
Suryani yang memang sudah lebih dulu ngetop
membawakan lagu ini dengan versi “ oldskool “nya, ada
beberapa musisi lainnya juga yang membawakan lagu
ini versi mereka,seperti :
1. Tika & The Dissident, yang menyanyikan lagu ini
dengan aransemen kontemporer versi live, dengan
tanpa mengurangi ke “angker”an lagu tersebut.
2. Dengue Fever, musisi asal Los Angeles, Amerika ini
juga membawakan lagu "genjer - genjer" lewat
vokalis wanitanya dengan menggunakan bahasa
Khmer (bahasa Kamboja).
3. Filastine, yang berkolaborasi dengan komunitas
Taring Padi dari Yogyakarta yang membuat project
video lagu "genjer - genjer" dengan versi electronic
music .
4. That Tomi Simatupang Incarnation , sebuah band
project dari pria asal Yogyakarta yang tinggal di luar
negri juga pernah melaunching lagu ini di Berlin,
Jerman
Juga banyak musisi lainnya seperti Gestapu , band asal
Yogyakarta, Jawaika (versi Reggae), atau Dubyouth dan
musisi lainnya yang sering membawakan lagu ini
disetiap performance mereka.
Lagu "genjer - genjer" memang sangat fenomenal,
semoga karya besar ini bisa menghiasi dan semakin
memperkaya kebudayaan dunia musik Indonesia tanpa
harus melihat sejarah kultural, agama, politik dan
berbagai latar belakang lainnya. Apalagi harus menjadi
lagu traumatis yang "katanya" akan membuka luka lama
yang menakutkan. Tidak ada yang bisa membelenggu
kebebasan lagu ini, terlebih politik. Bahkan seharusnya
lagu “genjer –genjer” bisa dijadikan sebagai simbol
budaya, kesederhanaan dan simbol perlawanan.
note: maap brantakan ane pk hp
berbahasa jawa (lebih tepatnya bahasa osing, yaitu
bahasa atau dialek khas Banyu wangi, Jawa Timur),
yang pernah berjaya di era tahun 60 an. Lagu ini
memang bukan salah satu lagu perjuangan yang sering
diajarkan di sekolah ketika zaman Sekolah Dasar dulu,
tapi lagu ini mempunyai history yang sangat panjang
dan menjadi saksi bisu diantara kontroversi tentang
sejarah Indonesia saat itu, terutama isu Komunisme.
Lagu yang sempat menjadi tabu ini memang mempunyai
sejarah yang “kelam”, sekelam sejarah Indonesia saat
itu. Lagu ini juga menjadi saksi sejarah kekuasaan dari
zaman ke zaman, terlebih zaman Orde baru yang
dikepalai Soeharto, yang secara
formal telah melarang beredarnya lagu ini. Sebuah maha
karya seni yang menjadi korban manipulasi tanpa
argumentasi kekejaman politik dan kekuasaan penguasa
otoriter.
"Genjer -genjer", Sebuah lagu rakyat yang sederhana,
gelap, suram, “angker” dan misterius.
Berikut kisahnya…
Sejarah Lagu Genjer – genjer
Sebelum tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi
(Jawa Timur) merupakan daerah yang sangat subur dan
makmur, sehingga secara ekonomi warga tidak merasa
kekurangan. Namun semenjak kedatangan Jepang ke
Indonesia (1942-1945), keadaan berubah sebaliknya.
Anak – anak muda yang masuk usia produktif (terutama
pria), ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja Romusha
(kerja paksa ala Jepang), untuk di kirim ke seluruh
daerah di Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo
China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos ).
Mereka dipekerjakan di camp militer Jepang yang
sedang berperang dengan sekutu waktu itu.
Akibat ulah Jepang tersebut, lahan pertanian menjadi
tidak terurus. Banyuwangi menjadi daerah yang miskin
hingga kekurangan bahan pangan, dan banyak
masyarakat menjadi kelaparan hingga meninggal dunia.
Sampai salah satu efeknya, masyarakat harus mengolah
daun genjer (limnocharis flava), sejenis eceng gondok,
untuk dijadikan makanan. Sebelumnya, oleh masyarakat
Banyuwangi, tanaman genjer, yang biasanya terdapat di
sungai, dianggap sebagai tanaman gulma atau
pengganggu dan sebagai makanan hewan ternak seperti
ayam dan babi.
Situasi sosial semacam itulah yang akhirnya
menjadikan seorang Muhammad Arief, seniman
angklung asal Banyuwangi, terinspirasi untuk
menciptakan sebuah lagu berjudul "genjer-genjer"
sekitar tahun 1942/1943 , pada saat istri Muhammad
Arief, Ny. Suyekti, menyuguhkan masakan sayur genjer
kepadanya.
Lagu ini menceritakan tentang keadaan masyarakat
miskin di Banyuwangi kala itu, yang sampai harus
makan daun genjer, karena kekurangan makanan. Lagu
ini juga merupakan bentuk sindiran buat penguasa
Jepang yang sudah membuat masyarakat Banyuwangi
menjadi miskin. Lagu "genjer -genjer" diadaptasi dari
lagu rakyat berjudul “Tong Alak Gentak” ali-ali moto ijo,
yang sudah lebih dulu melegenda di Banyuwangi.
Dengan mengganti liriknya, lagu tersebut akhirnya
dengan cepat menjadi lagu populer di masyarakat
Banyuwangi kala itu.
Genjer adalah sejenis gulma yang biasa hidup
di antara tanaman padi di sawah. Awalnya genjer
yang dalam bahasa latinnya disebut limnocharis flava
oleh masyarakat Banyuwangi hanya digunakan untuk
makanan ayam, itik ataupun babi.
Lirik Lagu Genjer - genjer
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Emak'e jebeng podho tuku nggowo welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer dipangan musuhe sego
Terjemahan Bahasa Indonesia
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Ibu si bocah datang memunguti genjer
Ibu si bocah datang memunguti genjer
Dapat sebakul dia berpaling begitu saja tanpa melihat ke
belakang,
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa wadah-
anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi
Lagu Genjer –genjer dan Hubungannya dengan PKI
Setelah masa kemerdekaan, tepatnya pada masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ketika iklim situasi
politik di Indonesia memang sedang berada pada
puncaknya, banyak partai – partai politik berbagai aliran
berdiri waktu itu, seperti Partai Nasional Indonesia
(PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi),
Nahdatul Ulama(NU) dan Partai Rakyat Indonesi (PKI).
Partai – partai tersebut melakukan kampanye besar-
besaran untuk meningkatkan popularitas dan mencari
simpati masyarakat Indonesia sebanyak -banyaknya.
Salah satunya lewat jalur kesenian, karena kesenian
merupakan salah satu “hiburan alternatif” masyarakat
Indonesia, sehingga menjadi salah satu cara efektif
untuk merekrut simpatisan partai. Partai – partai
tersebut membuat organisasi afiliasi berbasis kesenian
dan menggandeng para seniman utuk bergabung
bersama mereka. Sebut saja PNI yang membentuk
Lembaga Kesenian Nasional (LKN), Partai NU
membentuk Lesbumi, Masyumi membentuk Himpunan
Seni dan Budaya Islam (HSBI), serta PKI yang
membentuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra ).
Cerita berawal pada tahun 1962 saat Njoto , seniman dan
salah satu aktivis Lekra yang juga simpatisan PKI,
mampir ke Banyuwangi, saat dalam perjalanan menuju
Bali. Saat itu lagu “genjer –genjer” ditampilkan oleh
para seniman Banyuwangi untuk menghiburnya. Njoto
yang memang berjiwa seni tinggi, memiliki naluri bahwa
lagu ini akan banyak disukai masyarakat Indonesia
kedepannya, selain daripada lirik lagu ini yang memang
mewakili keadaan bangsa Indonesia saat itu.
Sampai akhirnya Njoto menggandeng para seniman
Banyuwangi, termasuk Muhammad Arif, untuk bergabung
bersama Lekra. Sejak digandeng Lekra, “seni
Banyuwangi”an semakin dikenal luas. Banyak lagu-lagu
Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara – acara
PKI dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk lagu
Genjer-genjer, juga lagu lainnya seperti lagu Nandur
Jagung dan lagu Sekolah.
Bahkan seiring perkembangannya, Muhammad Arief
(selain seniman, dia juga mantan tentara),sang pencipta
lagu "genjer - genjer", ditempatkan sebagai anggota
DPRD Kabupaten Banyuwangi, mewakili PKI. Seniman
yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta
membuat lagu yang senapas degan ideologi PKI lainnya,
seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars
Lekra dan Proklamasi.
Popularitas Lagu Genjer –genjer Di Era 1960 an
Dugaan Njoto ternyata benar, tak lama kemudian, lagu
"Genjer-genjer" menjadi sangat populer ke seantero
Nusantara. Apalagi di tahun 1960 an, lagu itu sering
dibawakan penyanyi-penyanyi “beken” era itu, seperti
Lilis Suryani dan Bing Slamet (dalam albumnya “mari
bersuka ria” pada tahun 1965), dan sempat dibikin vinyl
(piringan hitam). Lagu itu seakan menjadi lagu wajib
yang sering diputar di TVRI dan RRI (dua media nasional
yang ada saat itu). Saking terkenalnya bahkan kemudian
muncul pengakuan dari Jawa Tengah, bahwa lagu
"genjer - genjer" ternyata diciptakan oleh Ki Narto
Sabdo seorang dalang kondang dan seniman yang
tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)
yang bernaung di bawah PNI, asal Semarang, yang pada
akhirnya terbukti bahwa Ki Narto Sabdo hanya
mempopulerkannya saja pada setiap penampilannya.
Terlepas dari berbagai polemik dan sejarahnya, lagu
“genjer – genjer” semakin populer di Indonesia. Tapi
disisi lain, stigma masyarakat semakin menganggap dan
mengasosiasikan lagu “genjer – genjer” sebagai lagu
propaganda PKI.
Pencekalan lagu Genjer - genjer
Peristiwa "berdarah" Gerakan 30 September 1965 yang
melibatkan Partai Komunis Indonesia, membuat rezim
Orde Baru yang memang "anti-komunisme", menerapkan
politik "bumi hangus", yaitu menghancurkan segala yang
berhubungan dengan komunis. Mulai dari tokoh –
tokohnya, orang – orang yang terlibat, anak cucu dan
keturunannya, sampai termasuk semua “produk” yang
dilahirkan oleh orang-orang komunis. Sehingga segala
sesuatu yang berhubungan dengan komunis dianggap
“haram” hukumnya dan wajib untuk dilenyapkan.
Fenomena ini terjadi juga di Banyuwangi, dimana
Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer",
ditangkap dan “hilang” (tidak pernah terungkap hingga
kini) dalam aksi "pembersihan" terhadap komunis di
tahun 1966-1967 di Indonesia, akibat dianggap terlibat
dengan PKI. Juga tidak ketinggalan karyanya lagu
“genjer – genjer”, yang memang sudah terlanjur ber
image PKI, ikut di “bumi hangus”kan. Sampai akhirnya
pemerintah mencekal dan melarang disebarluaskannya
lagu ini.
Ada beberapa kesalahan alasan versi “Orde Baru” terkait
pencekalan lagu ini yang selalu dikaitkan dengan
idiologi komunis, yaitu :
1. Sejak awal, lagu ini diciptakan oleh Muhammad Arif
yang notabene seorang seniman Lekra yang
disinyalir dibawah PKI. Juga lagu ini dikembangkan
pula oleh kalangan komunis. Walaupun pada
perkembangannya di era tahun 1960-an, lagu ini
tidak hanya digemari oleh kalangan komunis saja,
tetapi juga masyarakat secara luas. Sebuah
kekeliruan rezim orde baru, karena lagu ini
sebenarnya terinspirasi saat penjajahan Jepang.
2. Para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
dan Pemuda Rakyat -keduanya juga disinyalir
organisasi dibawah PKI-, menyanyikan lagu ini
ketika para jendral diculik, diinterogasi dan disiksa
di lubang buaya Jakarta. Sehingga semakin
memperjelas bahwa lagu ini mempunyai "hubungan
intim" dengan PKI. Peristiwa ini juga digambarkan
pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C.
Noer, yang merupakan “pesanan” Pemerintah rezim
Orde Baru. Tapi akhirnya banyak bukti yang
meyakinkan bahwa film G 30 S/ PKI merupakan film
"fiksi" yang banyak penyimpangan dan kebohongan
publik, sehingga ini merupakan kesalahan penilaian
selanjutnya orde baru terhadap lagu "genjer - genjer.
3. Ketika peristiwa G 30 S tahun 1965 terjadi, Harian
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia),
disinyalir juga memplesetkan lagu "genjer-genjer"
menjadi "jendral-jendral", sehingga maknanya
menjadi berbeda. Dengan alasan itu, semakin
mempertegas lagi lagu ini untuk segera di cekal dan
dilarang peredarannya. Padahal, beberapa seniman di
Banyuwangi yang pertama kali mempopulerkan lagu
ini, merasa tidak tau apa – apa tentang plesetan lirik
lagu ini, dan merasa heran oleh pihak - pihak yang
mendiskreditkan lagu ini.
Perubahan lirik lagu "genjer - genjer" versi KAMI
menjadi
Jendral Jendral Nyang Jakarta pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekel
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni dan dipelosoro
Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo
Jendral Jendral maju terus dipateni
Dengan beberapa alasan tersebut, maka semakin
mengukuhkan pemerintah rezim orde baru untuk segera
mem "bumi hangus"kan lagu “genjer – genjer” di bumi
Indonesia. Siapa pun yang tetap menyanyikan lagu ini
akan dianggap melawan hukum dan ditangkap oleh
aparat keamanan, tentu saja dengan tuduhan komunis.
Bahkan termasuk juga beberapa lagu lainnya yang
memang mempengaruhi unsur kesadaran politik pada
masyarakat. Inilah salah satu dosa besar rezim Soeharto
dalam pembodohan publik!
Lagu Genjer – genjer Pasca Orde Baru
Pada tahun 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto,
Indonesia memasuki era baru, era dimana mulai
terkuaknya kembali sejarah – sejarah lama yang
mengandung unsur kebohongan publik. Pemerintah yang
mempunyai wewenang otoritas regulasi, mencoba
melakukan babak politik baru, dimana konsep kebebasan
berekspresi menjadi semakin terbuka lebar.
Salah satunya masalah hubungan politik dan
kebudayaan. Termasuk larangan penyebarluasan lagu
"genjer-genjer", yang secara formal telah berakhir,
seiring berakhirnya pula hukuman "bumi hangus"
terhadap beberapa produk "kiri". Walaupun sebenarnya
masih ada beberapa kasus stigmatisasi terhadap lagu ini
oleh beberapa pihak. Misalnya saja tahun 2009 yang
terjadi di Solo, ketika ada sekelompok "laskar" yang
mendemo salah satu stasiun radio disana, pada saat
radio tersebut memutarkan lagu "genjer - genjer". Tapi
ya sudahlah, ini Indonesia, negara rancu dengan berjuta
kontroversi. Hanya buang - buang energi kalo kita hanya
membahas kontroversi walaupun dengan argumen yang
jelas, yang ujungnya hanya akan bermuara ke penguasa
(*pemerintah) sebagai regulator.
Bagi masyarakat luas saat ini, lagu "Genjer-genjer"
memang sudah mulai di terima dan di apresiasi dibalik
berbagai macam kontroversinya. Bahkan sebenarnya dari
dulu, tetapi dulu mungkin kita "males" beruurusan
dengan berbagai macam "tetek bengek"nya. Ini terbukti
dengan banyak beredarnya lagu ini melalui berbagai
ruang publik dan media secara bebas. Salah satunya
internet. Sehingga kita bisa dengan mudah dan bebas
mengakses lagu ini, sebebas dari hakikat seni itu
sendiri.
Ada beberapa cover version lagu "genjer - genjer" yang
bisa kita lihat di situs youtube atau beberapa situs
lainnya di internet. Selain dari Bing slamet dan Lilis
Suryani yang memang sudah lebih dulu ngetop
membawakan lagu ini dengan versi “ oldskool “nya, ada
beberapa musisi lainnya juga yang membawakan lagu
ini versi mereka,seperti :
1. Tika & The Dissident, yang menyanyikan lagu ini
dengan aransemen kontemporer versi live, dengan
tanpa mengurangi ke “angker”an lagu tersebut.
2. Dengue Fever, musisi asal Los Angeles, Amerika ini
juga membawakan lagu "genjer - genjer" lewat
vokalis wanitanya dengan menggunakan bahasa
Khmer (bahasa Kamboja).
3. Filastine, yang berkolaborasi dengan komunitas
Taring Padi dari Yogyakarta yang membuat project
video lagu "genjer - genjer" dengan versi electronic
music .
4. That Tomi Simatupang Incarnation , sebuah band
project dari pria asal Yogyakarta yang tinggal di luar
negri juga pernah melaunching lagu ini di Berlin,
Jerman
Juga banyak musisi lainnya seperti Gestapu , band asal
Yogyakarta, Jawaika (versi Reggae), atau Dubyouth dan
musisi lainnya yang sering membawakan lagu ini
disetiap performance mereka.
Lagu "genjer - genjer" memang sangat fenomenal,
semoga karya besar ini bisa menghiasi dan semakin
memperkaya kebudayaan dunia musik Indonesia tanpa
harus melihat sejarah kultural, agama, politik dan
berbagai latar belakang lainnya. Apalagi harus menjadi
lagu traumatis yang "katanya" akan membuka luka lama
yang menakutkan. Tidak ada yang bisa membelenggu
kebebasan lagu ini, terlebih politik. Bahkan seharusnya
lagu “genjer –genjer” bisa dijadikan sebagai simbol
budaya, kesederhanaan dan simbol perlawanan.
note: maap brantakan ane pk hp
Quote:
Diubah oleh ulerkadutlebay 09-02-2014 21:30
0
15.9K
36


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan