Kaskus

Story

aurora..Avatar border
TS
aurora..
[CERPEN] Sapientiae
Sejak kecil, hampir tidak ada orang yang bisa membedakan Raina dan Riana, dua saudari kembar itu, tanpa melihat cara mereka berbicara. Wajah mereka nyaris sama, rambut hitam lurus sebahu, mata coklat tua yang tajam, dan senyum tipis yang sering muncul bersamaan. Namun, di balik kemiripan fisik itu, ada satu kesamaan lain yang jauh lebih kuat, yaitu obsesi.

“Kalau kita jadi dokter, hidup kita pasti aman,” ucap Raina pada suatu sore saat mereka duduk di kelas 11 SMA, sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan foto sebuah rumah besar di pinggir kota

“Bukan cuma aman,” sambung Riana cepat

“Tapi kaya. Kaya beneran. Nggak perlu takut masa depan.”

Kata “kaya” itu diucapkan seolah itu mantra. Seolah semua ketakutan akan hidup bisa diselesaikan dengan uang.

Sejak hari itu, tujuan hidup mereka menjadi lurus dan sempit, yaitu masuk kedokteran. Tidak ada pilihan kedua. Tidak ada rencana cadangan. Semua mata pelajaran dipilah hanya berdasarkan satu pertanyaan, berguna atau tidak untuk masuk kedokteran?

Ironisnya, Raina dan Riana memang luar biasa cerdas. Tes psikologi sekolah mencatat IQ mereka di atas 155. Guru-guru sering menyebut mereka “aset nasional” sambil tertawa. Namun, kecerdasan itu tidak selalu berjalan seiring dengan kehati-hatian.

Mereka ceroboh dalam hal-hal praktis. Pernah suatu kali Riana salah mencampur bahan kimia saat praktikum karena terlalu percaya diri membaca rumus di kepalanya tanpa mengecek ulang. Raina, di sisi lain, sering lupa detail kecil yang justru krusial, seperti angka, urutan, atau prosedur.

Orang tua mereka menyadari itu sejak lama.

“Kalian memang pintar, tapi bukan berarti cocok jadi dokter,” ucap ibu mereka pada suatu malam saat makan malam terasa lebih sunyi dari biasanya

“Dokter itu soal tanggung jawab, bukan cuma soal otak,” tambah ayah mereka pelan, tetapi tegas

Raina langsung meletakkan sendoknya.

“Kami bisa belajar tanggung jawab.” bantah Raina

“Kami nggak mau hidup pas-pasan,” sela Riana

“Kami cuma mau hidup layak.”

Ayah mereka menghela napas panjang.

“Takutlah pada Tuhan, bukan cuma pada kemiskinan.”

Namun, kata-kata itu tenggelam. Obsesi lebih keras daripada nasihat.

***

Hari pengumuman seleksi perguruan tinggi datang dengan langit mendung yang anehnya terasa sangat cerah di mata Raina dan Riana. Mereka duduk berdampingan di kamar, laptop di pangkuan mereka, tangan mereka saling menggenggam.

Sebelum membuka pengumuman, mereka berdoa.

Doa itu tidak hening. Tidak tenang. Isinya penuh emosi, penuh ketakutan.

“Tuhan, kami sudah berusaha. Jangan hancurkan masa depan kami. Jangan buat kami menderita. Kami mohon.”

Napas mereka memburu. Air mata sudah menggantung sebelum hasil dibuka.

Dan ketika layar menampilkan satu kata yang sama di dua nama sekaligus, yaitu “ditolak”, dunia serasa runtuh.

Raina menutup laptop dengan kasar. Riana menangis keras tanpa suara, tubuhnya gemetar. Dunia yang selama ini mereka bangun dalam imajinasi ambruk dalam satu detik.

Mereka mencoba tidak jalur lain. Kedokteran swasta. Gizi. Keperawatan. Jalur mandiri. Semua hasilnya sama.

Ditolak. Ditolak. Ditolak.

“Apa gunanya pintar kalau begini?” marah Raina pada dinding

“Kenapa Tuhan nggak dengar doa kami?” tangis Riana

“Kami kan minta hal baik.”

Hari-hari berikutnya dipenuhi keheningan pahit. Mereka mengurung diri. Menghindari teman. Menghindari pertanyaan keluarga.

Sampai suatu sore, sepupu mereka datang.

Elizabeth.

Berbeda dengan Raina dan Riana yang selalu tergesa, Elizabeth datang dengan langkah tenang dan suara tegas. Gadis itu sudah lebih dulu kuliah dan dikenal di keluarga sebagai orang yang tidak banyak bicara, tetapi selalu tepat sasaran.

Elizabeth duduk di lantai kamar mereka tanpa banyak basa-basi.

“Kalian marah sama Tuhan?” tanya Elizabeth sederhana

Riana tertawa getir.

“Tuhan yang lebih dulu marah sama kami.”

Elizabeth menggeleng pelan.

“Atau kalian yang salah mengerti.”

Ia tidak langsung menasihati. Ia membiarkan hening bekerja.

“Kuliah itu bukan alat untuk jadi kaya,” lanjut Elizabeth kemudian

“Kuliah itu tempat untuk kita mensyukuri sapientiae.”

“Sapientiae?” tanya Raina sambil mendengus

“Hikmat nggak bisa bayar tagihan.”

Elizabeth menatapnya lurus.

“Tanpa hikmat, kekayaan cuma memperbesar kerusakan.”

Kalimat itu menghantam lebih keras dari bentakan orang tua mereka.

Elizabeth menjelaskan dengan sabar, bahwa hikmat bukan tentang seberapa pintar seseorang, melainkan seberapa tepat seseorang menggunakan kepintarannya. Bahwa takut akan Tuhan bukan ketakutan yang emosional, melainkan kesadaran tenang bahwa hidup itu bukan milik kita sepenuhnya.

“Kalian berdoa dengan ketakutan,” ucap Elizabeth

“Bukan dengan keberanian yang tenang. Kalian harus berhati-hati, karena ketakutan itu selalu melahirkan kerusuhan. Tapi, takut akan Tuhan justru selalu melahirkan damai.”

Malam itu, untuk pertama kalinya, Raina dan Riana diam tanpa membantah.

***

Beberapa minggu kemudian, mereka mulai membuka kemungkinan lain, yaitu jurusan Seni Rupa.

Awalnya hanya sebagai pelarian. Namun, ada sesuatu yang terasa pas.

Di kanvas, mereka tidak ceroboh, justru sangat teliti. Imajinasi mereka liar, tetapi terstruktur. Emosi mereka mengalir, tetapi terkendali.

Di jurusan itu, mereka belajar melihat dunia, bukan menguasainya.

Mereka juga belajar berdoa dengan cara baru, yaitu hening, tanpa tuntutan, tanpa ketakutan.

Dan di sanalah, hikmat mereka perlahan tumbuh.

Puncaknya datang saat mereka membuat satu lukisan surealis bersama.

Lukisan surealis itu menampilkan pipa panjang berkilau, penuh aliran uang. Namun pipa itu tidak mengarah ke rakyat yang digambarkan kurus, pucat, dan rapuh di bawahnya. Pipa itu justru bermuara ke sosok-sosok gemuk berjas rapi, duduk nyaman, tersenyum kenyang.

Judul lukisannya sederhana, yaitu “The Flow”.

Lukisan itu viral, dibahas di media, diperdebatkan, dikritik, sekaligus dipuji.

Aneh tetapi nyata, lukisan itu memaksa para pejabat Indonesia untuk berhenti mengejar kepuasan sesaat dan belajar berempati.

Beberapa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan bahkan secara terbuka mengaku bertobat.

Raina dan Riana diundang ke berbagai forum. Mereka tidak berteriak. Tidak menghakimi. Mereka berbicara dengan tenang, berani, dan jujur.

Akhirnya, mereka mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia.

Namun yang paling mengejutkan bukan penghargaan itu, melainkan kedamaian yang mereka rasakan.

Kini mereka mengerti, bahwa hikmat lebih mahal dari kekayaan.

Dan sikap takut akan Tuhan, yang dilakukan dengan tenang dan berani, adalah awal dari hikmat dan kedamaian.

TAMAT

@itkgid @pabuaranwetan @bukhorigan
MemoryExpressAvatar border
bukhoriganAvatar border
bnbabaAvatar border
bnbaba dan 2 lainnya memberi reputasi
3
260
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan