- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[CERPEN] Pembalasan Dendam Untuk Arga
TS
aurora..
[CERPEN] Pembalasan Dendam Untuk Arga
Fahri tidak pernah menyangka, bahwa hari yang tampak biasa-biasa saja, bahkan cenderung membosankan, akan berubah menjadi awal dari sebuah dendam yang perlahan-lahan ia bangun, seperti bara api kecil yang disembunyikan di balik abu.
Pukul 7 pagi, pria berusia 23 tahun itu baru saja selesai menata rambutnya dengan gel rambut murah, tetapi cukup untuk membuat rambutnya terlihat rapi sebelum ia bekerja sebagai kasir minimarket. Ia menguap, sambil meraih jaket biru tipis yang sudah mulai memudar warnanya.
TOK TOK TOK
Ketukan keras di pintu membuat Fahri refleks menoleh. Siapa yang datang sepagi ini? Fahri tidak sedang menunggu tamu, apalagi jarang ada orang yang tahu alamat kontrakannya, kecuali beberapa teman dekat.
TOK TOK TOK
Ketukannya semakin keras.
Fahri berjalan ke pintu, hatinya mulai tidak tenang. Begitu pintu terbuka, 3 pria asing bertubuh tinggi menjulang di depannya. Satu bertubuh besar, satu berkumis tebal, dan satu lagi membawa map lusuh.
“Nama kamu Fahri Indrayana, ya?” tanya si pria berkumis
“Iya, itu saya. Ada apa, Pak?” tanya Fahri
Pria bertubuh besar itu menyelipkan tangannya ke saku jaket bombernya, seolah ingin mengintimidasi.
“Kamu punya hutang 500 ribu rupiah. Sudah lewat tempo 2 minggu.” ucap pria besar itu
“Apa?” tanya Fahri
Fahri refleks tertawa kecil.
“Maaf, saya nggak punya hutang. Apalagi ke kalian. Saya bahkan nggak kenal siapa pun yang meminjamkan uang.” bantah Fahri
Si pria berkumis mendecak, mengambil selembar kertas fotokopi dari map.
“Ini buktinya.” ucap pria berkumis itu
Fahri melihat kertas itu. Nama “Fahri Indrayana” tertera jelas. Namun, tanda tangan di bawahnya bukan miliknya.
“Ini bukan tanda tangan saya,” tegas Fahri
“Alasan saja bisanya!” bentak pria besar itu
“Pokoknya, dalam waktu 3 hari, kamu harus lunasi. Kalau nggak, ya, kamu tahu sendiri akibatnya.” ancam pria besar itu
Tiga pria itu berbalik pergi. Fahri mematung di depan pintu rumahnya sambil memegang kertas itu. Ada seseorang yang sengaja memakai namanya. Namun, siapa?
Fahri menarik napas panjang.
“Orang aneh macam apa mereka ini…" gumam Fahri pelan
Belum sempat Fahri memproses kejadian itu, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat seluruh tubuhnya menegang.
Arga.
Teman SMA yang paling dibencinya. Bukan, bukan teman. Arga adalah simbol kesombongan, kekayaan, dan penghinaan yang berkali-kali Fahri rasakan ketika mereka berdua masih SMA.
Fahri mengangkat telepon itu setelah membiarkannya berdering selama 5 kali.
“Halo? Halo?” tanya Fahri datar
Di seberang, suara tawa menyebalkan terdengar.
“Halo, kasir minimarket murahan! Masih kerja scan barcode, ya? Hehehe.” ejek Arga
“Arga, mau kamu apa?” tanya Fahri
“Tenang, Fahri. Aku cuma mau ngasih info penting.”
Arga menaikkan nada bicaranya dengan nada sok penting.
“Minggu depan, band-ku akan tampil di acara mall besar di pusat kota. Kamu datang, ya, biar kamu tahu musik yang berkualitas tinggi, nggak kayak musik murahan kamu yang bikin sakit kepala itu.” ejek Arga
Fahri mengepalkan tangannya.
“Arga, aku—” ucap Fahri
“Sudahlah, Fahri, nggak usah banyak omong,” potong Arga
“Dari dulu, kamu juga nggak bakalan bisa saingin aku. Mau jadi musisi, tapi kerjaan kamu cuma kasir. Jijik banget, tahu.” ucap Arga
Telepon diputus sepihak. Fahri tertegun, lalu meletakkan ponselnya perlahan. Perlahan sekali.
Namun, di dalam dirinya, sebuah benih dendam mulai bertunas.
Hari itu di minimarket, Fahri bekerja seperti biasa. Namun, pikirannya tidak lepas dari dua hal, yaitu tagihan hutang palsu dan telepon ejekan dari Arga. Fahri tahu, Arga itu tipe orang yang mudah marah kalau ada yang menyainginya, tetapi penagih hutang palsu? Itu sudah sangat keterlaluan.
Saat istirahat makan, Fahri menelusuri kontak ponselnya dan berhenti pada satu nama, yaitu Kevin, penyanyi berbakat yang sering ia lihat saat open mic kafe kecil di dekat kampus.
Fahri menekan tombol telepon.
“Kevin, kamu sibuk?” tanya Fahri
“Aku lagi nyuci baju, kenapa?” tanya Kevin, suaranya riang
“Kamu masih minat bikin band? Aku mau bikin band sama kamu.” ucap Fahri
Hening sejenak. Lalu, Kevin membalas dengan antusias.
“Beneran?! Masih, lah! Si Edo juga pasti mau.” balas Kevin
Begitulah awalnya. Kevin memperkenalkan Fahri pada Edo, seorang perawat donor darah di PMI yang punya ritme tangan luar biasa saat memukul drum. Mereka bertemu di taman kota malam itu, diikuti oleh Lisa, seorang gadis gitaris elektrik yang tertawa, sambil memetik senar gitar ungu neonnya.
“Gue pemain gitar, tapi jangan harap gue bisa lembut,” ucap Lisa, sambil memetik sedikit nada rock yang garang
Fahri tertawa.
“Nggak apa-apa. Kita juga nggak sedang bikin lagu balada.” ucap Lisa
Beberapa hari kemudian, Kevin memperkenalkan dua pemain terakhir, yaittu Seno, seorang dokter anak berusia 43 tahun yang elegan dan bisa memainkan harmonika seperti seorang profesional, serta putrinya, Nina, seorang gadis 15 tahun yang pemalu tetapi mampu meniup tuba dengan kekuatan pernapasan yang sangat mengejutkan.
“Kenapa dokter bisa main harmonika?” tanya Fahri saat pertama kali bertemu
Seno tertawa.
“Dulu, saya hampir jadi musisi jalanan kalau saya nggak keterima kuliah kedokteran.” ucap Seno
Nina ikut menambahkan pelan.
“Ayah ngajarin aku musik sejak kecil.” tambah Nina
Lengkaplah formasi band itu.
Fahri menjadi konduktor musik, seseorang yang tidak hanya mengarahkan, tetapi juga menyatukan semuanya.
***
Namun, perjalanannya tidak semudah itu.
Latihan pertama berantakan.
Latihan kedua jauh lebih kacau.
Latihan ketiga? Berujung pertengkaran.
Di sebuah garasi kosong milik teman Kevin, Kevin dan Edo hampir berkelahi karena tempo yang tidak sesuai.
“Edo! Lo terlalu cepat!” keluh Kevin
“Nggak! Lo yang telat masuk nada!” balas Edo, sambil menonjok ke udara
Lisa ikut menimpali.
“Kalian berdua sama-sama salah. Kalau mau latihan, harus fokus dong!” lerai Lisa
Kevin memutar bola matanya bosan.
“Mbak gitaris sok pintar mulai lagi…” gumam Kevin
“Apa?!”
Lisa meletakkan gitarnya.
“Awas lo, Kevin!” bentak Lisa
Edo langsung berdiri.
“Sudah, sudah, kalian ini mau latihan atau mau perang?” ucap Edo
Seno hanya menghela napas, memainkan harmonika kecilnya sebagai tanda ia mencoba menenangkan suasana. Nina bersembunyi di belakang ayahnya setiap kali suara mereka meninggi.
Fahri memijit pelipisnya.
“Semuanya, tolong! Kita bukan musuh! Kita semua punya tujuan yang sama!” teriak Fahri
Lisa mendengus.
“Gue ikut cuma karena Kevin yang maksa. Tapi kalau begini terus—” gerutu Lisa
“Diam dulu semuanya!” teriak Fahri, lebih keras dari sebelumnya
Semua orang berhenti.
“Aku tahu, kita semua punya ego. Tapi kita bikin band ini bukan untuk saling menjatuhkan. Kita bikin buat menunjukkan bahwa semua orang bisa berkarya, meskipun kita bukan orang kaya, bukan penyanyi terkenal, bukan siapa-siapa.” ucap Fahri
Mata Fahri menyapu setiap wajah.
“Arga mau tampil satu minggu lagi. Kita nggak boleh kalah sama Arga.” ucap Fahri
Nama itu, Arga, langsung membuat ruangan sunyi.
Semua orang tahu siapa Arga. Sangat sombong, kaya, dan sering menghina pekerjaan orang lain.
Lisa bersedekap.
“Oke, kalau tujuannya cuma mau ngalahin orang sombong sialan itu, gue ikut.” ucap Lisa
Kevin tersenyum.
“Gue dari awal ikut band ini juga karena itu, sih.” timpal Kevin
Edo mengangguk.
“Ayo, kita tunjukkan ke manusia sombong itu kalau kita bisa lebih hebat.” tambah Edo
Nina mengangkat tangan mungilnya.
“Aku mau tolongin Kak Fahri.” gumam Nina pelan
Seno tersenyum bangga pada anaknya.
“Kalau kamu mau, ayah juga mau ikut, Nak.” ucap Seno
Fahri mengangguk mantap.
Sejak itu, latihan menjadi jauh lebih disiplin. Mereka berlatih setiap malam selepas pekerjaan masing-masing. Fahri menyusun aransemen musik dari nol. Mereka membagi peran, tempo, ritme, harmoni, dan klimaks.
Dan perlahan, kelompok itu berubah menjadi keluarga kecil.
***
Hari pertunjukan akhirnya tiba.
Acara itu diadakan di sebuah aula kecil di dekat alun-alun kota. Lampu panggung bersinar terang, penonton mulai berdatangan, dan di balik panggung, Fahri berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar.
Namun, ketika Fahri keluar dari ruang ganti, seseorang berdiri dengan wajah menantang yang sudah sangat dikenalnya.
Arga.
Arga bersandar santai pada meja panitia sambil tersenyum miring.
“Woi, kasir murahan. Aku dengar kamu sudah bikin band, ya?” tanya Arga sinis
Fahri menghela napas.
“Arga, tolong. Jangan bikin kekacauan di sini.” ucap Fahri, berusaha untuk tenang
“Terlambat.”
Arga mendekat, suaranya lirih tetapi penuh nada jahat.
“Band kamu pasti kacau. Mana mungkin sekumpulan orang nggak berbakat itu bisa main?” ejek Arga
Fahri mengepalkan tangannya, ingin memukul Arga, tetapi ia menahan diri.
“Pergi, Arga. Jangan bikin aku marah.” ucap Fahri
Arga terkekeh.
“Oh iya, soal penagih hutang itu, aku yang suruh mereka datang. Aku cuma mau lihat kamu capek saja.” ucap Arga
Darah Fahri membeku.
“Jadi, kamu yang ngatur semua itu?” tanya Fahri
“Iya, lah. Biar kamu bisa merasakan capek sedikit saja.” ejek Arga
Senyuman Arga membuat Fahri ingin membuat wajah Arga babak belur. Namun, Fahri bukan tipe orang kekanak-kanakan yang menyelesaikan kemarahan dengan pukulan atau tendangan.
Fahri akan membalas dengan sesuatu yang sangat dewasa tetapi lebih sakit, yaitu keberhasilan.
Band Fahri mendapat giliran tampil ketiga.
Ketika mereka naik ke panggung, banyak penonton berbisik-bisik. Melihat pemain tuba yang masih remaja, dokter anak dengan harmonika, gitaris wanita berambut ombre ungu, penyanyi tenor, perawat donor darah yang menjadi drummer, dan Fahri sendiri, seorang kasir minimarket yang berdiri sebagai konduktor.
Arga duduk di barisan depan, menyilangkan tangan, siap tertawa.
Fahri mengangkat kedua tangannya.
Suasana seketika senyap.
Isyarat pertama, Kevin mulai menyanyikan bagian intro lagu dengan suara tenor yang jernih.
Isyarat kedua, drum Edo masuk dengan nada kuat tetapi stabil.
Isyarat ketiga, Lisa memetik gitar elektriknya, suaranya keras melengking tetapi ritmenya tepat.
Isyarat keempat, harmonika Seno mengalun, mengisi setiap celah seperti angin malam yang menenangkan.
Isyarat kelima, tuba Nina menghadirkan dasar nada yang dalam, menambah kekuatan yang dramatis.
Musik itu tampil seperti badai yang terorganisir. Penonton terpukau. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang kacau. Semua menyatu di bawah aba-aba tangan Fahri.
Musik mencapai klimaks. Kevin menaikkan nada tinggi, Lisa memainkan solo gitar pendek yang memukau. Bahkan, Seno menutup bagian harmonika dengan teknik bending yang hanya bisa dilakukan oleh musisi profesional.
Saat lagu selesai, ruangan meledak dengan tepuk tangan meriah. Bahkan, beberapa penonton berdiri.
Sedangkan Arga? Arga terpaku. Mulutnya sedikit terbuka, wajahnya pucat.
Fahri turun dari panggung. Semua anggota band memeluknya. Mereka tahu, mereka telah menang melawan sesuatu yang besar.
Saat mereka sedang menikmati momen itu, Arga datang mendekat. Namun, kali ini, tidak ada senyuman sombong di wajahnya. Yang ada hanyalah penyesalan, malu, dan ketakutan.
“Fahri…” ucap Arga, suaranya hampir berbisik
“Aku… aku minta maaf.”
Fahri menoleh dengan tenang.
“Maaf untuk apaan? Untuk permainan anehmu yang bikin aku capek? Untuk telepon ejekan? Atau ejekan selama bertahun-tahun?”
Arga menunduk.
“Semuanya.”
Fahri mendekat.
“Aku nggak butuh permintaan maafmu.” bantah Fahri tegas
Arga mendongak dengan panik.
“Jadi, kamu masih marah sama aku?” tanya Arga
Fahri tersenyum kecil, senyuman yang tidak pernah Arga lihat sebelumnya, senyuman seseorang yang telah menang.
“Marah? Nggak. Aku cuma membalas dendam dengan cara yang paling dewasa.” jawab Fahri
Arga mengerutkan dahinya.
“Aku cuma membuktikan kalau kamu salah.” ucap Fahri
Lelaki itu menepuk bahu Arga pelan.
“Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada pukulan.” lanjutnya
Arga membeku.
Fahri berjalan pergi, disambut oleh kehangatan teman-temannya. Dalam hatinya, Fahri tahu satu hal, bahwa dendamnya telah terbalaskan, dan pembalasannya sempurna, tanpa kekerasan, tanpa pukulan, hanya dengan musik yang ia cintai.
Malam itu menjadi momen kemenangan besar bagi Fahri. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arga merasa kecil di hadapan seseorang yang dulu pernah ia remehkan.
TAMAT
Note: Cerpen ini adalah adaptasi dari episode Band Geeks di kartun SpongeBob.
Pukul 7 pagi, pria berusia 23 tahun itu baru saja selesai menata rambutnya dengan gel rambut murah, tetapi cukup untuk membuat rambutnya terlihat rapi sebelum ia bekerja sebagai kasir minimarket. Ia menguap, sambil meraih jaket biru tipis yang sudah mulai memudar warnanya.
TOK TOK TOK
Ketukan keras di pintu membuat Fahri refleks menoleh. Siapa yang datang sepagi ini? Fahri tidak sedang menunggu tamu, apalagi jarang ada orang yang tahu alamat kontrakannya, kecuali beberapa teman dekat.
TOK TOK TOK
Ketukannya semakin keras.
Fahri berjalan ke pintu, hatinya mulai tidak tenang. Begitu pintu terbuka, 3 pria asing bertubuh tinggi menjulang di depannya. Satu bertubuh besar, satu berkumis tebal, dan satu lagi membawa map lusuh.
“Nama kamu Fahri Indrayana, ya?” tanya si pria berkumis
“Iya, itu saya. Ada apa, Pak?” tanya Fahri
Pria bertubuh besar itu menyelipkan tangannya ke saku jaket bombernya, seolah ingin mengintimidasi.
“Kamu punya hutang 500 ribu rupiah. Sudah lewat tempo 2 minggu.” ucap pria besar itu
“Apa?” tanya Fahri
Fahri refleks tertawa kecil.
“Maaf, saya nggak punya hutang. Apalagi ke kalian. Saya bahkan nggak kenal siapa pun yang meminjamkan uang.” bantah Fahri
Si pria berkumis mendecak, mengambil selembar kertas fotokopi dari map.
“Ini buktinya.” ucap pria berkumis itu
Fahri melihat kertas itu. Nama “Fahri Indrayana” tertera jelas. Namun, tanda tangan di bawahnya bukan miliknya.
“Ini bukan tanda tangan saya,” tegas Fahri
“Alasan saja bisanya!” bentak pria besar itu
“Pokoknya, dalam waktu 3 hari, kamu harus lunasi. Kalau nggak, ya, kamu tahu sendiri akibatnya.” ancam pria besar itu
Tiga pria itu berbalik pergi. Fahri mematung di depan pintu rumahnya sambil memegang kertas itu. Ada seseorang yang sengaja memakai namanya. Namun, siapa?
Fahri menarik napas panjang.
“Orang aneh macam apa mereka ini…" gumam Fahri pelan
Belum sempat Fahri memproses kejadian itu, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat seluruh tubuhnya menegang.
Arga.
Teman SMA yang paling dibencinya. Bukan, bukan teman. Arga adalah simbol kesombongan, kekayaan, dan penghinaan yang berkali-kali Fahri rasakan ketika mereka berdua masih SMA.
Fahri mengangkat telepon itu setelah membiarkannya berdering selama 5 kali.
“Halo? Halo?” tanya Fahri datar
Di seberang, suara tawa menyebalkan terdengar.
“Halo, kasir minimarket murahan! Masih kerja scan barcode, ya? Hehehe.” ejek Arga
“Arga, mau kamu apa?” tanya Fahri
“Tenang, Fahri. Aku cuma mau ngasih info penting.”
Arga menaikkan nada bicaranya dengan nada sok penting.
“Minggu depan, band-ku akan tampil di acara mall besar di pusat kota. Kamu datang, ya, biar kamu tahu musik yang berkualitas tinggi, nggak kayak musik murahan kamu yang bikin sakit kepala itu.” ejek Arga
Fahri mengepalkan tangannya.
“Arga, aku—” ucap Fahri
“Sudahlah, Fahri, nggak usah banyak omong,” potong Arga
“Dari dulu, kamu juga nggak bakalan bisa saingin aku. Mau jadi musisi, tapi kerjaan kamu cuma kasir. Jijik banget, tahu.” ucap Arga
Telepon diputus sepihak. Fahri tertegun, lalu meletakkan ponselnya perlahan. Perlahan sekali.
Namun, di dalam dirinya, sebuah benih dendam mulai bertunas.
Hari itu di minimarket, Fahri bekerja seperti biasa. Namun, pikirannya tidak lepas dari dua hal, yaitu tagihan hutang palsu dan telepon ejekan dari Arga. Fahri tahu, Arga itu tipe orang yang mudah marah kalau ada yang menyainginya, tetapi penagih hutang palsu? Itu sudah sangat keterlaluan.
Saat istirahat makan, Fahri menelusuri kontak ponselnya dan berhenti pada satu nama, yaitu Kevin, penyanyi berbakat yang sering ia lihat saat open mic kafe kecil di dekat kampus.
Fahri menekan tombol telepon.
“Kevin, kamu sibuk?” tanya Fahri
“Aku lagi nyuci baju, kenapa?” tanya Kevin, suaranya riang
“Kamu masih minat bikin band? Aku mau bikin band sama kamu.” ucap Fahri
Hening sejenak. Lalu, Kevin membalas dengan antusias.
“Beneran?! Masih, lah! Si Edo juga pasti mau.” balas Kevin
Begitulah awalnya. Kevin memperkenalkan Fahri pada Edo, seorang perawat donor darah di PMI yang punya ritme tangan luar biasa saat memukul drum. Mereka bertemu di taman kota malam itu, diikuti oleh Lisa, seorang gadis gitaris elektrik yang tertawa, sambil memetik senar gitar ungu neonnya.
“Gue pemain gitar, tapi jangan harap gue bisa lembut,” ucap Lisa, sambil memetik sedikit nada rock yang garang
Fahri tertawa.
“Nggak apa-apa. Kita juga nggak sedang bikin lagu balada.” ucap Lisa
Beberapa hari kemudian, Kevin memperkenalkan dua pemain terakhir, yaittu Seno, seorang dokter anak berusia 43 tahun yang elegan dan bisa memainkan harmonika seperti seorang profesional, serta putrinya, Nina, seorang gadis 15 tahun yang pemalu tetapi mampu meniup tuba dengan kekuatan pernapasan yang sangat mengejutkan.
“Kenapa dokter bisa main harmonika?” tanya Fahri saat pertama kali bertemu
Seno tertawa.
“Dulu, saya hampir jadi musisi jalanan kalau saya nggak keterima kuliah kedokteran.” ucap Seno
Nina ikut menambahkan pelan.
“Ayah ngajarin aku musik sejak kecil.” tambah Nina
Lengkaplah formasi band itu.
Fahri menjadi konduktor musik, seseorang yang tidak hanya mengarahkan, tetapi juga menyatukan semuanya.
***
Namun, perjalanannya tidak semudah itu.
Latihan pertama berantakan.
Latihan kedua jauh lebih kacau.
Latihan ketiga? Berujung pertengkaran.
Di sebuah garasi kosong milik teman Kevin, Kevin dan Edo hampir berkelahi karena tempo yang tidak sesuai.
“Edo! Lo terlalu cepat!” keluh Kevin
“Nggak! Lo yang telat masuk nada!” balas Edo, sambil menonjok ke udara
Lisa ikut menimpali.
“Kalian berdua sama-sama salah. Kalau mau latihan, harus fokus dong!” lerai Lisa
Kevin memutar bola matanya bosan.
“Mbak gitaris sok pintar mulai lagi…” gumam Kevin
“Apa?!”
Lisa meletakkan gitarnya.
“Awas lo, Kevin!” bentak Lisa
Edo langsung berdiri.
“Sudah, sudah, kalian ini mau latihan atau mau perang?” ucap Edo
Seno hanya menghela napas, memainkan harmonika kecilnya sebagai tanda ia mencoba menenangkan suasana. Nina bersembunyi di belakang ayahnya setiap kali suara mereka meninggi.
Fahri memijit pelipisnya.
“Semuanya, tolong! Kita bukan musuh! Kita semua punya tujuan yang sama!” teriak Fahri
Lisa mendengus.
“Gue ikut cuma karena Kevin yang maksa. Tapi kalau begini terus—” gerutu Lisa
“Diam dulu semuanya!” teriak Fahri, lebih keras dari sebelumnya
Semua orang berhenti.
“Aku tahu, kita semua punya ego. Tapi kita bikin band ini bukan untuk saling menjatuhkan. Kita bikin buat menunjukkan bahwa semua orang bisa berkarya, meskipun kita bukan orang kaya, bukan penyanyi terkenal, bukan siapa-siapa.” ucap Fahri
Mata Fahri menyapu setiap wajah.
“Arga mau tampil satu minggu lagi. Kita nggak boleh kalah sama Arga.” ucap Fahri
Nama itu, Arga, langsung membuat ruangan sunyi.
Semua orang tahu siapa Arga. Sangat sombong, kaya, dan sering menghina pekerjaan orang lain.
Lisa bersedekap.
“Oke, kalau tujuannya cuma mau ngalahin orang sombong sialan itu, gue ikut.” ucap Lisa
Kevin tersenyum.
“Gue dari awal ikut band ini juga karena itu, sih.” timpal Kevin
Edo mengangguk.
“Ayo, kita tunjukkan ke manusia sombong itu kalau kita bisa lebih hebat.” tambah Edo
Nina mengangkat tangan mungilnya.
“Aku mau tolongin Kak Fahri.” gumam Nina pelan
Seno tersenyum bangga pada anaknya.
“Kalau kamu mau, ayah juga mau ikut, Nak.” ucap Seno
Fahri mengangguk mantap.
Sejak itu, latihan menjadi jauh lebih disiplin. Mereka berlatih setiap malam selepas pekerjaan masing-masing. Fahri menyusun aransemen musik dari nol. Mereka membagi peran, tempo, ritme, harmoni, dan klimaks.
Dan perlahan, kelompok itu berubah menjadi keluarga kecil.
***
Hari pertunjukan akhirnya tiba.
Acara itu diadakan di sebuah aula kecil di dekat alun-alun kota. Lampu panggung bersinar terang, penonton mulai berdatangan, dan di balik panggung, Fahri berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar.
Namun, ketika Fahri keluar dari ruang ganti, seseorang berdiri dengan wajah menantang yang sudah sangat dikenalnya.
Arga.
Arga bersandar santai pada meja panitia sambil tersenyum miring.
“Woi, kasir murahan. Aku dengar kamu sudah bikin band, ya?” tanya Arga sinis
Fahri menghela napas.
“Arga, tolong. Jangan bikin kekacauan di sini.” ucap Fahri, berusaha untuk tenang
“Terlambat.”
Arga mendekat, suaranya lirih tetapi penuh nada jahat.
“Band kamu pasti kacau. Mana mungkin sekumpulan orang nggak berbakat itu bisa main?” ejek Arga
Fahri mengepalkan tangannya, ingin memukul Arga, tetapi ia menahan diri.
“Pergi, Arga. Jangan bikin aku marah.” ucap Fahri
Arga terkekeh.
“Oh iya, soal penagih hutang itu, aku yang suruh mereka datang. Aku cuma mau lihat kamu capek saja.” ucap Arga
Darah Fahri membeku.
“Jadi, kamu yang ngatur semua itu?” tanya Fahri
“Iya, lah. Biar kamu bisa merasakan capek sedikit saja.” ejek Arga
Senyuman Arga membuat Fahri ingin membuat wajah Arga babak belur. Namun, Fahri bukan tipe orang kekanak-kanakan yang menyelesaikan kemarahan dengan pukulan atau tendangan.
Fahri akan membalas dengan sesuatu yang sangat dewasa tetapi lebih sakit, yaitu keberhasilan.
Band Fahri mendapat giliran tampil ketiga.
Ketika mereka naik ke panggung, banyak penonton berbisik-bisik. Melihat pemain tuba yang masih remaja, dokter anak dengan harmonika, gitaris wanita berambut ombre ungu, penyanyi tenor, perawat donor darah yang menjadi drummer, dan Fahri sendiri, seorang kasir minimarket yang berdiri sebagai konduktor.
Arga duduk di barisan depan, menyilangkan tangan, siap tertawa.
Fahri mengangkat kedua tangannya.
Suasana seketika senyap.
Isyarat pertama, Kevin mulai menyanyikan bagian intro lagu dengan suara tenor yang jernih.
Isyarat kedua, drum Edo masuk dengan nada kuat tetapi stabil.
Isyarat ketiga, Lisa memetik gitar elektriknya, suaranya keras melengking tetapi ritmenya tepat.
Isyarat keempat, harmonika Seno mengalun, mengisi setiap celah seperti angin malam yang menenangkan.
Isyarat kelima, tuba Nina menghadirkan dasar nada yang dalam, menambah kekuatan yang dramatis.
Musik itu tampil seperti badai yang terorganisir. Penonton terpukau. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang kacau. Semua menyatu di bawah aba-aba tangan Fahri.
Musik mencapai klimaks. Kevin menaikkan nada tinggi, Lisa memainkan solo gitar pendek yang memukau. Bahkan, Seno menutup bagian harmonika dengan teknik bending yang hanya bisa dilakukan oleh musisi profesional.
Saat lagu selesai, ruangan meledak dengan tepuk tangan meriah. Bahkan, beberapa penonton berdiri.
Sedangkan Arga? Arga terpaku. Mulutnya sedikit terbuka, wajahnya pucat.
Fahri turun dari panggung. Semua anggota band memeluknya. Mereka tahu, mereka telah menang melawan sesuatu yang besar.
Saat mereka sedang menikmati momen itu, Arga datang mendekat. Namun, kali ini, tidak ada senyuman sombong di wajahnya. Yang ada hanyalah penyesalan, malu, dan ketakutan.
“Fahri…” ucap Arga, suaranya hampir berbisik
“Aku… aku minta maaf.”
Fahri menoleh dengan tenang.
“Maaf untuk apaan? Untuk permainan anehmu yang bikin aku capek? Untuk telepon ejekan? Atau ejekan selama bertahun-tahun?”
Arga menunduk.
“Semuanya.”
Fahri mendekat.
“Aku nggak butuh permintaan maafmu.” bantah Fahri tegas
Arga mendongak dengan panik.
“Jadi, kamu masih marah sama aku?” tanya Arga
Fahri tersenyum kecil, senyuman yang tidak pernah Arga lihat sebelumnya, senyuman seseorang yang telah menang.
“Marah? Nggak. Aku cuma membalas dendam dengan cara yang paling dewasa.” jawab Fahri
Arga mengerutkan dahinya.
“Aku cuma membuktikan kalau kamu salah.” ucap Fahri
Lelaki itu menepuk bahu Arga pelan.
“Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada pukulan.” lanjutnya
Arga membeku.
Fahri berjalan pergi, disambut oleh kehangatan teman-temannya. Dalam hatinya, Fahri tahu satu hal, bahwa dendamnya telah terbalaskan, dan pembalasannya sempurna, tanpa kekerasan, tanpa pukulan, hanya dengan musik yang ia cintai.
Malam itu menjadi momen kemenangan besar bagi Fahri. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arga merasa kecil di hadapan seseorang yang dulu pernah ia remehkan.
TAMAT
Note: Cerpen ini adalah adaptasi dari episode Band Geeks di kartun SpongeBob.
Araka dan 4 lainnya memberi reputasi
5
569
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan