Kaskus

Entertainment

GutSchreibenAvatar border
TS
GutSchreiben
Publik Ribut, Negara Tenang. Ada Apa dengan Hukum Kita?
Publik Ribut, Negara Tenang. Ada Apa dengan Hukum Kita?
Di ruang publik hari ini, orang makin terbiasa melihat komentar kasar ke pejabat negara sebagai bagian dari lalu lintas harian media sosial. Kolom komentar berubah jadi tempat pelampiasan, bukan karena orang tiba-tiba lebih berani, tapi karena jarak antara warga dan kekuasaan terasa makin pendek. Semua orang merasa sedang berdiri di level yang sama, berbicara di ruang yang sama, dengan asumsi bahwa setiap reaksi pantas mendapat balasan yang setimpal. Dari situ muncul ekspektasi bahwa kalau ada ucapan yang terasa kelewat batas, negara seharusnya hadir dan bereaksi.

Masalahnya, ekspektasi itu sering dibangun di atas bayangan yang keliru tentang cara kerja hukum pidana. Banyak orang masih mengira hukum bergerak seperti refleks moral bersama, seolah ia otomatis aktif setiap kali ada ucapan yang menyinggung rasa keadilan publik. Padahal, hukum pidana tidak pernah dirancang untuk mengikuti emosi kolektif yang naik turun dengan cepat, apalagi di ruang digital yang ritmenya ditentukan oleh scroll dan algoritma. Di sini, jarak antara apa yang terasa salah dan apa yang diproses hukum mulai kelihatan.

Kalimat komentar yang ramai dibicarakan itu, kalau dibaca tanpa emosi, sebenarnya tidak berdiri sebagai satu bentuk serangan tunggal. Ada bagian yang membandingkan cara seorang menteri menjelaskan sesuatu dengan standar presentasi mahasiswa, yang walaupun nadanya merendahkan, masih berada di wilayah penilaian terhadap kapasitas dan performa jabatan. Kritik semacam ini, mau disampaikan sehalus apa pun atau sekasar apa pun, masih sering dianggap sebagai bagian dari dinamika politik dan ekspresi publik. Negara biasanya tidak langsung masuk hanya karena seseorang bicara dengan nada menyakitkan.

Ketegangan mulai muncul ketika kritik berhenti di level jabatan dan bergeser ke serangan personal dalam bentuk makian. Di titik ini, banyak orang langsung merasa yakin bahwa hukum seharusnya bekerja, karena secara intuitif ucapan seperti itu sudah dianggap melanggar batas. Tapi di sinilah cara berpikir publik sering tidak sejalan dengan cara kerja hukum pidana. Terpenuhinya unsur secara teks tidak otomatis berarti proses hukum akan berjalan, karena hukum tidak bekerja dengan logika cepat dan reaktif seperti percakapan di media sosial.

Penghinaan dalam hukum pidana Indonesia pada umumnya ditempatkan sebagai delik aduan, dan ini sering luput dari perhatian. Artinya, negara tidak berdiri sebagai pihak yang tersinggung atas nama semua orang yang membaca atau merasa tidak nyaman. Hukum menunggu ada pihak yang secara sadar ingin membawa persoalan itu ke ranah pidana. Kalau orang yang merasa dihina memilih diam, maka proses hukum memang tidak punya pintu masuk, bukan karena negara tidak tahu, tapi karena memang tidak diberi mandat untuk bergerak sendiri.

Di sini banyak orang mulai merasa hukum seperti memilih tutup mata, padahal yang terjadi lebih struktural dari itu. Hukum pidana sejak awal dirancang sebagai alat terakhir, bukan sebagai mekanisme koreksi sosial harian. Ia tidak diposisikan untuk membersihkan ruang publik dari semua ucapan kasar, karena kalau itu dilakukan, kekuasaan negara justru akan meluas ke wilayah yang seharusnya diselesaikan oleh kritik, tekanan sosial, atau bahkan diabaikan begitu saja.

Posisi pejabat publik juga membawa konsekuensi yang sering tidak disadari. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar ruang kritik yang secara praktik ditoleransi, bukan karena pejabat kebal hukum, tapi karena negara memahami risiko yang lebih luas. Memproses satu komentar kasar ke pejabat bisa dibaca sebagai sinyal bahwa ekspresi publik sedang diawasi secara ketat. Di titik ini, hukum tidak hanya menimbang unsur, tapi juga dampak lanjutan yang mungkin muncul di ruang sosial dan politik.

Perbedaan antara ruang sosial dan ruang hukum jadi makin jelas kalau dilihat dari cara masing-masing bereaksi. Di ruang sosial, makian dianggap serangan personal yang harus dibalas atau setidaknya dikutuk bersama. Di ruang hukum, pertanyaannya jauh lebih sempit dan dingin, menyangkut apakah ada kerugian hukum yang konkret, apakah ada kehendak untuk melapor, dan apakah negara perlu turun tangan. Banyak orang kecewa karena hukum tidak bereaksi seperti komunitas sosial, padahal sejak awal keduanya memang tidak pernah bekerja dengan logika yang sama.

Ada kecenderungan untuk menyederhanakan situasi dengan mengatakan bahwa hukum selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tanpa benar-benar membedah mekanismenya. Kalimat itu sering dipakai sebagai luapan frustrasi, tapi jarang dipakai sebagai pintu masuk untuk memahami bagaimana hukum memilih kasus mana yang dianggap layak diproses. Dalam konteks komentar ini, yang terjadi bukan pembiaran semata karena jabatan, melainkan karena hukum pidana memang tidak dirancang untuk mengurus setiap bentuk ketidaksopanan di ruang publik.

Pilihan hukum untuk diam juga tidak pernah sepenuhnya netral. Negara selalu membuat keputusan tentang apa yang dianggap penting untuk diproses dan apa yang dilewati. Keputusan itu sering dipengaruhi oleh pertimbangan stabilitas, persepsi publik, dan beban sistem hukum itu sendiri. Dalam kasus pejabat publik, satu langkah kecil bisa dibaca sebagai langkah besar, dan konsekuensi dari langkah itu tidak selalu sebanding dengan manfaat hukumnya.

Lapisan lain yang sering luput adalah cara hukum membaca konteks komunikasi digital. Kolom komentar bukan ruang yang tertata dan terstruktur, melainkan ruang spontan yang dipenuhi reaksi emosional. Aparat penegak hukum memahami bahwa bahasa di ruang ini sering tidak presisi dan tidak selalu dimaksudkan sebagai serangan serius terhadap kehormatan seseorang. Karena itu, banyak ekspresi yang secara tekstual kasar, tetapi secara kontekstual dianggap tidak cukup berat untuk ditarik ke proses pidana.

Dari sini, kebingungan publik sebenarnya bukan soal pasal mana yang dilanggar, melainkan soal perbedaan harapan terhadap fungsi hukum. Publik berharap hukum hadir sebagai wasit moral yang menegur setiap pelanggaran rasa pantas. Hukum melihat dirinya sebagai alat terakhir yang hanya dipakai ketika batas tertentu benar-benar dilewati. Selama dua cara pandang ini tidak dipertemukan, pertanyaan seperti ini akan terus muncul setiap kali ada ucapan yang terasa jelas salah tetapi tidak disentuh oleh hukum.

Pada akhirnya, memahami kasus komentar ini bukan soal membela makian atau melindungi pejabat. Yang lebih penting adalah memahami posisi hukum dalam struktur sosial yang lebih luas, supaya kita tidak terus menerus menuntut sesuatu yang memang tidak dirancang untuk diberikan. Hukum pidana tidak dibuat untuk membuat semua orang sopan, dan juga tidak dimaksudkan untuk memuaskan rasa kesal kolektif yang muncul sesaat.

Dengan cara pandang seperti ini, orang tidak harus setuju dengan sikap hukum yang memilih diam. Tapi setidaknya, ada pemahaman bahwa ketidakhadiran hukum bukan selalu kegagalan atau pembiaran tanpa alasan. Dalam banyak situasi, itu adalah keputusan sadar untuk menahan kekuasaan negara agar tidak masuk terlalu jauh ke wilayah ekspresi publik. Di titik ini, hukum memilih berhenti, bukan karena tidak mampu melangkah, tetapi karena ia tahu kapan harus berhenti.


MemoryExpressAvatar border
rian.boyz986Avatar border
rian.boyz986 dan MemoryExpress memberi reputasi
2
219
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan