

TS
dantd95
[Cerpen] Dan Di Pinggir Sungai Mereka Tersesat
Cerita ini juga diikutsertakan dalam lomba [URL="http://www.S E N S O R/topic/show/1251663-lomba-cerbul-kasfan-maret-13#comment_71903892"]Cerpen Bulanan Kastil Fantasi Maret 2013.[/URL]
Spoiler for Part 1:
Orang bilang, akhir-akhir ini di setiap jembatan selalu ada tiga orang aneh. Semuanya lelaki. Yang satu jangkung kurus. Jangkung seperti menara, kurus seperti tiang. Yang kedua gemuk berkacamata, dengan rambut yang tak pernah disisir. Yang ketiga, satu-satunya yang tampan di antara mereka, tangannya hanya satu tiga perempat. Tangan kirinya buntung sampai pergelangan tangan.
Ketiganya selalu mondar-mandir di semua jembatan yang mereka kunjungi. Biasanya si kurus akan minum cola atau kopi kaleng, sedangkan si gemuk makan keripik kentang yang selalu ia tawarkan pada si buntung dengan kata-kata seperti “Kamu lapar kan?” atau terkadang “Perutmu keroncongan tuh,” dan si buntung sendiri akan selalu menolak halus tawaran itu.
Si kurus biasanya bicara keras-keras; si gemuk sering mengingatkannya agar menghentikan kebiasaannya ini, tapi kalau tertawa dialah yang paling lantang. Si buntung hanya akan ikut tersenyum, tertawa sedikit melihat tingkah dua temannya, dan bicara paling pelan.
Mereka adalah anggota Klub Riset dan Apresiasi Jembatan Universitas Institut Negeri Nasional Agamis Teknik Seni Bojongsoak. Tidak ada ketua. Karena sebenarnya mereka lebih seperti tiga sahabat yang punya hobi sama dibanding sebuah organisasi resmi. Formalitas, katanya. Supaya tidak terlihat seperti main-main dan buang-buang waktu semata. Supaya terlihat serius! Terlihat keren! Canggih! Intelek!
Pastilah banyak orang yang mempertanyakan apa yang mereka lakukan. Lagipula, meskipun kata “apresiasi” dan “jembatan” adalah kata-kata yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari, frasa “apresiasi jembatan” lebih terdengar seperti nama sebuah grup band indie yang memainkan aliran musik aneh dibandingkan nama sebuah hobi. Tidak, kalaupun itu disebutkan sebagai hobi, telinga yang awam tidak akan percaya. Kuping-kuping itu hanya akan menyuruh mulut berbunyi, “Kedengarannya seperti mata kuliah khusus di jurusan teknik sipil.”
Tapi kalau anda sekalian yang membaca cerita ini kebetulan melintasi sebuah jembatan dan bertemu ketiga lelaki ini, anda boleh saja meragukan mereka. Anda boleh saja bertanya atau meremehkan mereka terang-terangan. Yang akan anda dapat adalah sebuah pembelaan yang sangat detil, khas, dan berapi-api dari ketiganya.
Bagi mereka, apresiasi jembatan adalah hidup. Di saat orang lain membicarakan apakah paha penyanyi A lebih mulus dari paha penyanyi B, mereka membicarakan apakah penempatan tiang dan desain jembatan A lebih estetis dari jembatan B. Bukan, mereka bukan mahasiswa fakultas teknik. Ketiganya (agar anda tidak bingung, berikut nama mereka : yang jangkung itu Rondo Wheatstone, yang gemuk Busardi Ponton, yang buntung Dudu Gelagar. Ya, si jangkung seorang indo) mahasiswa fakultas seni.
Rondo seorang mahasiswa jurusan desain komunikasi visual, atau DKV. Atau dalam pengucapannya sendiri, yang jelas-jelas salah tapi tidak pernah mau dibetulkan, Dekapi. Ayahnya orang Inggris, asli dari Sheffield, tapi tidak ada sedikit pun sisa-sisa darah Inggris di wajahnya. Ada orang yang sampai berkata “Orang tuamu terlalu berharap tinggi-tinggi memberimu nama sebule itu,” padanya, padahal kenyataannya jelas tidak seperti itu.
Busardi Ponton, anak kedua dari klan pebisnis Ponton yang usianya hanya beda 5 menit dengan kakaknya, adalah mahasiswa jurusan seni lukis murni. Yang dia lukis : uang, keuangan, dan uang. Tak bisa dipungkiri bahwa lelaki gemuk ini sering sekali berandai-andai, kalau saja dia yang lahir duluan... (keluarganya penganut sejati paham primogenitur) meskipun kenyataannya justru fakta bahwa dia lahir belakanganlah yang membuatnya bisa lebih bebas mengejar mimpi.
Si buntung Dudu sendiri mahasiswa jurusan seni teater. Peran yang paling sering ia mainkan? Orang buntung. Tapi dia selalu terlihat menikmati perannya, sehingga suatu saat dosen yang melihat kelihaian aktingnya memutuskan untuk memberinya peran utama... dalam drama tentang orang-orang buntung.
Ketiganya pertama kali bertemu di sebuah jembatan di dekat kampus mereka. Nama jembatan itu aslinya Jembatan Prof. Dr. H. Murdiono Mulyadi Mistulu bin Muhammad Munarwan Mostar S.T.I.MBA, tapi semua orang menyebutnya Jembatan Galau. Julukan ini memang tidak berseni dan tidak membuat lidah anda meliuk bahagia, tapi wajar saja karena yang menamainya sama sekali tidak tahu apa-apa soal sastra. Nama tidak resmi itu tersemat karena tempatnya terkenal di kalangan mahasiswa sebagai suaka para forever alone dan orang-orang yang hubungannya baru berakhir untuk merenungi nasib.
Awalnya hanya Busardi yang ada di sana, berdiri di sisi kiri jembatan dan menatap sungai. Kalau anda kebetulan kenal padanya dan melihatnya seperti itu, anda pasti ingin bertanya “Bro, galau gara-gara perempuan ya?” sekedar untuk menggodanya. Jawaban yang akan dia berikan adalah : tidak, aku memikirkan berapa banyak uang yang kupunya kalau saja aku lahir 5 menit 1 detik lebih awal.
Tapi dari air mukanya bisa terlihat bahwa dia sedang membayangkan sesuatu yang lain. Yang bunyinya seperti “Kalau saja membunuh itu tidak melanggar hukum, akan kubunuh pacar si X agar aku bisa mendekatinya,” atau “Kalau aku tegaan, sudah kurebut gadis itu dari pacarnya,” padahal fakta bahwa gadis yang diincarnya sudah punya pacar atau belum tak akan mengubah realitanya. Kenyataannya, Busardi Ponton tidak punya keahlian mencintai wanita.
Setelahnya muncullah Rondo entah dari mana. Tahu-tahu saja dia sudah bersandar di sisi jembatan. Matanya menerawang ke arah langit. Asap dari rokok yang dihisapnya menjalar kemana-mana, seolah membungkus tubuhnya. Dia ingin hilang. Terbayang di benaknya, kalau saja dia bisa meleleh dan masuk ke dalam sungai. Atau melebur bersama tiang besi. Atau menjadi papan kayu. Tidak masalah baginya, yang penting dia bisa menghilang sementara.
Dia baru saja ditolak oleh seorang wanita. Dadanya terasa aneh karena ada perasaan lain yang menyelusup ke dalam hatinya selain kekecewaan. Ada rasa guilty pleasure yang menyeruak; jika dihitung sudah 70 wanita yang menolak cintanya. Memalukan? Iya. Rekor hebat? Iya. Ada rasa rendah diri. Ada juga bisikan-bisikan idealis yang menyusup ke dalam otak, membuat kegaduhan. Maka kali itu dia merokok.
Kalau anda ada di sana saat itu, posenya terlihat sangat bergaya. Padahal dia menahan batuk sekuat tenaga. Batuk perlawanan dari paru-paru terhadap invasi asap rokok. Dan pada akhirnya racun sekaligus obat sendu paling ampuh ini juga tidak bisa meredam kehancuran hatinya.
Tetap saja, setiap ditanya “Apa yang membuatmu merokok?” jawabannya persis sama : “Untuk menenangkan diri dari ejekan yang selalu datang kepadaku, tentang namaku ini.”
Dudu si buntung baru muncul setelah kedua pria tak laku lainnya agak lama merenung. Dia melihat kiri dan kanan, depan dan belakang, sambil mondar-mandir terus-menerus bak orang paranoid yang sedang diincar pembunuh bayaran. Itu caranya mengatasi kekalutan di dalam hatinya, mencegahnya menjalar dan meradang ke seluruh tubuhnya.
Masalahnya sama seperti kedua pria sebelumnya. Tak perlu disebutkan lagi detailnya karena tak jauh beda dengan yang lain, walau memang semua kegagalan punya caranya sendiri-sendiri. Bedanya, yang ini tidak menafikan ketidakberhasilannya.
Si buntung melihat tangan kirinya, berangan-angan. Berkhayal bahwa bagian yang tidak ada itu hanya hilang sementara. Bahwa perempuan, laki-laki, semua manusia memandangnya dari dalam. Bukan, dia bukan seorang pendendam. Orang ini juga bukan tipe yang suka larut dalam kesedihan. Dia optimis, sangat optimis.
Tapi tentu saja ada residu kenegatifan yang berdiam di sudut pikirannya, setiap saat bergerilya mencari celah untuk mengalahkan keceriaan dan kebahagiaan. Kelakuan kekanakannya adalah cara kepositifannya bertahan. Puas mondar-mandir Dudu pun bersandar, dekat Busardi.
Dengan ini mereka bertiga telah berada dalam satu panggung yang sama. Hanya mereka bertiga, tanpa gangguan siapa pun.
“Lu galau cewek juga?” tanya Rondo, pada siapapun yang ingin menjawabnya. Tak ada yang tahu kenapa terbersit kata seperti itu dari mulutnya. Tapi rupanya ada yang menjawab juga.
“Sama,” itu suara Busardi. “Lu gimana?” tanyanya, kali ini jelas pada Dudu.
“Iya, gue juga,” yang ini suaranya hampir tak terdengar, tapi ada.
Mereka bertiga saling pandang. Tahu-tahu saja mereka sudah bersandar di sisi jembatan yang sama, hampir berdempetan.
“Wanita itu... kompleks sekali ya,” kata Busardi.
“Orang bilang mereka dari planet yang berbeda dengan kita, para lelaki,” timpal Dudu.
“Dan bukan benda mati yang mudah ditebak seperti jembatan ini,” balas Rondo.
Hening beberapa saat.
“Berapa kali... kalian ke sini?” tanya si buntung setengah berbisik. Dua orang yang ditanya ini memandang Dudu lekat-lekat.
“Kau pikir kau tak tahu jawabannya?”
Ketiganya terkekeh-kekeh, tak tahu menertawakan apa. Setelah itu kembali diam, tak tahu mau membicarakan apa. Masih tak ada orang lain di jembatan itu. Akhirnya Rondo, yang di kemudian hari menjadi inisiator di antara mereka bertiga, kembali membuka percakapan.
“Jembatan ini desainnya bagus.”
Itulah awal mula dibentuknya Klub Riset dan Apresiasi Jembatan, sebagai bentuk pelarian dari hati yang patah.
“Bagaimana kalau jembatan di sini saja?” usul Dudu. Tangan kanannya menunjuk pada sebuah titik di sebidang peta. Peta yang dibentangkan di lantai kamar kos Rondo. Titik yang ditunjuk sendiri merupakan sebuah jembatan di pinggir hutan jati.
“Jembatan kayu tak bernama... hmm, ada pendapat, Bus?” lempar Rondo.
Ketiganya selalu mondar-mandir di semua jembatan yang mereka kunjungi. Biasanya si kurus akan minum cola atau kopi kaleng, sedangkan si gemuk makan keripik kentang yang selalu ia tawarkan pada si buntung dengan kata-kata seperti “Kamu lapar kan?” atau terkadang “Perutmu keroncongan tuh,” dan si buntung sendiri akan selalu menolak halus tawaran itu.
Si kurus biasanya bicara keras-keras; si gemuk sering mengingatkannya agar menghentikan kebiasaannya ini, tapi kalau tertawa dialah yang paling lantang. Si buntung hanya akan ikut tersenyum, tertawa sedikit melihat tingkah dua temannya, dan bicara paling pelan.
Mereka adalah anggota Klub Riset dan Apresiasi Jembatan Universitas Institut Negeri Nasional Agamis Teknik Seni Bojongsoak. Tidak ada ketua. Karena sebenarnya mereka lebih seperti tiga sahabat yang punya hobi sama dibanding sebuah organisasi resmi. Formalitas, katanya. Supaya tidak terlihat seperti main-main dan buang-buang waktu semata. Supaya terlihat serius! Terlihat keren! Canggih! Intelek!
Pastilah banyak orang yang mempertanyakan apa yang mereka lakukan. Lagipula, meskipun kata “apresiasi” dan “jembatan” adalah kata-kata yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari, frasa “apresiasi jembatan” lebih terdengar seperti nama sebuah grup band indie yang memainkan aliran musik aneh dibandingkan nama sebuah hobi. Tidak, kalaupun itu disebutkan sebagai hobi, telinga yang awam tidak akan percaya. Kuping-kuping itu hanya akan menyuruh mulut berbunyi, “Kedengarannya seperti mata kuliah khusus di jurusan teknik sipil.”
Tapi kalau anda sekalian yang membaca cerita ini kebetulan melintasi sebuah jembatan dan bertemu ketiga lelaki ini, anda boleh saja meragukan mereka. Anda boleh saja bertanya atau meremehkan mereka terang-terangan. Yang akan anda dapat adalah sebuah pembelaan yang sangat detil, khas, dan berapi-api dari ketiganya.
Bagi mereka, apresiasi jembatan adalah hidup. Di saat orang lain membicarakan apakah paha penyanyi A lebih mulus dari paha penyanyi B, mereka membicarakan apakah penempatan tiang dan desain jembatan A lebih estetis dari jembatan B. Bukan, mereka bukan mahasiswa fakultas teknik. Ketiganya (agar anda tidak bingung, berikut nama mereka : yang jangkung itu Rondo Wheatstone, yang gemuk Busardi Ponton, yang buntung Dudu Gelagar. Ya, si jangkung seorang indo) mahasiswa fakultas seni.
Rondo seorang mahasiswa jurusan desain komunikasi visual, atau DKV. Atau dalam pengucapannya sendiri, yang jelas-jelas salah tapi tidak pernah mau dibetulkan, Dekapi. Ayahnya orang Inggris, asli dari Sheffield, tapi tidak ada sedikit pun sisa-sisa darah Inggris di wajahnya. Ada orang yang sampai berkata “Orang tuamu terlalu berharap tinggi-tinggi memberimu nama sebule itu,” padanya, padahal kenyataannya jelas tidak seperti itu.
Busardi Ponton, anak kedua dari klan pebisnis Ponton yang usianya hanya beda 5 menit dengan kakaknya, adalah mahasiswa jurusan seni lukis murni. Yang dia lukis : uang, keuangan, dan uang. Tak bisa dipungkiri bahwa lelaki gemuk ini sering sekali berandai-andai, kalau saja dia yang lahir duluan... (keluarganya penganut sejati paham primogenitur) meskipun kenyataannya justru fakta bahwa dia lahir belakanganlah yang membuatnya bisa lebih bebas mengejar mimpi.
Si buntung Dudu sendiri mahasiswa jurusan seni teater. Peran yang paling sering ia mainkan? Orang buntung. Tapi dia selalu terlihat menikmati perannya, sehingga suatu saat dosen yang melihat kelihaian aktingnya memutuskan untuk memberinya peran utama... dalam drama tentang orang-orang buntung.
Ketiganya pertama kali bertemu di sebuah jembatan di dekat kampus mereka. Nama jembatan itu aslinya Jembatan Prof. Dr. H. Murdiono Mulyadi Mistulu bin Muhammad Munarwan Mostar S.T.I.MBA, tapi semua orang menyebutnya Jembatan Galau. Julukan ini memang tidak berseni dan tidak membuat lidah anda meliuk bahagia, tapi wajar saja karena yang menamainya sama sekali tidak tahu apa-apa soal sastra. Nama tidak resmi itu tersemat karena tempatnya terkenal di kalangan mahasiswa sebagai suaka para forever alone dan orang-orang yang hubungannya baru berakhir untuk merenungi nasib.
Awalnya hanya Busardi yang ada di sana, berdiri di sisi kiri jembatan dan menatap sungai. Kalau anda kebetulan kenal padanya dan melihatnya seperti itu, anda pasti ingin bertanya “Bro, galau gara-gara perempuan ya?” sekedar untuk menggodanya. Jawaban yang akan dia berikan adalah : tidak, aku memikirkan berapa banyak uang yang kupunya kalau saja aku lahir 5 menit 1 detik lebih awal.
Tapi dari air mukanya bisa terlihat bahwa dia sedang membayangkan sesuatu yang lain. Yang bunyinya seperti “Kalau saja membunuh itu tidak melanggar hukum, akan kubunuh pacar si X agar aku bisa mendekatinya,” atau “Kalau aku tegaan, sudah kurebut gadis itu dari pacarnya,” padahal fakta bahwa gadis yang diincarnya sudah punya pacar atau belum tak akan mengubah realitanya. Kenyataannya, Busardi Ponton tidak punya keahlian mencintai wanita.
Setelahnya muncullah Rondo entah dari mana. Tahu-tahu saja dia sudah bersandar di sisi jembatan. Matanya menerawang ke arah langit. Asap dari rokok yang dihisapnya menjalar kemana-mana, seolah membungkus tubuhnya. Dia ingin hilang. Terbayang di benaknya, kalau saja dia bisa meleleh dan masuk ke dalam sungai. Atau melebur bersama tiang besi. Atau menjadi papan kayu. Tidak masalah baginya, yang penting dia bisa menghilang sementara.
Dia baru saja ditolak oleh seorang wanita. Dadanya terasa aneh karena ada perasaan lain yang menyelusup ke dalam hatinya selain kekecewaan. Ada rasa guilty pleasure yang menyeruak; jika dihitung sudah 70 wanita yang menolak cintanya. Memalukan? Iya. Rekor hebat? Iya. Ada rasa rendah diri. Ada juga bisikan-bisikan idealis yang menyusup ke dalam otak, membuat kegaduhan. Maka kali itu dia merokok.
Kalau anda ada di sana saat itu, posenya terlihat sangat bergaya. Padahal dia menahan batuk sekuat tenaga. Batuk perlawanan dari paru-paru terhadap invasi asap rokok. Dan pada akhirnya racun sekaligus obat sendu paling ampuh ini juga tidak bisa meredam kehancuran hatinya.
Tetap saja, setiap ditanya “Apa yang membuatmu merokok?” jawabannya persis sama : “Untuk menenangkan diri dari ejekan yang selalu datang kepadaku, tentang namaku ini.”
Dudu si buntung baru muncul setelah kedua pria tak laku lainnya agak lama merenung. Dia melihat kiri dan kanan, depan dan belakang, sambil mondar-mandir terus-menerus bak orang paranoid yang sedang diincar pembunuh bayaran. Itu caranya mengatasi kekalutan di dalam hatinya, mencegahnya menjalar dan meradang ke seluruh tubuhnya.
Masalahnya sama seperti kedua pria sebelumnya. Tak perlu disebutkan lagi detailnya karena tak jauh beda dengan yang lain, walau memang semua kegagalan punya caranya sendiri-sendiri. Bedanya, yang ini tidak menafikan ketidakberhasilannya.
Si buntung melihat tangan kirinya, berangan-angan. Berkhayal bahwa bagian yang tidak ada itu hanya hilang sementara. Bahwa perempuan, laki-laki, semua manusia memandangnya dari dalam. Bukan, dia bukan seorang pendendam. Orang ini juga bukan tipe yang suka larut dalam kesedihan. Dia optimis, sangat optimis.
Tapi tentu saja ada residu kenegatifan yang berdiam di sudut pikirannya, setiap saat bergerilya mencari celah untuk mengalahkan keceriaan dan kebahagiaan. Kelakuan kekanakannya adalah cara kepositifannya bertahan. Puas mondar-mandir Dudu pun bersandar, dekat Busardi.
Dengan ini mereka bertiga telah berada dalam satu panggung yang sama. Hanya mereka bertiga, tanpa gangguan siapa pun.
“Lu galau cewek juga?” tanya Rondo, pada siapapun yang ingin menjawabnya. Tak ada yang tahu kenapa terbersit kata seperti itu dari mulutnya. Tapi rupanya ada yang menjawab juga.
“Sama,” itu suara Busardi. “Lu gimana?” tanyanya, kali ini jelas pada Dudu.
“Iya, gue juga,” yang ini suaranya hampir tak terdengar, tapi ada.
Mereka bertiga saling pandang. Tahu-tahu saja mereka sudah bersandar di sisi jembatan yang sama, hampir berdempetan.
“Wanita itu... kompleks sekali ya,” kata Busardi.
“Orang bilang mereka dari planet yang berbeda dengan kita, para lelaki,” timpal Dudu.
“Dan bukan benda mati yang mudah ditebak seperti jembatan ini,” balas Rondo.
Hening beberapa saat.
“Berapa kali... kalian ke sini?” tanya si buntung setengah berbisik. Dua orang yang ditanya ini memandang Dudu lekat-lekat.
“Kau pikir kau tak tahu jawabannya?”
Ketiganya terkekeh-kekeh, tak tahu menertawakan apa. Setelah itu kembali diam, tak tahu mau membicarakan apa. Masih tak ada orang lain di jembatan itu. Akhirnya Rondo, yang di kemudian hari menjadi inisiator di antara mereka bertiga, kembali membuka percakapan.
“Jembatan ini desainnya bagus.”
Itulah awal mula dibentuknya Klub Riset dan Apresiasi Jembatan, sebagai bentuk pelarian dari hati yang patah.
******
“Bagaimana kalau jembatan di sini saja?” usul Dudu. Tangan kanannya menunjuk pada sebuah titik di sebidang peta. Peta yang dibentangkan di lantai kamar kos Rondo. Titik yang ditunjuk sendiri merupakan sebuah jembatan di pinggir hutan jati.
“Jembatan kayu tak bernama... hmm, ada pendapat, Bus?” lempar Rondo.
0
2.1K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan