- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kenapa Kita Lebih Cepat Menghakimi daripada Menolong?
TS
GutSchreiben
Kenapa Kita Lebih Cepat Menghakimi daripada Menolong?

Di beberapa hari terakhir, gue ngerasa ada satu hal yang bikin kepala gue nggak bisa diam. Bukan cuma soal banjir gede di Sumatera, tapi soal gimana kita sebagai masyarakat ngeliat kejadian itu. Karena setelah gue ngikutin update demi update, gue sadar ada satu hal yang selalu keulang: setiap kali ada bencana, yang ribut bukan cuma warga yang terdampak, tapi juga orang-orang yang komen di sosmed. Dan itu bikin gue ngerasa gue ini mesti dibahas karena yang gue liat ternyata lebih rumit dari sekadar “banjir”, “bantuan”, atau “pejabat turun lapangan”.
Gue mulai dari hal yang paling dasar dulu. Bencana yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, sampai Aceh itu bukan cuma sekadar banjir biasa. Ini kejadian yang bikin ribuan orang kehilangan rumah, kehilangan harta benda, bahkan kehilangan keluarga. Dan dalam kondisi kayak gitu, orang nggak cuma butuh mie instan atau selimut. Mereka butuh kepastian, mereka butuh pegangan, dan mereka butuh jaminan bahwa hidup mereka nggak cuma berhenti di titik itu. Gue selalu mikir, kalo manusia digiring ke situasi paling mentok, insting yang keluar bakal impulsif. Itu bukan hal yang harus disalahpahami.
Pas gue ngeliat influencer-influencer besar dari Sumbar langsung turun dan ngasih bantuan, gue ngerasa ada harapan. Karena jujur, gue nggak inget kapan terakhir kita punya respon secepat ini. Tapi lucunya, di saat bantuan itu jalan, di komentar-komentar internet orang malah sibuk ngebahas pejabat. Ada yang bilang pencitraan, ada yang bilang telat, ada yang bilang cuma numpang lewat. Dan gue cuma bisa ketawa kecil, karena default nya emang gitu.
Sampai akhirnya muncul satu topik yang bikin suasana makin panas: sebuah video yang orang-orang bilang sebagai “penjarahan”. Gue liat videonya, dan jujur, yang gue liat bukan penjarahan. Yang gue liat adalah orang-orang yang kelaparan, orang-orang yang udah kehabisan cara, dan orang-orang yang secara manusiawi cuma pengen bertahan hidup. Mereka masuk ke minimarket, mereka ambil makanan, dan mereka pergi. Karyawan minimarketnya pun bingung harus ngapain. Itu bukan pemandangan yang keren, tapi itu juga bukan kriminal kayak yang sebagian orang bayangin. Ini insting bertahan hidup, dan insting itu aktif ketika semua sistem gagal ngasih mereka rasa aman.
Dan bahkan di hukum kita, hal kayak gini sebenernya ada pengecualiannya. Bukan karena negara ngebolehin orang ngambil barang seenaknya, tapi karena hukum mengakui bahwa manusia punya naluri buat bertahan. Di titik ekstrem, tindakan tertentu bisa dipandang sebagai hasil dari keadaan darurat. Dan kalau masyarakat mau ngomongin moral, ya moral itu harus jalan dua arah: lu nggak bisa nyalahin orang kelaparan hanya karena mereka melakukan sesuatu yang lu nggak alami sendiri.
Tapi sebelum kita masuk terlalu jauh, gue pengen ngasih satu konteks yang lebih luas. Bencana kayak gini bukan cuma terjadi di Indonesia. Malaysia kena, Thailand juga pernah, negara lain pun sama. Tapi respon masyarakat mereka beda. Di Malaysia, gue nggak liat gelombang komentar negatif yang ngebasahin kerja pemerintah mereka. Mereka juga kecapekan, mereka juga kewalahan, tapi masyarakatnya dukung. Gue mikir, kenapa di Indonesia beda banget? Kita sama-sama kena bencana, tapi satu sisi ngerangkul pemerintahnya, sementara sisi kita nyerang lebih dulu.
Dari situ gue mulai sadar, masalahnya bukan cuma banjir atau bantuan lambat. Masalahnya ada di kultur kita dalam ngeliat otoritas dan ngeliat sesama. Kita gampang curiga, gampang emosi, dan gampang ngasih label tanpa nunggu konteks. Dan ketika video penjarahan itu muncul, netizen langsung ngegas sebelum mikir bahwa orang-orang itu mungkin udah tiga hari nggak makan. Semua orang berlomba jadi paling benar, sementara yang bener-bener kesusahan malah nggak punya ruang buat jelasin apa-apa.
Jadi, mereka gak cuman kehilangan harta benda, mereka juga kehilangan orang-orang yang mereka cintai karena bencana ini. Karena itu, ya mereka pasti terpukul lah. Dan mereka juga ngalamin trauma. Karena ini kan kejadian yang gak diduga dan ngancam keselamatan mereka, dan kejadiannya begitu cepat, gitu. Jadi, mereka benar-benar gak siap buat ini.
Nah, di tengah-tengah perasaan mereka yang campur aduk ini — sedih, takut, kaget — di antara ini mereka juga ngalamin kekurangan kebutuhan. Kekurangan makanan, tempat tinggal mereka juga gak layak gitu, karena rumah mereka rusak, rumah mereka hanyut. Jadi, mereka tidur di tempat yang benar-benar gak bikin mereka ngerasa nyaman.
Selain perasaan mereka yang sedih segala macam itu, mereka juga pasti kepikiran: ada bencana susulan gak? Ada banjir susulan gak habis ini? Nah, itu yang bikin mereka benar-benar stres, gitu. Selain sedih, selain takut, trauma, mereka juga was-was dengan keadaan yang lagi mereka alamin. Ya, siapa tahu ada hujan yang turun lagi, ya kan? Terus hujannya bertahan lama. Ya itu bikin mereka was-was dan mereka bakal takut banget.
Penderitaan mereka juga gak cuma secara psikologis gitu aja. Mereka juga ngalamin penderitaan secara fisik, karena mereka gak dapat tempat tinggal, karena akses makanan, juga akses buat nyari kebutuhan pokok mereka terhambat karena banjir menggenangi hampir semua tempat. Akhirnya ini bikin mereka makin kesulitan.
Itu yang sebenarnya dialamin orang-orang ini. Jadi, mereka stres, mereka lapar. Di tengah-tengah kondisi kayak gini mereka harus bisa mempertahankan hidup mereka. Biar bisa bertahan, mereka tentunya butuh makanan. Butuh tempat tinggal, butuh pakaian. Akhirnya mereka nyari cara, karena kalau nunggu bantuan dari mana-mana, akses jalan itu udah banyak yang keputus. Mereka gak bisa ngarepin lagi. Mungkin sebagian besar tempat bakal cuma bisa ngandelin bantuan-bantuan dari udara, karena jalur darat udah bener-bener gak bisa diharapin.
Karena mereka butuh cepat, akhirnya mereka ngelakuin itu. Mereka ngambil hal-hal yang sekiranya mereka butuhkan buat bertahan. Hal-hal yang sekiranya bikin mereka bisa lebih kuat lagi. Siapa tahu mereka bisa nemuin… ya mereka berharap aja kan buat nemuin orang-orang yang mungkin masih hilang. Atau mungkin hal lain yang bisa menunjang kegiatan atau kebutuhan mereka buat bertahan.
Jadi mereka ngelakuin itu. Karena mereka udah di situasi stres dan dalam keadaan kayak gitu, mereka gak bakal bener-bener bisa lagi gitu buat nunggu, buat ngarepin dari pemerintah atau yang lain-lain. Jadi akhirnya mereka ngambil keputusan sendiri dan mereka bertindak secara impulsif, dan mereka gak peduli lagi — yang penting mereka bisa bertahan hidup.
Jadi itu yang gue perhatiin di sana. Itu bukan penjarahan. Itu insting buat bertahan. Tapi gak cuma dari stres aja. Karena di Undang-Undang Nomor 48 juga diterangkan kalau tindakan kayak gini bisa dibilang legal, walaupun dalam keadaan normal itu bakal jadi hal yang ilegal. Karena di situasi darurat ini mereka butuh makan, mereka butuh nyelamatin nyawa mereka, dan mereka butuh jadi kuat buat nyelamatin orang-orang yang masih bisa diselamatin.
Dan di Undang-Undang Nomor 48 itu, ketika ada kekuatan yang bener-bener gak bisa mereka tahan, yang memaksa mereka buat ngelakuin hal kayak gini, akhirnya mereka harus ngambil bahan-bahan yang mereka butuhkan.
sibujterush826 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
233
21
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan