Tradisi yang salah dan keliru menjelang Bulan Ramadhan
TS
laxxxx
Tradisi yang salah dan keliru menjelang Bulan Ramadhan
Assalamualaikum, menjelang ramadhan banyak sekali tradisi” yang tidak sesuai dengan syariat islam. Beberapa diantaranya:
1. Bermaaf maafan
Quote:
Yg mengamalkan ber maaf“an sebelum puasa
ini berdasarkan hadits
Do’a Malaikat Jibril:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1) Tdk memohon maaf terlebih dulu pada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tdk bermaafan terlebih dulu antra suami istri;
3) Tdk bermaafan terlebih dahulu dgn orang sekitarnya.
Hadits di atas ini MAUDLU / PALSU
berhubungan dengan kesalahan yg kita perbuat:
“Orang yg prnh menzhalimi saudaranya dlm hal apapun, maka HARI INI ia wajib meminta prbuatannya trsebut dihalalkan o saudaranya, sblm dtng hari dmn tdk ada dinar & dirham. Krena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akn dikurangi u melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kpdnya dosa-dosa dri orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449) SHAHIH
meminta maaf itu dilatar belakangi “KESALAHAN”bukan dilatar belakangi “WAKTU”. Inilah yg diajarkan SYARIAT.
artinya: jika punya salah, segera minta maaf saat itu juga, hari itu juga. BUKAN sblm puasa / menunggu lebaran.
Tapi kan gada salahnya minta maaf sebelum puasa ..... ?
Suatu amalan yg berdasar kpd HADITS PALSU akan menciptakan SYARIAT PALSU .... !!!
2. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Quote:
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”).
Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian, dapat mendoakan mereka sewaktu-waktu. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu seperti menjelang Ramadhan dan meyakini bahwa waktu tersebut adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar.
Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang mengajarkan hal ini.
Apalgi pas ziarah ngobrol sama mayat:
Kek, nek, pak, bu, maafin saya y besok mau puasa. Doain mdh”an puasa saya lancar.
Hal sperti ini sudah masuk kategori musyrik ….
3. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Quote:
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu.
Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya dengan ikhtilath campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian.
Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam.
Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
4. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”
Quote:
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482.
Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,
ذَهَبَ الظمَأُ وَابْتَلتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
Sebenarnya masih banyak tradisi yang menyalahi aturan islam yang beredar dan menjadi kebiasaan kaum muslimin. Silahkan apabila ada yang mau menambahkan ....
Hal ini sangat penting karena
Artinya: "Jauhilah perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap yang baru adalah perbuatan bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan di dalam neraka"
Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah kepada kita semua agar teguh menjalankan sunahnya.
mari sama" menuju perubahan ke arah yang BENAR, bukan skedar BAIK.
BAIK blm tentu BENAR, tapi BENAR INSYA ALLAH juga BAIK
Semoga bermanfaat
Wassalam
banyak yang bisa di jadikan sumber sebagai rujukan, beberapa diantaranya:
“Orang yang berpuasa adalah (tetap) di dalam ibadah meskipun dia terbaring (tidur) diatas tempat tidurnya”
Hadits ini sering kali kita dengar, paling tidak, maknanya bahwa ada yang mengatakan tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah sehingga kemudian ini dijadikan alasan untuk menghabiskan waktu dengan tidur saja. Bahkan barangkali karenanya, shalat lima waktu ada yang bolong padahal kualitas hadits ini adalah DHO’IF (lemah).
Hadits tersebut disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam kitabnya “al-Jami’ ash-Shaghir”, riwayat ad-Dailamy di dalam Musnad al-Firdaus dari Anas. Imam al-Manawy memberikan komentar dengan ucapannya, “Di dalamnya terdapat periwayat bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl, Imam adz- Dzahaby berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’afa, ‘Ibnu ‘Ady berkata, ‘(dia) termasuk orang yang suka memalsukan hadits.”
Menurut Syaikh al-Albany, hadits ini ada pada riwayat yang lain tanpa periwayat tersebut sehingga dengan demikian, hadits ini bisa terselamatkan dari status Maudlu’, tetapi tetap DHO’IF.
Syaikh al-Albany juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Ahmad di dalam kitabnya Zawa-`id az-Zuhd, hal. 303 meriwayatkan hadits tersebut dari ucapan Abi al-‘Aliyah secara mauquf dengan tambahan: ما لم يغتب (selama dia tidak menggunjing/ghibah). Dan sanad yang satu ini adalah Shahih, barangkali inilah asal hadits. Ia Mauquf (yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh Shahabat atau Tabi’in) lantas sebagian periwayat yang lemah keliru dengan menjadikannya Marfu’ (hadits yang sampai kepada Rasulullah). Wallahu a’lam. (Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah wa al-Maudlu’ah, jld.II, karya Syaikh al-Albany, no. 653, hal. 106).