Kaskus

Story

aurora..Avatar border
TS
aurora..
Boku No Tame No Kiiroi Bara
Nadira tidak pernah merasa bahwa pekerjaannya menanam bawang merah dan kencur di halaman rumah adalah hal yang aneh untuk anak usia remaja. Baginya, itu adalah misi hidup. Di usia 15 tahun, ketika sebagian besar teman-temannya sibuk dengan ekstrakurikuler dance atau aplikasi baru di ponsel, Nadira sibuk menggali tanah, menaburkan kompos, dan memeriksa apakah daun-daun tanaman kecilnya tidak terserang ulat.

“Kalau semua orang nanam satu tanaman saja setiap minggu,” ucap Nadira pada suatu pagi, sambil menekan benih kencur ke tanah

“Pemanasan global pasti bisa pelan-pelan berkurang.” lanjutnya

Nadira tahu, ucapannya sering ditertawakan oleh teman-teman sekelasnya. Namun, setiap kali ia melihat tanah lembap yang subur di bawah jari-jarinya, ia merasa tenang. Dunia memang besar dan rusak, tetapi halaman rumahnya yang kecil adalah tempat Nadira merasa punya kendali.

Yang tidak bisa Nadira kendalikan justru hal lain yang tidak berhubungan, yaitu ayahnya, Pak Doni.

***

Awalnya, Nadira hanya menganggap ayahnya sedang kelelahan. Pak Doni bekerja sebagai petugas administrasi di sebuah kantor ekspedisi, pekerjaan yang menuntut ketelitian tinggi tetapi tidak terlalu menguras tenaga. Biasanya, ayahnya pulang sambil membawa cerita lucu, tentang pelanggan yang salah kirim paket, atau tentang kucing liar di belakang gudang yang tiba-tiba merusak kardus kiriman baru.

Namun, selama satu bulan terakhir, senyuman cerianya hilang.

Ayahnya sering duduk tanpa suara di ruang tamu, menatap lantai seperti sedang menghitung sesuatu yang rumit. Pria itu tampak muram, pundaknya turun, matanya sayu. Yang paling aneh adalah kebiasaannya menekan pelipis, seolah ada sesuatu yang menekan keras di balik tengkoraknya.

Suatu malam, Nadira mendekatinya.

“Ya Tuhan! Ayah kok panas tinggi begini?” tanya Nadira, sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi ayahnya

Kulit itu benar-benar panas, jauh lebih panas daripada demam biasa.

“Nggak apa-apa, ayah cuma capek,” jawab ayahnya pelan

Nadira tidak percaya. Nadira mengambil termometer digital dari kotak P3K dan memaksa ayahnya menaruh termometer itu di bawah lidah, lalu memaksa ayahnya mengulum termometer itu. Ayahnya sempat menolak paksaan Nadira, tetapi akhirnya menyerah.

BIIIIP

Nadira menatap layar termometer, hasilnya suhu tubuh ayahnya 40,1 derajat Celsius.

“Ya Tuhan, Yah!” teriak Nadira

“Ini bukan cuma capek! Ini demam tinggi!”

Ayahnya hanya tersenyum lemah.

“Ayah cuma lagi banyak pikiran, sayang.” jawab ayahnya dengan nada tenang

Nadira tahu, itu hanyalah cara ayahnya untuk memaksa Nadira supaya tidak banyak bertanya.

Namun, bagaimana mungkin Nadira tidak banyak bertanya? Ayahnya adalah seseorang yang selalu ia lihat kuat, ceria, bahkan terlalu baik kepada semua orang. Mengetahui Pak Doni tiba-tiba demam membuat Nadira gelisah setiap malam.

***

Suatu pagi sebelum berangkat sekolah, Nadira mendengar suara dari kamar ayahnya. Nadira pikir ayahnya sedang batuk atau bersin, atau mungkin demamnya sedang kambuh. Namun, saat Nadira mendekat, suara itu berbeda. Seperti seseorang yang sedang terlalu kelelahan dan sudah kehabisan tenaga.

Nadira pelan-pelan membuka pintu. Tidak dikunci.

Ayahnya duduk di lantai, bersandar ke tempat tidur, kedua tangannya menggenggam rambutnya sendiri. Tubuhnya berguncang. Air matanya mengalir deras, dan wajahnya merah seperti habis berlari puluhan kilometer.

“Ayah?” tanya Nadira, suaranya pecah

Pak Doni tersentak, tetapi tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Seolah pria itu sudah terlalu lelah berpura-pura kuat.

“Kenapa…” gumam ayahnya, suaranya parau

“Kenapa mereka begitu teganya menyiksa ayah?” tanyanya dengan suara bergetar

Nadira membeku.

“Siapa? Siapa yang tega menyiksa ayah?” tanya Nadira

Ayahnya memijat wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Ayah… tenaga Ayah diperas paksa. Sejak sebulan yang lalu. Ayah terus disuruh kerja ini itu. Kerjaan Ayah selalu dikasih yang paling berat terus. Mereka bilang Ayah itu orangnya lemah. Mereka bilang Ayah itu gampang capek. Mereka memang sengaja bikin Ayah capek sampai sakit.” jawab ayahnya

Nadira merasakan jantungnya turun ke perut.

“Ayah dipaksa kerja sampai segitunya?” tanya Nadira

Ayahnya mengangguk, matanya kemerahan.

“Setiap hari, sayang. Mereka sengaja melimpahkan tugas yang paling berat ke Ayah. Dan kalau Ayah nggak bisa selesai tepat waktu, mereka mengejek kalau Ayah itu orang yang lemah yang gampang capek. Mereka bilang Ayah itu harus bekerja keras untuk kesenangan mereka. Ayah diperlakukan seperti mesin.” jawab ayahnya

Nadira merasa kepala belakangnya menegang. Ini bukan sekadar beban kerja. Ini perundungan. Dan itu dilakukan kepada ayahnya yang terlalu lemah untuk melawan.

“Ayah kenapa nggak pernah cerita?” tanya Nadira dengan suara bergetar

“Ayah nggak mau kamu khawatir.” jawab ayahnya

Namun, Nadira sudah terlanjur sangat khawatir.

***

Di sekolah, Nadira duduk melamun di sepanjang pelajaran. Gadis itu memandangi buku catatannya yang kosong. Pensil warna berwarna hijau yang biasanya ia pakai untuk menggambar tabel penanaman bawang pun tidak digerakkan.

Nadira belum berbicara ke satu pun orang temannya. Nadira tidak tahu harus mulai dari mana. Bagaimana cara Nadira menjelaskan bahwa ayahnya, laki-laki paling lembut yang ia kenal, sedang dijadikan sasaran perundungan oleh rekan-rekannya sendiri? Dan bagaimana cara Nadira menjelaskan bahwa ia merasa tidak berdaya?

Namun, pada jam istirahat, seseorang menepuk pundaknya.

Sinta.

Sinta adalah teman sekelasnya dengan sifat tomboy, badan tinggi, dan jago muay thai. Nadira pernah menonton Sinta mematahkan tiga papan kayu dalam demonstrasi bela diri di acara sekolah. Sinta memang dikenal pendiam, tetapi jika melihat ketidakadilan, matanya menyala seperti kobaran api.

“Kamu kelihatan capek banget,” ucap Sinta tanpa basa-basi

Nadira menunduk.

“Aku cuma kurang tidur.” ucap Nadira

“Jangan bohong.” ucap Sinta

Nadira terdiam.

Sinta mengeluarkan sesuatu dari tasnya, ada setangkai mawar kuning yang masih segar, diikat dengan pita hijau.

“Apa ini?” tanya Nadira

“Mawar persahabatan.” jawab Sinta

Sinta menyodorkan setangkai mawar itu ke tangan Nadira.

“Kalau kamu butuh sahabat untuk ngomong, atau butuh bantuan apa pun, ingat mawar ini.” lanjutnya

Nadira terpaku.

“Aku nggak tahu harus cerita apaan.”

“Kalau itu membuatmu sampai nangis diam-diam di kantin tadi pagi,” ucap Sinta, sambil menatap mata Nadira tanpa berkedip

“Berarti itu cukup penting untuk kamu ceritakan.”

Nadira menggigit bibirnya, dan kata-kata itu akhirnya runtuh semuanya.

Tentang suhu tubuh ayahnya yang mencapai 40 derajat. Tentang ayahnya yang terus dipaksa kerja lembur. Tentang ejekan-ejekan jahat di kantor. Tentang tangisan semalam. Tentang rasa takut Nadira bahwa ayahnya akan sangat kelelahan suatu hari nanti dan benar-benar masuk rumah sakit.

Sinta mendengarkan tanpa memotong, matanya meredup. Ketika Nadira selesai, Sinta hanya berkata.

“Aku akan tolongin kamu.” ucap Sinta tegas

Nadira menggeleng cepat.

“Jangan, Sin, itu berbahaya. Orang-orang itu orang dewasa, Sinta. Kamu cuma anak SMA.” ucap Nadira

“Anak SMA juga bisa lapor,” jawab Sinta dingin

“Dan bisa cari bukti. Dan bisa bikin mereka ketahuan.”

Nadira menatap mawar kuning itu lama-lama. Mawar itu mengingatkannya pada sinar matahari yang cerah, hangat, tetapi cukup terang untuk mengusir kegelapan.

“Aku nggak mau Ayah menderita lagi,” bisik Nadira.

Sinta tersenyum miring.

“Berarti kita harus cari tahu siapa yang bikin Ayah kamu tersiksa.”

***

Malam itu, Nadira dan Sinta mengobrol melalui pesan suara. Sinta menyusun rencana seperti seorang jenderal perang.

“Pertama, kita harus tahu siapa pelakunya. Ayah kamu pasti punya nama rekan-rekan kantor, kan? Kita cari jejak digital, komentar, atau percakapan yang mencurigakan.”

Nadira mengangguk meski Sinta tak melihat.

“Ayah punya grup WhatsApp kantor. Beliau sering dapat pesan tugas dari sana.”

“Screenshot semuanya,” titah Sinta

Nadira melakukannya tanpa sepengetahuan ayahnya, karena memang ponsel ayahnya tidak dikunci. Dan semakin Nadira membaca pesan-pesan itu, semakin perutnya melilit. Ada nada mengejek yang halus, tetapi kejam.

[Pak Doni, tolong kerjakan 3 rekap tambahan, ya. Yang lain masih banyak kerjaan.]

[Pak Doni kan orangnya kuat, pasti cepat kok!]

[Ah, kalau salah nanti tinggal ulangi lagi, kan, Pak?]

Namun, satu pesan membuat Sinta langsung naik pitam.

[Suruh Pak Doni kerja saja, dia kan super kuat.]

Super kuat, seolah-olah ayahnya adalah mesin super tangguh.

“Ada tiga orang yang paling sering ngasih tugas tambahan ke Ayah kamu,” ucap Sinta

“Semuanya laki-laki. Dan satu orang pakai emot ketawa terus.”

“Namanya Pak Reno,” ucap Nadira, membaca nama di layar

Sinta menggeram.

“Besok kita harus ke kantor Ayah kamu.”

Nadira tersentak.

“Hah?? Buat apa??” tanya Nadira

“Mengamati.” jawab Sinta

Sinta tidak bercanda, dan tidak pernah bercanda.

***

Keesokan harinya, sepulang sekolah, Nadira dan Sinta berdiri di depan gedung kantor ekspedisi tempat Pak Doni bekerja. Bangunannya sederhana, tembok putih dengan logo perusahaan yang mulai memudar. Suasana gudang di belakangnya terlihat terlalu sibuk.

Nadira mengenakan masker hitam dan hoodie hitam, merasa seperti mata-mata tingkat pemula.

“Tenang,” ucap Sinta

“Kita cuma lihat dari luar. Kalau ada yang mencurigakan, kita catat.”

Mereka duduk di warung mie ayam di seberang kantor dan pura-pura memotret makanan, padahal kamera diarahkan ke pintu keluar kantor.

Setelah setengah jam, seorang pria keluar sambil tertawa keras di telepon. Pria itu tinggi, berkemeja kotak-kotak, dan membawa rokok.

“Sepertinya itu dia,” bisik Sinta

“Pak Reno.”

Nadira menatap lebih lama. Pria itu terlihat sehat, segar, dan energik, sangat bertolak belakang dengan ayahnya yang semakin lemah.

Pria itu berhenti sebentar, mengangkat ponselnya, dan berkata cukup keras hingga Nadira bisa mendengar.

“Kerjaan sudah aku oper semua ke Pak Doni. Biar dia kerja lembur lagi. Ya iyalah, itu bagian yang paling capek! Jangan kamu yang kerja, soalnya Pak Doni kan, ya kamu tahu sendiri, lah. Hahaha!”

Darah Nadira mendidih. Tangannya mengepal sampai sendi-sendinya memutih.

Sinta berdiri dari kursi.

“Sekarang kita punya bukti suara,” ucap Sinta, sambil mengangkat ponselnya yang sedang merekam

Nadira menatap Sinta, terkejut sekaligus kagum.

“Kamu sengaja nyalain perekam?” tanya Sinta

“Harus, dong,” jawab Sinta datar

“Orang seperti itu harus ditelanjangi secara hukum.”

Nadira tiba-tiba hampir menangis. Bukan karena sedih, melainkan karena lega. Untuk pertama kalinya dalam sebulan, Nadira merasa tidak sendirian.

***

Malam itu, Nadira menunjukkan rekaman itu kepada ayahnya.

Pak Doni membeku. Suaranya tercekat.

“Sayang, kamu sampai melakukan ini?” tanya ayahnya

“Ayah disiksa di kantor. Aku nggak bisa tinggal diam.” ucap Nadira tegas

Ayahnya memeluknya erat. Getaran di tubuhnya kini bukan hanya tangis, tetapi juga rasa lega dan takut yang saling bercampur.

“Ayah takut kehilangan pekerjaan,” katanya pelan.

“Ayah nggak akan kehilangan apa-apa. Justru mereka yang akan kehilangan.”

Sinta datang ke rumah Nadira malam itu sambil membawa map biru berisi penjelasan langkah hukum yang ia cari dari internet, terutama undang-undang tentang perundungan di tempat kerja.

“Semuanya sudah lengkap,” ucap Sinta

“Ayo kita siap-siap.”

Pak Doni memandang dua gadis itu, putrinya yang bertekad kuat, dan Sinta yang berdiri dengan mawar kuning terselip di tasnya sebagai lambang persahabatan. Air matanya mengalir lagi, tetapi kali ini bukan karena kelelahan atau putus asa.

“Terima kasih,” bisik Pak Doni

“Kalian berdua seperti lambang harapan buat Ayah.” lanjutnya

***

Keesokan harinya, mereka bertiga menemui pihak HRD. Dengan bukti rekaman, tangkapan layar pesan, serta foto termometer yang menunjukkan demam tinggi akibat kelelahan berat, kasus itu langsung diproses.

Dan hasilnya, sang pelaku utama, Pak Reno, diberhentikan sementara untuk investigasi lanjutan. Dua rekannya diberi surat peringatan keras.

Sementara itu, Pak Doni dipindahkan ke bagian yang relatif ringan dan diperbolehkan untuk cuti sakit selama dua minggu.

Saat keluar dari kantor HRD, Nadira melihat ayahnya menatap langit. Matanya berair, tetapi untuk pertama kalinya dalam sebulan, wajahnya tampak lega.

Sinta berdiri di sebelah Nadira.

“Kamu hebat.” puji Sinta

Nadira menggeleng.

“Aku cuma nggak tega kalau Ayah disiksa.” ucap Nadira

Sinta meletakkan stek batang mawar kuning yang berdiameter seukuran pensil 2B di tangan Nadira.

“Ini buat keberanianmu.” ucap Sinta tulus

Nadira tersenyum kecil.

“Mawar buat aku lagi?” tanya Nadira

“Kimi no tame no kiiroi bara,” ucap Sinta dengan gaya dramatis

“Mawar kuning ini buat kamu.” lanjutnya

Nadira tertawa, tawa pertama setelah sekian lamanya.

Sinta tersenyum, menendang tanah dengan ujung sepatunya.

“Mulai sekarang, kamu nggak sendirian. Ayahmu juga nggak sendirian.” ucap Sinta

Nadira menatap mawar kuning itu. Warnanya cerah dan ceria, seperti matahari kecil di telapak tangannya.

Mungkin, dunia bisa diselamatkan bukan hanya dengan menanam tanaman bumbu di halaman rumah, melainkan juga dengan menanam keberanian dan kebaikan, seperti mawar kuning dari seorang sahabat setia.

Dan misteri tentang siapa orang yang tega mempermainkan Pak Doni kini telah terungkap.

Namun lebih dari itu, Nadira menemukan sesuatu yang jauh lebih penting, bahwa ia tidak pernah sendirian dalam perjuangannya.

TAMAT

@itkgid @pabuaranwetan @riodgarp
itkgidAvatar border
whiterangers20Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
359
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan