Mengapa kita begitu takut untuk terlihat biasa saja? Dan mengapa pula kita dituntut untuk tampil unik?




Ada masa saya begitu takut tumbuh jadi orang 'biasa'. Takut menjadi mereka yang tak terlihat, mirip seperti NPC dalam sebuah game. Tak terlihat, tak diinggat, dan tak mencolok.

Ketakutan itu pun muncul dengan tiba-tiba. Adakah yang memaksa? Tidak. Namun alam bawah sadar seolah mengatakan bahwa menjadi biasa adalah dosa. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi?

Ternyata fenomena tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah melalui Social Comparison Theory. Sebuah teori sosial yang diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1954.

Festinger berpendapat bahwa manusia memiliki dorongan internal untuk menilai dirinya sendiri. Namun, karena beberapa hal tidak dapat dinilai secara objektif, maka orang lain menjadi pembanding. Dari situlah muncul perasaan lebih, baik itu lebih baik, lebih buruk, lebih cantik, dan biasa saja. Kecenderungan tersebut dilakukan manusia untuk memahami posisi sebenarnya di lingkungan sosial.

Sayangnya, karena zaman makin canggih, dan sosial media berkembang pesat, menjadi 'biasa' merupakan suatu kekurangan. Ya bagaimana tidak, semua orang selalu memposting versi terbaik dirinya di sosial medua, sehingga menimbulkan ketakutan bagi beberapa orang dengan tingkat kepercayaan diri yang rendah.

Pada kasus-kasus tertentu, kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain secara terus menerus dapat berujung pada kelainan Body Dysmorphia. Parahnya lagi, pada kondisi ekstrem hal ini dapat memaksa penderita untuk merubah total penampilan dirinya, bahkan melalui cara-cara yang tidak wajar. Entah itu operasi plastik, tindik, hingga tato dengan intensitas tinggi.

Yang sering kita lupakan adalah, menjadi biasa bukanlah bencana.

Terkadang hidup sebagai NPC yang minim perhatian orang lain adalah berkah yang tak terduga.