Kaskus

Story

aurora..Avatar border
TS
aurora..
[CERPEN] Bullying Di Ruang C.2.2
Tidak ada satu pun orang di universitas itu yang pernah melihat Bima ketakutan.

Bima, 20 tahun, mahasiswa semester 4 Fakultas Teknik, dikenal sebagai sosok yang menurut teman-temannya seperti tidak memiliki rasa takut. Bukan tipe sok berani, bukan pula tipe nekat tanpa pikir panjang. Keberanian Bima justru terasa tenang, dingin, dan terukur, seolah rasa takut memang tidak pernah singgah di kepalanya.

Suatu pagi, seekor king cobra entah bagaimana caranya merayap masuk ke kelas Fisika Dasar. Ular itu melingkar di dekat meja dosen, mendesis pelan, membuat separuh kelas berteriak histeris, separuh lagi memanjat kursi. Bima, yang duduk di barisan tengah, berdiri tanpa rasa takut. Bima melepas jaketnya, melilitkannya ke tangan, lalu dengan gerakan pasti menangkap kepala ular itu dan menekannya ke lantai. Tidak ada teriakan kemenangan. Tidak ada wajah tegang. Hanya napas yang tetap stabil.

Ketika petugas keamanan datang, Bima sudah menyerahkan ular itu dalam karung.

“Kok bisa sih, Bim?” tanya orang-orang dengan mata berbinar, setengah kagum, setengah tidak percaya

Bima hanya mengangkat bahunya.

“Takut itu nggak menyelesaikan masalah.” jawab Bima datar

Kisah-kisah lain menyusul, membentuk reputasi yang nyaris melegenda. Pernah suatu malam Bima berhenti di perempatan, dan melihat seorang pengendara motor tergeletak, darah mengalir deras dari pahanya. Orang-orang hanya menonton dari jauh. Bima turun, melepas kausnya sendiri, dan menekan luka itu dengan kausnya sambil memberi instruksi ke orang lain untuk memanggil ambulans. Tangannya penuh darah, wajahnya tetap datar.

Bima juga pernah naik roller coaster tertinggi di wahana permainan kota tanpa berteriak, tanpa memejamkan mata. Bima juga bisa melihat babat sapi yang mirip sarang lebah dengan cekungan-cekungan rapat tanpa tripofobia, sementara teman-temannya merinding dan gatal-gatal. Bahkan, pernah dalam sebuah berita lokal yang sempat viral, Bima melawan tiga perampok bertato yang mencoba merampas tas seorang perempuan muda di gang sempit. Bima menghajar ketiga perampok itu dengan cepat dan brutal, sambil melontarkan ejekan pedas bahwa ketiganya banci. Dua minggu kemudian, kabar beredar bahwa ketiga perampok itu menderita pecah limpa dan patah tulang belakang.

Semua itu membuat satu hal menjadi semakin janggal.

Bima takut pada satu ruangan.

Bukan ketinggian, bukan hewan buas, bukan darah atau ancaman kematian. Bima hanya takut pada ruang C.2.2.

Ruang C.2.2 terletak di lantai 2 gedung C, gedung lama yang catnya mulai mengelupas dan lorongnya selalu berbau lembap. Ruangan itu sebenarnya biasa saja. Ukurannya standar ruang kelas biasa, jendelanya besar di satu sisi, dengan papan tulis putih yang sedikit menguning. Tidak ada cerita hantu, tidak ada bekas kebakaran, tidak ada tanda-tanda aneh.

Namun setiap kali jadwal kuliah dipindahkan ke C.2.2, Bima selalu absen.

Awalnya, orang mengira Bima sakit. Lalu mengira Bima sedang ada urusan keluarga. Sampai akhirnya, kebetulan demi kebetulan terakumulasi menjadi pola yang tidak bisa diabaikan.

“Lo sadar nggak,” ucap Doni suatu siang di kantin

“Tiap ada kelas di ruang C.2.2, Bima pasti nggak masuk?”

Bima yang duduk di seberang meja terdiam. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara.

Milla mencondongkan badannya.

“Serius, Bim. Lo tuh orang paling berani yang gue kenal. Masak bisa takut cuma sama sama ruang kelas?” tanya Milla

Bima meletakkan sendoknya perlahan. Wajahnya tetap tenang, tetapi matanya yang biasanya jernih seolah menarik diri ke dalam.

“Gue nggak takut,” ucap Bima singkat

“Jangan bohong, Bim,” sela Jefri

“Kalau bukan takut, terus apa?”

Bima berdiri.

“Gue balik dulu.” ucap Bima datar

Bima pergi sebelum ada yang sempat mencegah.

Sejak hari itu, rasa penasaran teman-temannya tumbuh menjadi obsesi kecil. Mereka mulai memperhatikan detail, bagaimana Bima akan berdiri di ujung lorong jika harus melewati depan C.2.2, bagaimana Bima menahan napas sejenak, lalu mempercepat langkahnya, seolah ruangan itu bisa meraihnya.

Tidak ada satu pun yang berani bertanya langsung lagi, sampai suatu malam ketika hujan deras, ketika mereka terjebak lembur di kampus karena tugas kelompok.

Jam menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Gedung sudah sepi. Lampu lorong berpendar redup.

“Bim,” ucap Milla pelan

“Kita temenan, kan?”

Bima mengangguk.

“Jangan marah,” lanjut Milla

“Tapi gue ingin tahu. Kenapa kamu takut banget sama ruang C.2.2?”

Hening merambat di antara mereka. Suara hujan di luar jendela terdengar seperti bisikan jauh.

Doni menambahkan.

“Kalau ada yang pernah nyakitin lo, bilang saja. Kalau ada masalah, kita bisa bantu.”

Bima menatap lantai. Lama sekali. Lalu, Bima menghela napas, panjang, berat, seperti seseorang yang akhirnya meletakkan beban yang terlalu lama dipikul.

“Ruang itu,” ucap Bima pelan

“Nggak bikin gue takut karena apa yang bisa terjadi, tapi karena apa yang pernah dibiarkan terjadi.”

Mereka saling berpandangan.

Bima mengangkat wajahnya. Matanya tidak berkaca-kaca, tetapi ada ketegangan di sana, seperti baja yang ditekan terlalu lama.

“Beberapa tahun lalu,” ucap Bima

“Gue bukan siapa-siapa. Bukan orang pemberani. Gue cuma mahasiswa baru yang kebetulan sering main di ruangan itu.” lanjut Bima

Bima berhenti sejenak, lalu melanjutkan.

“Di ruangan C.2.2, pernah ada satu cewek, umur 20 tahun. Dia punya cara bicara yang selalu bikin orang tertawa, tapi bukan tertawa yang baik.”

Bima menelan ludah.

“Cewek itu selalu memulai dengan ejekan. Ada anak cowok, umur 20 tahun, kulitnya hitam. Setiap hari, anak cowok itu dibilang ‘siluman kecap’. Awalnya cuma kata-kata. Terus, anak itu dipaksa push up 100 kali, terus ditambah jadi 200 kali. Kalau menolak push up, anak itu ditonjok. Semuanya itu terjadi di depan kelas.” jelas Bima

Milla menutup mulutnya dengan tangannya.

“Terus, ada anak cewek lain,” lanjut Bima, suaranya tetap datar, tetapi semakin rendah

“Umur 21 tahun. Tubuhnya kurus. Anak itu lahir lewat operasi caesar. Kelahiran yang nggak normal itu dijadikan bahan olok-olok. Anak itu dipaksa menari pakai topi warna-warni. Diejek dengan sebutan ‘tumor di perut yang cuma bisa keluar lewat operasi’. Kalau menolak menari, perutnya ditendang.”

Doni mengepalkan tangannya.

“Belum selesai,” ucap Bima

“Ada juga anak cowok, 20 tahun, tubuhnya gemuk. Dibilang ‘lemak babi’. Disiram air es. Terus ditembak pakai crossbow rakitan.”

Jefri hampir berteriak.

“Crossbow rakitan?” ulang Jefri

“Pulpen,” jawab Bima singkat

“Casing pulpennya jadi rangka. Karet gelang jadi pelatuk. Isi pulpennya jadi peluru. Kena betisnya.”

Keheningan jatuh seperti palu.

“Semuanya itu,” lanjut Bima

“Terjadi nggak cuma sekali. Lebih dari 3 minggu. Berulang-ulang. Setiap hari. Dan nggak ada yang berani melawan.”

“Lo??” tanya Milla ragu

Bima menggeleng.

“Gue juga nggak.”

Mata mereka membesar.

“Gue ada di sana,” ucap Bima

“Gue cuma bisa lihat. Gue cuma bisa dengar. Gue tahu itu salah. Tapi gue diam.”

“Kenapa?” tanya Doni, suaranya hampir pecah

Bima tersenyum tipis, tetapi pahit.

“Karena waktu itu, gue belum berani.” jawab Bima

Kata-kata itu menggantung di udara, berat oleh ironi.

“Gue takut bukan sama ruangnya,” lanjut Bima

“Gue takut sama versi diri gue yang ada di sana. Yang memilih untuk diam. Yang membiarkan orang lain dihancurkan pelan-pelan.”

Bima menoleh ke arah lorong, ke arah C.2.2 yang sunyi.

“Ruang itu ngingetin gue, kalau keberanian gue sekarang datang terlambat buat mereka.” lanjut Bima

Tidak ada yang berbicara untuk waktu yang lama.

Akhirnya, Milla berdiri.

“Kasus itu dilaporin nggak?” tanya Milla

Bima menggeleng.

“Korban-korbannya malah disalahkan. Dibilang itu cuma bercanda. Dibilang korbannya lebay. Semua korbannya sudah lulus. Hilang kontak.” jawab Bima

Doni menghembuskan napas keras.

“Ini nggak bisa dibiarkan.”

Bima menatap mereka.

“Makanya, gue bilang sekarang.”

Keesokan harinya, mereka mendatangi kantor komite HAM kampus. Bukan dengan teriakan atau tuntutan berlebihan, melainkan dengan kronologi yang rapi, nama-nama, usia, detail peristiwa. Bima bicara tenang, tanpa emosi berlebihan. Justru itu yang membuat ceritanya terasa lebih mengerikan, karena tidak dilebih-lebihkan.

Prosesnya panjang. Ada penyelidikan internal. Ada saksi lain yang akhirnya berani bicara. Ada rekaman lama yang ditemukan. Ada dosen yang dimintai keterangan dan tidak bisa lagi berpura-pura lupa.

Wanita itu, si pelaku bullying, akhirnya dipanggil. Tidak ada amarah di wajahnya, hanya keterkejutan ketika cerita-cerita lama muncul ke permukaan dengan detail yang tidak bisa dibantah.

Bima tidak ikut menonton sidang etik. Bima duduk di luar, menatap jendela gedung C.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Bima bisa berjalan melewati depan Ruang C.2.2 tanpa mempercepat langkah.

Bima berhenti. Menatap pintu ruangan itu lama. Tidak ada rasa takut.

Yang ada hanya kesedihan, dan tekad sunyi bahwa keberanian bukan tentang seberapa keras seseorang bisa memukul, melainkan seberapa cepat ia mau berdiri ketika melihat ketidakadilan.

Ruang C.2.2 tetap ruangan biasa. Rahasianya kini tidak lagi terkunci.

TAMAT

@itkgid @dalledalminto @riodgarp
bobibotaktakAvatar border
MemoryExpressAvatar border
silohAvatar border
siloh dan 4 lainnya memberi reputasi
5
295
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan