

TS
lacie.
[Orific] Together Forever
Cuma Flash Fiction yang gue buat pas lagi galau 

Spoiler for Cerita:
Malam ini...
Sebetulnya sama seperti malam – malam sebelumnya, terlihat para bintang yang semangat untuk menunjukkan diri meski terlihat pudar, gemerisik hutan bagai suara halus biola, serta danau yang senantiasa menggenggam sang rembulan.
Namun malam ini sangat spesial untukku, seperti bagaimana bulan yang sedang memainkan bentuknya sekarang.
Kalau kuingat lagi, saat pelajaran sastra, bulan sabit dilambangkan sebagai mimpi indah, sedangkan bulan baru dilambangkan mimpi buruk.
Seumur hidupku, meski aku selalu melihat benda langit tersebut dari jendela kamar, mimpi indah tidak pernah menghampiriku, dan mungkin, kemunculannya sekarang hanya ingin mengejekku.
Sayangnya, aku sudah tidak peduli dengan hal seperti itu, karena itu adalah makananku sehari – hari, dan juga, karena seseorang yang selalu berada di sampingku, yang selalu kuanggap hal yang tak pernah diberikan oleh bulan sabit.
Dia yang selalu marah tanpa alasan, seperti matanya yang semerah batu Ruby.
Perkataannya yang tajam hingga dapat membuat terpojok, bagaikan rambut sebahunya yang kaku.
Sifat anti-sosialnya yang akut, menunjukkan betapa pendek dirinya.
Namun, ketika dia tersenyum manis padaku, aku tahu sifat jeleknya hanya sebuah lapisan bagaimana polosnya dia pada dunia, dan juga, alasan betapa diriku mencintainya.
Tapi sekarang, dirinya telah ternoda, oleh sesuatu yang tidak pernah disentuhnya.
“Hiks... Hiks...”
Aku yang bingung, bertanya padanya.
“Kau kenapa Elza?”
Salah satu air matanya menetes pada permukaan danau, membuat sebuah gelombang pada seluruh penjurunya.
“A-aku... Takut, Zael.”
Tangan kananku segera mengusap wajahnya.
“Kenapa kau harus takut? Bukankah aku menemanimu?”
“T-tapi..”
Sebelum dia selesai berkata, aku menarik dirinya ke pelukanku, memeluknya dengan erat, lalu berbisik pada telinga kecilnya.
“Elza, sejujurnya, aku juga takut, tapi... Aku yakin kita akan selalu bersama... Selamanya.”
Selesai memeluknya, aku lalu mengulurkan tanganku padanya.
“Mari, kita lakukan.”
Elza menggengam tanganku, dan aku pun memandunya secara perlahan menuju dasar danau ini, yang aku anggap sebagai hal spesial malam ini, karena di tempat itulah cinta kami akan menjadi abadi.
Aku tahu dia masih meragukannya, tapi aku yakin, dia merasakan hal yang sama, bahwa kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lain.
Namun sebelum melakukan langkah terakhir, Elza membuka mulutnya.
“Zael...”
“Hmm?”
“Untuk terakhir kalinya, bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan lama?”
Aku tersenyum, lalu mengelus kepalanya.
“Boleh saja.”
“Kalau begitu... Kakak, aku mencintaimu.”
“Aku juga, adikku tersayang.”
Sebetulnya sama seperti malam – malam sebelumnya, terlihat para bintang yang semangat untuk menunjukkan diri meski terlihat pudar, gemerisik hutan bagai suara halus biola, serta danau yang senantiasa menggenggam sang rembulan.
Namun malam ini sangat spesial untukku, seperti bagaimana bulan yang sedang memainkan bentuknya sekarang.
Kalau kuingat lagi, saat pelajaran sastra, bulan sabit dilambangkan sebagai mimpi indah, sedangkan bulan baru dilambangkan mimpi buruk.
Seumur hidupku, meski aku selalu melihat benda langit tersebut dari jendela kamar, mimpi indah tidak pernah menghampiriku, dan mungkin, kemunculannya sekarang hanya ingin mengejekku.
Sayangnya, aku sudah tidak peduli dengan hal seperti itu, karena itu adalah makananku sehari – hari, dan juga, karena seseorang yang selalu berada di sampingku, yang selalu kuanggap hal yang tak pernah diberikan oleh bulan sabit.
Dia yang selalu marah tanpa alasan, seperti matanya yang semerah batu Ruby.
Perkataannya yang tajam hingga dapat membuat terpojok, bagaikan rambut sebahunya yang kaku.
Sifat anti-sosialnya yang akut, menunjukkan betapa pendek dirinya.
Namun, ketika dia tersenyum manis padaku, aku tahu sifat jeleknya hanya sebuah lapisan bagaimana polosnya dia pada dunia, dan juga, alasan betapa diriku mencintainya.
Tapi sekarang, dirinya telah ternoda, oleh sesuatu yang tidak pernah disentuhnya.
“Hiks... Hiks...”
Aku yang bingung, bertanya padanya.
“Kau kenapa Elza?”
Salah satu air matanya menetes pada permukaan danau, membuat sebuah gelombang pada seluruh penjurunya.
“A-aku... Takut, Zael.”
Tangan kananku segera mengusap wajahnya.
“Kenapa kau harus takut? Bukankah aku menemanimu?”
“T-tapi..”
Sebelum dia selesai berkata, aku menarik dirinya ke pelukanku, memeluknya dengan erat, lalu berbisik pada telinga kecilnya.
“Elza, sejujurnya, aku juga takut, tapi... Aku yakin kita akan selalu bersama... Selamanya.”
Selesai memeluknya, aku lalu mengulurkan tanganku padanya.
“Mari, kita lakukan.”
Elza menggengam tanganku, dan aku pun memandunya secara perlahan menuju dasar danau ini, yang aku anggap sebagai hal spesial malam ini, karena di tempat itulah cinta kami akan menjadi abadi.
Aku tahu dia masih meragukannya, tapi aku yakin, dia merasakan hal yang sama, bahwa kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lain.
Namun sebelum melakukan langkah terakhir, Elza membuka mulutnya.
“Zael...”
“Hmm?”
“Untuk terakhir kalinya, bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan lama?”
Aku tersenyum, lalu mengelus kepalanya.
“Boleh saja.”
“Kalau begitu... Kakak, aku mencintaimu.”
“Aku juga, adikku tersayang.”
Fin
Diubah oleh lacie. 14-03-2013 05:36
1
1.1K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan