- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[CERPEN] Semua Karena Tuhan
TS
aurora..
[CERPEN] Semua Karena Tuhan
Angin sore merayap pelan ke celah-celah dinding papan rumah kontrakan kecil itu, membawa aroma tanah basah dan suara hiruk pikuk dari jalan raya Seturan yang tidak pernah benar-benar tidur. Kota Jogja selalu penuh aktivitas, bahkan di senja yang paling letih. Namun, bagi Doni, 23 tahun, dan Dita, 20 tahun, sore itu bukan hanya sekadar sore yang ramai, melainkan awal dari sebuah badai besar yang tidak pernah mereka bayangkan.
Doni baru saja pulang dari pasar. Tangannya masih bau margarin dan adonan roti, kaos lusuh menempel pada kulitnya yang dipenuhi tato sleeve berwarna hitam di sepanjang lengan kiri. Peluh menetes di pelipisnya, tetapi ia tetap tersenyum kecil melihat adiknya, Dita, mengetik di depan laptop butut di ruang tengah.
“Kamu nulis bab baru, Dit?” tanya Doni, sambil menaruh kantong plastik berisi sisa roti yang tidak terjual
“Sudah deadline, Kak,” jawab Dita, sambil meregangkan jemarinya
“Pembaca minta lanjutannya tiap hari. Kalau berhenti, rating novelnya bisa turun.” lanjutnya
Doni terkekeh kecil.
“Yang penting kamu makan dulu. Jangan sampai kamu kecapekan karena terlalu lama ngetik.” ucap Doni
Namun, sebelum Dita sempat mematikan laptop, tiba-tiba ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Dita mengernyit.
“Mas… ini… nomor kepolisian Semarang...” gumam Dita
Doni menghentikan langkah, dan dalam satu detik, dunia seakan menahan napas.
“Angkat,” ucap Doni pelan, suaranya serak
Dita menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Dengan keluarga Bu Yanti Permatasari?”
Suara berat seorang pria terdengar dari seberang.
Dita menelan ludah.
“Iya, Pak. Saya anaknya.”
“Kami dari Polrestabes Semarang. Mohon maaf, ibu Anda saat ini ditahan polisi terkait kasus dugaan mendorong seorang anak perempuan berusia 10 tahun dari lantai 2 hingga menyebabkan anak itu tewas.”
Dita langsung berdiri.
“A—apa?! Tidak mungkin, Pak! Ibu saya nggak mungkin melakukan itu!” seru Dita panik
Doni meraih ponsel itu.
“Pak, tolong jelaskan. Ibu saya orang baik. Beliau itu ibu kantin SD. Mana mungkin beliau mendorong anak kecil sampai mati?” ucap Doni dengan nada tenang
“Kami mengerti keberatan Anda. Namun, saksi awal mengatakan bahwa ibu Anda berada di lokasi kejadian. Mohon Anda datang ke Semarang, untuk penjelasan lebih lanjut.”
Percakapan terputus. Dita gemetar, matanya memerah.
“Kakak… Mama… Mama dituduh membunuh orang…” tangis Dita, suaranya pecah
Doni memeluk adiknya, tetapi tubuhnya sendiri bergetar.
“Tenang, tenang, Dit. Kita ke Semarang malam ini juga. Kita cari tahu semuanya.” ucap Doni
Namun, jauh di dalam hati Doni, segalanya terasa runtuh.
***
Bus malam menuju Semarang terasa dingin, meski AC-nya tidak begitu kuat. Dita memeluk ranselnya, matanya terus meneteskan air mata. Doni menatap jendela. Ingatannya mengalir ke masa-masa kecil mereka.
Bu Yanti, seorang janda cerai mati sejak Doni kelas 6 SD, selalu bekerja keras. Pagi hari, ia menjadi penjual jajanan di kampung, siang menjaga kantin SD, malam menjadi buruh cuci. Namun, di tengah kesibukan itu, wanita itu selalu punya waktu untuk mengelus kepala Doni dan Dita sebelum tidur.
“Yang penting kamu jadi anak yang baik, Don. Jadi laki-laki berani itu memang penting, tapi hati yang lembut itu jauh lebih penting.” ucap Bu Yanti, saat Doni masih duduk di bangku kelas 3 SMP
Doni menutup matanya rapat-rapat. Mustahil. Bu Yanti tidak mungkin membunuh anak manusia. Mustahil.
***
Di Polrestabes Semarang, udara terasa pengap. Seorang laki-laki berusia 40-an menyambut mereka. Namanya Kompol Rendra.
“Kalian berdua anaknya Bu Yanti Permatasari?”
Doni mengangguk.
“Kami jelaskan secara objektif. Seorang siswi kelas 4 SD, namanya Tiara, meninggal dengan kondisi kepala pecah karena jatuh dari lantai dua. Saksi mengatakan, bahwa Bu Yanti adalah orang terakhir yang mendekati korban.”
“Mendekati itu bukan berarti mendorong, Pak!” teriak Dita
“Kami belum bisa menyimpulkan. Tapi, saksi-saksi awal mengatakan kalau Bu Yanti memegang bahu anak itu sebelum anak itu jatuh.” ucap polisi itu
Dita memicingkan mata.
“Pak, ibu saya tidak pernah kasar ke anak-anak. Semua anak bilang, ibu saya itu lembut.” bantah Dita tegas
“Lembut atau tidak, fakta awal tetap mengarah pada ibu Anda.” ucap polisi itu
Doni mengepalkan tangannya
“Baik, kami mau ketemu Ibu kami.” ucap Doni
Petugas mengantar mereka ke ruang tahanan perempuan.
Begitu melihat mereka, Bu Yanti langsung berlari, namun terbatas jeruji besi. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, dan matanya sembab.
“Doni… Dita…” ucap Bu Yanti, suaranya pecah
“Ibu nggak salah. Ibu nggak dorong anak itu…”
Dita menangis keras.
“Mama… kami berdua percaya kalau Mama baik… Kami selalu percaya…” ucap Dita
Bu Yanti terisak, sambil memegangi jeruji besi.
“Ibu cuma mau elus bahu Tiara. Ibu cuma mau hibur dia yang takut, tapi dia lari sampai jatuh. Ibu nggak ngerti…” ucap Bu Yanti
Doni menahan air matanya.
“Kami bakal cari tahu semuanya, Bu. Kami janji.” ucap Doni dengan penuh tekad
Namun, di balik kata-kata itu, ada ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan.
***
Waktu berjalan lambat. Kasus itu tetap menggantung, dan Bu Yanti tetap mendekam di penjara.
Doni kembali ke Jogja karena harus bekerja. Pria itu bangun jam 2 pagi untuk membuat adonan roti, lalu berjualan di pasar hingga siang. Tubuhnya sangat lelah, tetapi pikirannya jauh lebih lelah. Sementara Dita masih bekerja keras menulis novel, sambil terus memantau perkembangan kasus ibu mereka.
Setiap malam, Doni duduk di depan kontrakan sambil memandangi langit.
“Ya Tuhan, kenapa harus Mama?”
Sementara itu, di dalam penjara, Bu Yanti hampir kehilangan kewarasan. Bu Yanti sering berteriak sejadi-jadinya, memukul dinding, memohon-mohon agar dipercaya.
Namun suatu hari, seorang perempuan seumuran Doni, bernama Indah, teman satu selnya, mendekat.
“Bu, jangan marah begini terus. Ibu bisa sakit.”
Bu Yanti menutup wajahnya.
“Aku nggak kuat, Mbak. Aku nggak dorong anak itu, tapi semua orang bilang aku pembunuh…” ucap Bu Yanti
Indah memegang tangan Bu Yanti.
“Kalau Ibu mau, Ibu bisa menulis. Itu yang bikin saya tetap waras di sini. Nulis puisi boleh, nulis doa boleh, apa saja.” hibur Indah
Bu Yanti menggeleng lemah.
“Aku nggak jago nulis…” ucap Bu Yanti
“Tapi Ibu paling jago kalau mencintai,” balas Indah dengan lembut
Kalimat itu menembus hati Bu Yanti. Malam itu, Bu Yanti akhirnya menulis lagunya almarhum Glenn Fredly tahun 2004 di selembar sobekan kertas nasi, judulnya “Semua Karena Tuhan”. Lagu itu menceritakan kalau manusia itu bisa berdiri tegak dan berani menghadapi segalanya bukan karena manusia itu kuat dan hebat, melainkan karena cinta kasih Tuhan, dan karena manusia itu sudah dipilih oleh Tuhan untuk berkarya melayani Tuhan.
Bu Yanti membacanya sambil menangis.
Indah memeluknya.
“Ibu pasti kuat, dan Tuhan tahu itu.” ucap Indah
***
Setahun berlalu. Doni semakin kurus, Dita semakin mudah lelah. Namun, mereka tidak berhenti mencari keadilan.
Hingga suatu pagi, seorang guru SD tempat Tiara bersekolah mendatangi kantor polisi dan membawa kesaksian baru.
Namanya Bu Dewi, sang wali kelas 4B, kelasnya Tiara. Wajahnya penuh penyesalan.
“Pak, saya harus bicara. Saya nggak tega melihat Bu Yanti dipenjara, padahal dia tidak bersalah.”
Kompol Rendra mendengarkan dengan serius.
“Tiara itu anak yang baik. Tapi dia punya fobia berat kepada Bu Yanti.”
“Fobia?” ulang Rendra
Bu Dewi mengangguk.
“Bukan karena Bu Yanti jahat. Tapi karena Tiara dibully teman-temannya.”
Kompol Rendra mencondongkan badannya.
“Dibully bagaimana?”
“Anak-anak itu mengejek Tiara dengan kata ‘tumor rahim’, bukan manusia, hanya karena Tiara lahir melalui operasi caesar, seperti, maaf, tumor di perut yang hanya bisa dikeluarkan melalui operasi. Kalau Tiara berani membalas balik, mereka mengancam akan mengadukan perbuatan Tiara ke Bu Yanti. Mereka membuat cerita, kalau Bu Yanti bisa menghukum anak-anak nakal dengan menggunduli kepala mereka hanya dengan sekali elusan kepala. Mereka bahkan memfitnah kalau Tiara melakukan banyak kenakalan, mulai dari mencuri uang teman, memecahkan kaca jendela kelas, menghajar Olivia sampai babak belur, semuanya supaya Tiara semakin takut kalau dihukum karena nakal.” jelas Bu Dewi
Kompol Rendra membulatkan matanya.
“Jadi, Tiara takut sama Bu Yanti?”
“Sangat takut, Pak. Setiap melihat Bu Yanti di kantin, Tiara langsung lari dan bersembunyi. Suatu hari, saya tanyain Tiara, dia bilang, ‘Bu Dewi, nanti Bu Yanti gunduli kepalaku kalau aku nakal’. Itu kebohongan dari anak-anak lain.”
“Dan saat kejadian?”
“Bu Yanti hanya mau menghibur Tiara. Tapi, Tiara malah histeris dan panik, lari ketakutan, terpeleset di lantai yang licin di depan kelas 4B, terus jatuh dari lantai 2 sampai tewas. Lantai itu memang baru dipel.”
Kompol Rendra mengusap wajahnya.
“Lalu, soal Tiara menghajar Olivia?”
“Bukan Tiara yang melakukan itu, sumpah. Itu ulah Arga, temannya Olivia yang sengaja bersekongkol dengan Olivia dan menghajar Olivia untuk menjebak Tiara. Dan Olivia membiarkan dirinya dipukuli Arga sampai babak belur untuk menjebak Tiara, supaya Tiara semakin takut.”
Kesaksian demi kesaksian mengalir seperti air bah. Tentang Olivia dan Arga yang sengaja bersekongkol untuk menjebak Tiara, tentang geng pembully itu yang terus memprovokasi Tiara, tentang kekerasan sosial berat yang dihadapi oleh Tiara, dan tentang fobia Tiara yang semakin parah karena cerita-cerita bohong tentang Bu Yanti.
Ketika semua fakta terkumpul, keputusannya hanya satu, bahwa Bu Yanti sama sekali tidak bersalah.
***
Hari itu, Doni dan Dita dipanggil polisi.
“Mbak, Mas?”
“Iya, Pak.”
“Kami meminta maaf sudah menghukum Ibu kalian. Ibu kalian akan dibebaskan hari ini. Semua tuduhan dicabut.”
Dita langsung menangis. Doni memejamkan matanya, menahan napas panjang.
Di halaman kantor polisi, terik matahari Semarang terasa seperti cahaya dari Tuhan sendiri. Gerbang besi dibuka. Bu Yanti keluar.
Bu Yanti tampak jauh lebih kurus dan tampak sangat lelah, tetapi matanya masih penuh cahaya seorang ibu.
Doni berlari paling dulu.
“Mama!”
Dita menyusul.
“Mama! Mama pulang!”
Bu Yanti memeluk keduanya erat-erat. Tangis mereka pecah bersamaan.
“Maafkan Mama, Mama bikin kalian sedih…”
“Nggak, Ma, nggak… Kami selalu percaya kalau Mama baik…”
“Kami selalu ada buat Mama…”
Momen pertemuan itu lama, hangat, dan penuh doa yang tidak terucap.
***
Beberapa bulan setelah dibebaskan, Bu Yanti kembali bekerja sebagai ibu kantin. Banyak orang meminta maaf padanya. Banyak pula yang diam-diam menunduk, tidak berani menatap mukanya.
Namun, Bu Yanti tidak marah dan tidak dendam.
Suatu pagi, Bu Yanti menulis ulang lagunya almarhum Glenn Fredly itu di buku harian baru, bahwa Bu Yanti sedang membuka lembaran baru dalam hidupnya. Bu Yanti bebas dari penjara karena Tuhan yang memilihnya, dan Bu Yanti tidak akan ragu akan kasih Tuhan.
Bu Yanti tersenyum. Air matanya jatuh pelan, bukan karena sedih, melainkan karena lega.
Doni kini membuka lapak roti sendiri, menamai gerobaknya dengan nama “Roti Fidelia”, yang dalam bahasa Latin berarti iman.
Dita menerbitkan novel baru yang langsung laris, novel yang terinspirasi dari perjuangan ibu mereka. Judulnya, “Semua Karena Tuhan”.
Kini, Bu Yanti duduk di kantin sekolah, menyajikan teh manis dan soto ayam hangat untuk anak-anak di sekolah, tanpa sedikit pun rasa pahit di dalam hatinya.
Sebab, bagi Bu Yanti, hidup ini bukan tentang seberapa keras badai menyerang, melainkan tentang seberapa kuat kita berdiri.
Dan hanya satu alasan yang membuat Bu Yanti tetap tangguh dan bertahan, yaitu semua ini terjadi karena cinta kasih Tuhan, dan karena Tuhan yang sudah memilih Bu Yanti untuk berkarya melayani Tuhan.
TAMAT
@ajituelegi @itkgid @pabuaranwetan
Doni baru saja pulang dari pasar. Tangannya masih bau margarin dan adonan roti, kaos lusuh menempel pada kulitnya yang dipenuhi tato sleeve berwarna hitam di sepanjang lengan kiri. Peluh menetes di pelipisnya, tetapi ia tetap tersenyum kecil melihat adiknya, Dita, mengetik di depan laptop butut di ruang tengah.
“Kamu nulis bab baru, Dit?” tanya Doni, sambil menaruh kantong plastik berisi sisa roti yang tidak terjual
“Sudah deadline, Kak,” jawab Dita, sambil meregangkan jemarinya
“Pembaca minta lanjutannya tiap hari. Kalau berhenti, rating novelnya bisa turun.” lanjutnya
Doni terkekeh kecil.
“Yang penting kamu makan dulu. Jangan sampai kamu kecapekan karena terlalu lama ngetik.” ucap Doni
Namun, sebelum Dita sempat mematikan laptop, tiba-tiba ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Dita mengernyit.
“Mas… ini… nomor kepolisian Semarang...” gumam Dita
Doni menghentikan langkah, dan dalam satu detik, dunia seakan menahan napas.
“Angkat,” ucap Doni pelan, suaranya serak
Dita menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Dengan keluarga Bu Yanti Permatasari?”
Suara berat seorang pria terdengar dari seberang.
Dita menelan ludah.
“Iya, Pak. Saya anaknya.”
“Kami dari Polrestabes Semarang. Mohon maaf, ibu Anda saat ini ditahan polisi terkait kasus dugaan mendorong seorang anak perempuan berusia 10 tahun dari lantai 2 hingga menyebabkan anak itu tewas.”
Dita langsung berdiri.
“A—apa?! Tidak mungkin, Pak! Ibu saya nggak mungkin melakukan itu!” seru Dita panik
Doni meraih ponsel itu.
“Pak, tolong jelaskan. Ibu saya orang baik. Beliau itu ibu kantin SD. Mana mungkin beliau mendorong anak kecil sampai mati?” ucap Doni dengan nada tenang
“Kami mengerti keberatan Anda. Namun, saksi awal mengatakan bahwa ibu Anda berada di lokasi kejadian. Mohon Anda datang ke Semarang, untuk penjelasan lebih lanjut.”
Percakapan terputus. Dita gemetar, matanya memerah.
“Kakak… Mama… Mama dituduh membunuh orang…” tangis Dita, suaranya pecah
Doni memeluk adiknya, tetapi tubuhnya sendiri bergetar.
“Tenang, tenang, Dit. Kita ke Semarang malam ini juga. Kita cari tahu semuanya.” ucap Doni
Namun, jauh di dalam hati Doni, segalanya terasa runtuh.
***
Bus malam menuju Semarang terasa dingin, meski AC-nya tidak begitu kuat. Dita memeluk ranselnya, matanya terus meneteskan air mata. Doni menatap jendela. Ingatannya mengalir ke masa-masa kecil mereka.
Bu Yanti, seorang janda cerai mati sejak Doni kelas 6 SD, selalu bekerja keras. Pagi hari, ia menjadi penjual jajanan di kampung, siang menjaga kantin SD, malam menjadi buruh cuci. Namun, di tengah kesibukan itu, wanita itu selalu punya waktu untuk mengelus kepala Doni dan Dita sebelum tidur.
“Yang penting kamu jadi anak yang baik, Don. Jadi laki-laki berani itu memang penting, tapi hati yang lembut itu jauh lebih penting.” ucap Bu Yanti, saat Doni masih duduk di bangku kelas 3 SMP
Doni menutup matanya rapat-rapat. Mustahil. Bu Yanti tidak mungkin membunuh anak manusia. Mustahil.
***
Di Polrestabes Semarang, udara terasa pengap. Seorang laki-laki berusia 40-an menyambut mereka. Namanya Kompol Rendra.
“Kalian berdua anaknya Bu Yanti Permatasari?”
Doni mengangguk.
“Kami jelaskan secara objektif. Seorang siswi kelas 4 SD, namanya Tiara, meninggal dengan kondisi kepala pecah karena jatuh dari lantai dua. Saksi mengatakan, bahwa Bu Yanti adalah orang terakhir yang mendekati korban.”
“Mendekati itu bukan berarti mendorong, Pak!” teriak Dita
“Kami belum bisa menyimpulkan. Tapi, saksi-saksi awal mengatakan kalau Bu Yanti memegang bahu anak itu sebelum anak itu jatuh.” ucap polisi itu
Dita memicingkan mata.
“Pak, ibu saya tidak pernah kasar ke anak-anak. Semua anak bilang, ibu saya itu lembut.” bantah Dita tegas
“Lembut atau tidak, fakta awal tetap mengarah pada ibu Anda.” ucap polisi itu
Doni mengepalkan tangannya
“Baik, kami mau ketemu Ibu kami.” ucap Doni
Petugas mengantar mereka ke ruang tahanan perempuan.
Begitu melihat mereka, Bu Yanti langsung berlari, namun terbatas jeruji besi. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, dan matanya sembab.
“Doni… Dita…” ucap Bu Yanti, suaranya pecah
“Ibu nggak salah. Ibu nggak dorong anak itu…”
Dita menangis keras.
“Mama… kami berdua percaya kalau Mama baik… Kami selalu percaya…” ucap Dita
Bu Yanti terisak, sambil memegangi jeruji besi.
“Ibu cuma mau elus bahu Tiara. Ibu cuma mau hibur dia yang takut, tapi dia lari sampai jatuh. Ibu nggak ngerti…” ucap Bu Yanti
Doni menahan air matanya.
“Kami bakal cari tahu semuanya, Bu. Kami janji.” ucap Doni dengan penuh tekad
Namun, di balik kata-kata itu, ada ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan.
***
Waktu berjalan lambat. Kasus itu tetap menggantung, dan Bu Yanti tetap mendekam di penjara.
Doni kembali ke Jogja karena harus bekerja. Pria itu bangun jam 2 pagi untuk membuat adonan roti, lalu berjualan di pasar hingga siang. Tubuhnya sangat lelah, tetapi pikirannya jauh lebih lelah. Sementara Dita masih bekerja keras menulis novel, sambil terus memantau perkembangan kasus ibu mereka.
Setiap malam, Doni duduk di depan kontrakan sambil memandangi langit.
“Ya Tuhan, kenapa harus Mama?”
Sementara itu, di dalam penjara, Bu Yanti hampir kehilangan kewarasan. Bu Yanti sering berteriak sejadi-jadinya, memukul dinding, memohon-mohon agar dipercaya.
Namun suatu hari, seorang perempuan seumuran Doni, bernama Indah, teman satu selnya, mendekat.
“Bu, jangan marah begini terus. Ibu bisa sakit.”
Bu Yanti menutup wajahnya.
“Aku nggak kuat, Mbak. Aku nggak dorong anak itu, tapi semua orang bilang aku pembunuh…” ucap Bu Yanti
Indah memegang tangan Bu Yanti.
“Kalau Ibu mau, Ibu bisa menulis. Itu yang bikin saya tetap waras di sini. Nulis puisi boleh, nulis doa boleh, apa saja.” hibur Indah
Bu Yanti menggeleng lemah.
“Aku nggak jago nulis…” ucap Bu Yanti
“Tapi Ibu paling jago kalau mencintai,” balas Indah dengan lembut
Kalimat itu menembus hati Bu Yanti. Malam itu, Bu Yanti akhirnya menulis lagunya almarhum Glenn Fredly tahun 2004 di selembar sobekan kertas nasi, judulnya “Semua Karena Tuhan”. Lagu itu menceritakan kalau manusia itu bisa berdiri tegak dan berani menghadapi segalanya bukan karena manusia itu kuat dan hebat, melainkan karena cinta kasih Tuhan, dan karena manusia itu sudah dipilih oleh Tuhan untuk berkarya melayani Tuhan.
Bu Yanti membacanya sambil menangis.
Indah memeluknya.
“Ibu pasti kuat, dan Tuhan tahu itu.” ucap Indah
***
Setahun berlalu. Doni semakin kurus, Dita semakin mudah lelah. Namun, mereka tidak berhenti mencari keadilan.
Hingga suatu pagi, seorang guru SD tempat Tiara bersekolah mendatangi kantor polisi dan membawa kesaksian baru.
Namanya Bu Dewi, sang wali kelas 4B, kelasnya Tiara. Wajahnya penuh penyesalan.
“Pak, saya harus bicara. Saya nggak tega melihat Bu Yanti dipenjara, padahal dia tidak bersalah.”
Kompol Rendra mendengarkan dengan serius.
“Tiara itu anak yang baik. Tapi dia punya fobia berat kepada Bu Yanti.”
“Fobia?” ulang Rendra
Bu Dewi mengangguk.
“Bukan karena Bu Yanti jahat. Tapi karena Tiara dibully teman-temannya.”
Kompol Rendra mencondongkan badannya.
“Dibully bagaimana?”
“Anak-anak itu mengejek Tiara dengan kata ‘tumor rahim’, bukan manusia, hanya karena Tiara lahir melalui operasi caesar, seperti, maaf, tumor di perut yang hanya bisa dikeluarkan melalui operasi. Kalau Tiara berani membalas balik, mereka mengancam akan mengadukan perbuatan Tiara ke Bu Yanti. Mereka membuat cerita, kalau Bu Yanti bisa menghukum anak-anak nakal dengan menggunduli kepala mereka hanya dengan sekali elusan kepala. Mereka bahkan memfitnah kalau Tiara melakukan banyak kenakalan, mulai dari mencuri uang teman, memecahkan kaca jendela kelas, menghajar Olivia sampai babak belur, semuanya supaya Tiara semakin takut kalau dihukum karena nakal.” jelas Bu Dewi
Kompol Rendra membulatkan matanya.
“Jadi, Tiara takut sama Bu Yanti?”
“Sangat takut, Pak. Setiap melihat Bu Yanti di kantin, Tiara langsung lari dan bersembunyi. Suatu hari, saya tanyain Tiara, dia bilang, ‘Bu Dewi, nanti Bu Yanti gunduli kepalaku kalau aku nakal’. Itu kebohongan dari anak-anak lain.”
“Dan saat kejadian?”
“Bu Yanti hanya mau menghibur Tiara. Tapi, Tiara malah histeris dan panik, lari ketakutan, terpeleset di lantai yang licin di depan kelas 4B, terus jatuh dari lantai 2 sampai tewas. Lantai itu memang baru dipel.”
Kompol Rendra mengusap wajahnya.
“Lalu, soal Tiara menghajar Olivia?”
“Bukan Tiara yang melakukan itu, sumpah. Itu ulah Arga, temannya Olivia yang sengaja bersekongkol dengan Olivia dan menghajar Olivia untuk menjebak Tiara. Dan Olivia membiarkan dirinya dipukuli Arga sampai babak belur untuk menjebak Tiara, supaya Tiara semakin takut.”
Kesaksian demi kesaksian mengalir seperti air bah. Tentang Olivia dan Arga yang sengaja bersekongkol untuk menjebak Tiara, tentang geng pembully itu yang terus memprovokasi Tiara, tentang kekerasan sosial berat yang dihadapi oleh Tiara, dan tentang fobia Tiara yang semakin parah karena cerita-cerita bohong tentang Bu Yanti.
Ketika semua fakta terkumpul, keputusannya hanya satu, bahwa Bu Yanti sama sekali tidak bersalah.
***
Hari itu, Doni dan Dita dipanggil polisi.
“Mbak, Mas?”
“Iya, Pak.”
“Kami meminta maaf sudah menghukum Ibu kalian. Ibu kalian akan dibebaskan hari ini. Semua tuduhan dicabut.”
Dita langsung menangis. Doni memejamkan matanya, menahan napas panjang.
Di halaman kantor polisi, terik matahari Semarang terasa seperti cahaya dari Tuhan sendiri. Gerbang besi dibuka. Bu Yanti keluar.
Bu Yanti tampak jauh lebih kurus dan tampak sangat lelah, tetapi matanya masih penuh cahaya seorang ibu.
Doni berlari paling dulu.
“Mama!”
Dita menyusul.
“Mama! Mama pulang!”
Bu Yanti memeluk keduanya erat-erat. Tangis mereka pecah bersamaan.
“Maafkan Mama, Mama bikin kalian sedih…”
“Nggak, Ma, nggak… Kami selalu percaya kalau Mama baik…”
“Kami selalu ada buat Mama…”
Momen pertemuan itu lama, hangat, dan penuh doa yang tidak terucap.
***
Beberapa bulan setelah dibebaskan, Bu Yanti kembali bekerja sebagai ibu kantin. Banyak orang meminta maaf padanya. Banyak pula yang diam-diam menunduk, tidak berani menatap mukanya.
Namun, Bu Yanti tidak marah dan tidak dendam.
Suatu pagi, Bu Yanti menulis ulang lagunya almarhum Glenn Fredly itu di buku harian baru, bahwa Bu Yanti sedang membuka lembaran baru dalam hidupnya. Bu Yanti bebas dari penjara karena Tuhan yang memilihnya, dan Bu Yanti tidak akan ragu akan kasih Tuhan.
Bu Yanti tersenyum. Air matanya jatuh pelan, bukan karena sedih, melainkan karena lega.
Doni kini membuka lapak roti sendiri, menamai gerobaknya dengan nama “Roti Fidelia”, yang dalam bahasa Latin berarti iman.
Dita menerbitkan novel baru yang langsung laris, novel yang terinspirasi dari perjuangan ibu mereka. Judulnya, “Semua Karena Tuhan”.
Kini, Bu Yanti duduk di kantin sekolah, menyajikan teh manis dan soto ayam hangat untuk anak-anak di sekolah, tanpa sedikit pun rasa pahit di dalam hatinya.
Sebab, bagi Bu Yanti, hidup ini bukan tentang seberapa keras badai menyerang, melainkan tentang seberapa kuat kita berdiri.
Dan hanya satu alasan yang membuat Bu Yanti tetap tangguh dan bertahan, yaitu semua ini terjadi karena cinta kasih Tuhan, dan karena Tuhan yang sudah memilih Bu Yanti untuk berkarya melayani Tuhan.
TAMAT
@ajituelegi @itkgid @pabuaranwetan
siloh dan 7 lainnya memberi reputasi
8
476
5
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan