Kaskus

Story

aurora..Avatar border
TS
aurora..
[CERPEN] Si Hijau Kesayangan Milla
Tanggal 22 April selalu punya tempat khusus di kalender SMP Garuda Mandiri. Bukan hanya karena hari itu adalah Hari Bumi, melainkan karena satu tradisi tahunan sekolah yang selalu membuat seluruh angkatan kelas 8 heboh, yaitu tugas kelompok untuk membuat video tentang pencegahan pemanasan global.

Setiap tahunnya, Bu Resti, sang pembina OSIS sekaligus sang ketua panitia program lingkungan sekolah, akan berdiri di podium lapangan upacara sambil membawa mikrofon dan menyampaikan hal yang sama.

“Dua minggu! Kalian punya dua minggu untuk membuat video kreatif tentang pencegahan pemanasan global. Boleh drama, koreografi, lagu, atau edukasi, asal harus mendidik dan sesuai tema. Sebelum dikumpulkan, semua video harus diseleksi oleh wali kelas masing-masing!”

Murid-murid biasanya mengeluh pelan-pelan, tetapi sekaligus bersemangat. Sebagian anak sangat menyukai tugas kreatif seperti itu. Sebagiannya lagi tidak terlalu suka.

Dan tahun itu, kelas 8C menjadi kelas yang paling ribut. Lebih tepatnya, kelompoknya Milla.

***

Milla berdiri di depan papan tulis kelas 8C, memandangi empat anggota kelompoknya. Nadira, si gadis perfeksionis, Riko, laki-laki humoris yang suka bercanda, Fandi, laki-laki atletis yang lebih suka bermain di lapangan futsal daripada di depan laptop, dan Lisa, si gadis cantik penyuka seni.

“Jadi…”

Milla menarik napas panjang.

“Gimana kalau video kita berbentuk drama? Tentang budaya jalan kaki. Kita bisa tunjukin, kalau kita bisa menurunkan emisi karbon dengan mengurangi naik kendaraan.” jelas Milla

Riko mengangguk cepat.

“Kayaknya keren, Milla. Kita bikin adegan orang-orang yang suka malas jalan kaki, terus tiba-tiba ada tokoh Bumi yang marah!” ucap Riko

Fandi langsung tertawa.

“Hah? Tokoh Bumi? Kostumnya gimana?” tanya Fandi

Milla mengangkat bahunya.

“Pakai kaos biru sama hijau saja. Gampang.” ucap Milla santai

Nadira masih tampak ragu.

“Yang penting, Pak Susilo mau nerima. Kamu tahu sendiri, kan, beliau itu super ketat kalau soal penilaian.” ucap Nadira

Mereka setuju, tetapi itu membuat jantung mereka semakin berdegup kencang.

Walaupun mereka masih ragu-ragu, mereka tetap memulai produksi dramanya. Mereka shooting di taman sekolah, menggunakan tripod seadanya, properti improvisasi, dan mengulang adegan sampai hampir 10 kali karena selalu ada yang salah. Entah Fandi yang lupa dialog, Riko yang tertawa di tengah pengambilan adegan, atau angin yang tiba-tiba meniup rambut Nadira sampai menutupi wajahnya.

Dua hari kemudian, mereka duduk di ruang kelas, menunggu video mereka dinilai oleh Pak Susilo, wali kelas 8C.

Pak Susilo menonton videonya, sambil menatap layar tanpa ekspresi. Setelah video itu selesai, pria itu menghela napas.

“Maaf, anak-anak, video ini belum layak dikumpulkan.” tolak Pak Susilo

“Memangnya kenapa, Pak?” tanya Milla pelan

“Pesannya kurang kuat. Selain itu, suaranya tidak jelas dan konsepnya agak berantakan. Silakan revisi atau buat ulang.” tolak Pak Susilo

Rasanya seperti ada bola berat yang jatuh ke perut Milla. Namun, ia memaksakan senyum.

“Baik, Pak…”

Saat mereka keluar kelas, Nadira langsung menggerutu.

“Aku sudah bilang, kan, Milla. Drama itu paling gampang gagal.” ucap Nadira

Fandi memasukkan tangannya ke saku celana biru tuanya.

“Ya sudah, kita bikin video lagu saja.” ucap Fandi

Ide itu muncul begitu cepat. Milla setuju. Fandi sendiri cukup percaya diri kalau soal musik.

***

Milla membawa gitar kecil ke rumah Nadira. Mereka membuat lagu berjudul “5 Langkah Selamatkan Bumi”. Nadira menulis lirik, Milla membuat melodi, Riko dan Fandi menjadi backing vocal, sementara Lisa menggambar ilustrasi yang akan diselipkan dalam video.

Hasilnya lumayan bagus, menurut Milla.

Dua hari kemudian, video itu dibawa ke hadapan Pak Susilo.

Beliau menonton dengan tangan terlipat. Setelah selesai, beliau berkata dengan nada pelan tetapi tegas.

“Ini lebih baik dari video sebelumnya. Tapi, lirik lagunya masih terlalu abstrak, nggak konkret. Terus, penyampaian informasinya kurang mendalam.” tolak Pak Susilo

“Pak…”

Suara Milla serak.

“Padahal kami sudah—”

“Saya tahu kalian sudah berusaha semaksimal mungkin,” potong Pak Susilo

“Tapi, tugas ini penting. Kalian harus membuat video yang benar-benar informatif. Ini bukan video main-main.” lanjutnya

Milla menunduk pasrah.

“Baik, Pak.” ucap Milla

Saat mereka keluar kelas, kemarahan mulai meledak.

“Aku nggak nyangka video kita ditolak lagi!” seru Nadira, sambil mengibaskan rambut panjangnya dengan frustrasi

“Waktu kita sudah habis tiga hari!” seru Nadira lagi

“Ini semua gara-gara Milla!” marah Fandi, sambil menunjuk wajah Milla

“Ide drama, ide lagu, semuanya dari kamu, Milla!”

Riko, yang biasanya paling penyabar, ikut marah.

“Kalau tugas kita nggak diterima sampai deadline, kita semua bisa dihukum sama Bu Resti! Bu Resti itu terkenal paling galak kalau soal tugas lingkungan!” marah Riko

Milla hanya bisa terdiam. Sakit sekali rasanya mendengar semua tuduhan itu. Padahal, Milla hanya ingin membantu.

Lisa melangkah menjauh, sambil membawa sketsa gambarnya.

“Aku capek, Milla. Capek. Lain kali, jangan asal-asalan kalau bikin ide, ya. Kalau nggak bisa bikin ide, mending nggak usah bikin.” ucap Lisa dengan nada dingin

Satu-satu teman kelompoknya pergi, meninggalkan Milla yang berdiri sendirian di lorong kelas.

Milla menggigit bibirnya, menahan air matanya, dan bertanya-tanya, betulkah itu semua memang salah Milla?

***

Di rumah, Milla mengurung diri di kamarnya. Milla sangat sedih, bahkan sampai menolak makan malam.

Ayahnya mengetuk pintu kamar.

“Milla? Boleh Papa masuk?”

“Masuk saja…” jawab Milla lirih

Ayah Milla masuk, sambil membawa secangkir teh hangat.

“Kamu marah sama teman-temanmu?”

“Nggak…”

Milla menarik napas.

“Aku marah sama diriku sendiri. Dua ideku gagal. Mereka semua nyalahin aku. Mungkin, aku memang bukan orang yang kreatif.” ucap Milla dengan nada frustrasi bercampur sedih

Ayah duduk di tepi kasur.

“Kamu tahu, apa yang Papa lihat dari kamu?”

“Apa?”

“Kamu anak yang nggak kenal menyerah. Itu jauh lebih penting daripada sekadar kreatif atau nggak.” puji ayah Milla

Milla terdiam.

Ayah Milla meminum sedikit teh hangatnya.

“Ngomong-ngomong, Papa lihat tanaman lidah buaya di halaman belakang sudah banyak banget. Mama sengaja nanam puluhan pot lidah buaya untuk mengurangi emisi karbon.” ucap ayah Milla

Milla mengerutkan keningnya.

“Memangnya lidah buaya bisa begitu?” tanya Milla

“Iya, sayang. Lidah buaya itu termasuk tanaman CAM. Lidah buaya bisa menyerap karbon dioksida di malam hari, bisa ditanam di tempat kering, dan nggak banyak melepaskan karbon dioksida. Intinya, lidah buaya itu superhero hijau kecil yang bisa melawan pemanasan global.” jawab ayah Milla

Milla menatap ayahnya pelan.

“Papa, itu bisa jadi video edukasi.” ucap Milla

Ayah tersenyum.

“Iya, sayang. Kamu tinggal cerita saja, tentang tanaman lidah buaya. Kamu punya semua bahannya di rumah.” ucap ayah Milla

Mata Milla berbinar untuk pertama kalinya hari itu.

***

Keesokan harinya, Milla pergi ke sekolah dengan langkah ragu. Gadis itu tidak yakin, apakah teman-teman kelompoknya mau mendengarkannya lagi. Namun, ia harus terus berusaha.

Saat mereka sedang duduk bermalas-malasan di kelas, Milla berdiri di depan mereka.

“Aku punya ide baru.” ucap Milla tiba-tiba

Riko mendengus.

“Ide apa lagi, Milla? Awas ya, kalau sampai kita gagal lagi.” ancam Riko

“Tolong dengarkan dulu.” ucap Milla sambil mengangkat tangannya

“Kita bikin video edukasi tentang lidah buaya.” lanjutnya

Nadira mengangkat alisnya.

“Beneran? Kamu jangan bercanda, ya. Awas kalau bercanda.” ancam Nadira

“Lidah buaya itu tanaman CAM. Tanaman itu bisa menyerap karbon dioksida di malam hari, dan kuat bertahan di tempat kering. Mamaku nanam puluhan pot lidah buaya. Kita bisa jelasin cara merawatnya, manfaatnya, dan kenapa lidah buaya itu paling ideal buat pemanasan global.”

Fandi bersandar di kursi.

“Hmm, setidaknya kita punya objek yang nyata.” gumam Fandi

Lisa tampak lebih tertarik.

“Video edukasi itu sederhana. Kita cuma perlu narator, footage, dan beberapa grafik.” ucap Lisa

Pada akhirnya, mereka sepakat untuk mencoba, walaupun masih sedikit khawatir kalau videonya sampai gagal lagi. Bukan karena yakin, melainkan karena mereka sudah tidak punya banyak waktu.

***

Mereka datang ke rumah Milla pada hari Minggu siang. Mata Nadira membesar melihat halaman belakang rumah Milla yang penuh dengan tanaman lidah buaya.

“Wow, tanamannya banyak bener…” puji Nadira

“Iya,” ucap Milla dengan nada bangga

“Mamaku sampai ketagihan nanam.” lanjutnya

Lisa langsung memotret beberapa tanaman.

“Lighting-nya bagus sekali. Ini bisa jadi footage pembuka.” ucap Lisa

Mereka kemudian membagi tugas. Milla menjadi narator dan penulis naskah. Nadira menjadi editor video. Riko membuat ilustrasi animasi sederhana. Lisa melakukan shooting. Fandi membantu penataan pot dan membuat grafik infografis.

Milla menulis naskah dengan teliti, memastikan pesan ilmiahnya tepat, mulai dari penjelasan tentang apa itu tanaman CAM, proses penyerapan karbon dioksida di malam hari oleh tumbuhan CAM, alasan mengapa lidah buaya dianggap sebagai tanaman paling hemat energi, sampai dengan tutorial cara menanam lidah buaya.

Mereka shooting beberapa adegan, mulai dari close-up getah lidah buaya yang dingin dan menenangkan, daun lidah buaya yang kuat dan tebal, sampai dengan ibunya Milla yang tersenyum sambil menyiram pot lidah buaya.

Milla mengisi narasi video dengan suara tenang.

“Lidah buaya itu bukan sekadar tanaman yang bisa melembapkan kulit dan memanjangkan rambut. Lidah buaya adalah superhero hijau kecil yang bisa melawan pemanasan global…”

Setelah Nadira selesai mengedit video, mereka menontonnya bersama. Hasilnya sangat mengejutkan. Video itu terlihat sangat profesional. Informasinya jelas, gambarnya indah, dan narasinya menenangkan.

“Menurutku, video kita bagus,” ucap Riko dengan ekspresi kagum

“Bagus banget,” sahut Lisa, sambil mengangguk puas

Fandi tersenyum.

“Semoga Pak Susilo setuju.” ucap Fandi

***

Video itu dibawa ke ruang guru. Kali ini, Milla tidak bisa banyak berharap.

Pak Susilo menonton dengan serius, tetapi ekspresinya tidak sedingin sebelumnya. Yang terjadi malah sebaliknya. Di beberapa bagian, pria itu mengangguk pelan.

Setelah selesai, beliau menutup layar.

“Videonya bagus sekali.” puji Pak Susilo

Milla hampir tidak percaya.

“Jadi, video kami diterima, Pak?” tanya Milla

“Sangat diterima. Pesannya jelas, penjelasan ilmiahnya tepat, editing-nya rapi. Ini contoh video edukasi yang baik.” jawab Pak Susilo

Nadira menutup mulutnya karena sangat terkejut. Riko dan Fandi saling melakukan high-five. Lisa memeluk Milla dari belakang.

“Bagus, anak-anak,” lanjut Pak Susilo

“Silakan dikumpulkan ke Bu Resti.” lanjutnya lagi

Untuk pertama kalinya, sejak program tahunan itu dilaksanakan, Milla merasa napasnya kembali lega.

***

Sebulan berlalu. Hari itu, seluruh anak kelas 8 dikumpulkan di aula besar untuk pengumuman pemenang tugas terbaik.

Bu Resti berdiri di panggung dengan map di tangan.

“Baik, anak-anak! Setelah melalui penilaian ketat, kelompok dengan nilai tertinggi se-angkatan kelas 8 adalah…”

Jeda dramatis itu membuat seluruh ruangan menahan napas.

“Kelompok 3 dari kelas 8C, Milla Andriyani dan kawan-kawan!” sambung Bu Resti

Sorakan meriah langsung meledak. Nadira menjerit kegirangan. Fandi memeluk Riko. Lisa menitikkan air mata bangga.

Milla sendiri hanya menatap panggung dengan ekspresi terharu. Semua kerja keras dan air mata itu akhirnya terbayar.

Hadiah mereka adalah paket alat tulis “Green Edition”, yaitu pulpen dengan tinta ramah lingkungan dari tumbuhan, buku dari kertas daur ulang, dan totebag ramah lingkungan yang terbuat dari bahan biodegradable. Sederhana, tetapi sangat bermakna.

Saat mereka naik ke panggung, Bu Resti berkata.

“Video kalian kreatif, informatif, dan bagus sekali. Teruslah berkarya untuk bumi.” puji Bu Resti

Milla tersenyum bangga.

***

Waktu semakin lama berlalu.

Milla masuk SMA, kemudian kuliah. Hobinya belajar tentang lingkungan semakin berkembang.

Dan setiap kali Milla pulang ke rumah, ia selalu menyempatkan diri melihat deretan pot lidah buaya di halaman belakang.

Beberapa pot sudah beranak-pinak, beberapa sudah dipindahkan, beberapa diberikan ke tetangga. Namun, ada satu lidah buaya yang selalu berada di dekat jendela kamarnya, yaitu tanaman lidah buaya pertama yang ia gunakan sebagai objek video kelompok kelas 8C.

Warnanya tetap hijau segar. Daunnya semakin tebal dan kuat.

Setiap kali Milla melihatnya, ia selalu tersenyum. Bukan hanya karena tanaman itu bisa menyerap banyak karbon dioksida. Bukan hanya karena tanaman itu adalah tanaman CAM yang paling kuat dalam mencegah pemanasan global. Melainkan, karena tanaman itu adalah simbol dari banyak hal, yaitu kerja keras, persahabatan, kegagalan, perjuangan, usaha untuk bangkit, dan momen kemenangan pertama Milla.

Milla menyebut tanaman lidah buaya sebagai “si hijau kesayangan Milla”.

Dan tidak peduli seberapa jauh Milla melangkah, tanaman itu selalu mengingatkan Milla, bahwa sesuatu yang kecil, sederhana, dan hijau bisa mengubah banyak hal, termasuk hatinya sendiri.

TAMAT

@sahabat.006 @siloh @bukhorigan
silohAvatar border
felexyAvatar border
rizkync108Avatar border
rizkync108 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
928
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan