Quote:
Disclaimer: Ini bukan thread tentang depolifia (ketertarikan orang dewasa pada anak di bawah umur). Kalau ini beneran thread tentang depolifia, silakan hukum gue, gue nggak takut
.
Hai semuanya, Shalom Aleichem!
Selamat sore kalian semuanya!
Pada kesempatan yang sangat berharga ini, gue, Mbak Rora, akan membahas tentang sebuah fenomena bicara anak balita yang unik, yaitu pedolalia

.
Dalam kehidupan sehari-hari, Agan atau Sista sering mendengar anak-anak, bahkan beberapa remaja, yang masih kesulitan mengucapkan kata-kata tertentu. Ada yang menyebut sayur menjadi “cayul”, telur menjadi “eyul”, atau nasi goreng menjadi “naci goyeng”. Bagi sebagian orang dewasa, fenomena ini terlihat lucu. Namun bagi sebagian lainnya, terutama orang tua dan pendidik, fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah ini normal? Atau jangan-jangan, merupakan gejala dari gangguan berbicara tertentu?
Salah satu istilah yang sering muncul ketika membahas pola bicara anak-anak adalah pedolalia. Istilah ini tidak sepopuler disleksia atau gagap, tetapi cukup penting untuk dipahami, karena berkaitan dengan masalah perkembangan bicara anak kecil.
Thread ini membahas pedolalia secara santai, tetapi tetap berbasis data ilmiah yang dapat diverifikasi, disertai referensi akademik terpercaya.
Quote:
Apa Itu Pedolalia?
Dalam literatur neurologi dan psikologi perkembangan, pedolalia adalah
pola bicara yang menyerupai cara bicara anak kecil (balita), meskipun dilakukan oleh orang yang sudah berada pada tahap perkembangan lebih tinggi.
Istilah ini berasal dari dua kata Yunani, “paedo” yang artinya anak, dan “lalia” yang artinya bicara atau ucapan.
Pedolalia bukan berarti “anak yang salah ucap”, tetapi lebih mengacu pada seseorang yang mempertahankan atau meniru gaya bicara kekanak-kanakan di luar usia yang sesuai.
Sebagian besar kasus pedolalia muncul dalam konteks gangguan perkembangan neurologis, salah satu yang paling dikenal adalah Tourette Syndrome. Pada kondisi tersebut, pedolalia muncul sebagai bentuk kelatahan vokal, semacam repetisi pola bicara yang tidak disadari, termasuk melafalkan kata dengan cara yang tidak lazim atau bernada kekanak-kanakan.
Namun, penting juga untuk dipahami, bahwa tidak semua anak yang cadel atau salah ucap dikategorikan memiliki pedolalia. Pada usia 2 sampai 6 tahun, anak-anak memang berada pada fase perkembangan fonologis, sehingga kesalahan artikulasi merupakan hal yang wajar.
Quote:
Mengapa Fenomena “Cayul” Atau “Eyul” Terjadi?
Ketika anak menyebut “sayur sebagai “cayul”, atau “telur” sebagai “eyul”, fenomena itu sebenarnya berkaitan dengan dua hal utama:
1. Perkembangan Fonologi yang Belum Matang
Anak-anak belum sepenuhnya menguasai koordinasi lidah, bibir, dan rahang untuk menghasilkan bunyi bahasa yang kompleks. Beberapa konsonan seperti /s/, /r/, dan /l/ termasuk yang paling sulit dikuasai.
Akibatnya, anak mungkin:
1. Mengganti bunyi sulit dengan bunyi yang lebih mudah.
2. Menyederhanakan struktur kata.
3. Menghilangkan konsonan tertentu.
Fenomena ini sangat normal, dan biasanya hilang seiring usia.
2. Kebiasaan yang Tetap Terbawa
Jika pola bicara kekanak-kanakan dibiarkan tanpa koreksi, sebagian anak cenderung mempertahankannya sampai tumbuh dewasa. Apa yang awalnya merupakan perkembangan normal, bisa berubah menjadi kebiasaan.
Masalah inilah yang kadang disalahpahami sebagai pedolalia, meskipun sebenarnya belum tentu termasuk gangguan.
Quote:
Pedolalia Dalam Konteks Klinis
Dalam dunia medis dan psikologi, pedolalia biasanya muncul sebagai gejala dari kondisi tertentu, misalnya:
1. Tourette Syndrome
Penelitian neurologi mencatat bahwa penderita Tourette dapat mengalami kelatahan vokal, seperti ekolalia (menirukan kata orang lain), koprolalia (mengucapkan kata-kata jorok), dan pedolalia (pola ucapan cadel seperti anak balita).
Pedolalia pada sindrom Tourette bukan kesengajaan, melainkan bagian dari impuls motorik dan vokal yang tidak bisa ditahan.
2. Autism Spectrum Disorder (ASD)
Pada beberapa anak dan remaja penyandang ASD, pola bicara dapat tetap terdengar kekanak-kanakan. Hal ini bisa berkaitan dengan keterlambatan perkembangan bahasa, kurangnya kemampuan meniru cara bicara dewasa, dan regulasi emosi yang sangat sulit untuk matang.
Dalam kasus tertentu, suara yang dibuat terdengar seperti suara bayi, meskipun usia sudah remaja atau dewasa.
3. Gangguan Kepribadian atau Trauma Emosional
Beberapa literatur mencatat pedolalia dapat muncul pada individu yang mengalami trauma masa kecil atau gangguan kepribadian tertentu, sebagai bentuk regresi perkembangan psikologis. Ini jarang terjadi, tetapi tercatat dalam beberapa laporan klinis.
Quote:
Apakah Pedolalia Berbahaya?
Pedolalia tidak berbahaya dalam artian fisik, tetapi berpotensi memengaruhi kualitas interaksi sosial, terutama jika bertahan hingga usia dewasa.
Beberapa konsekuensinya, antara lain:
1. Tidak dianggap serius dalam percakapan profesional (dianggap bercanda sok imut).
2. Sulit berkomunikasi secara efektif.
3. Berpotensi menjadi bahan ejekan atau perundungan.
Pada anak-anak, kondisi yang mirip pedolalia tetapi bukan gangguan seringkali hanya membutuhkan intervensi ringan, seperti terapi wicara atau kebiasaan berbicara yang baik di rumah.
Quote:
Bagaimana Cara Membedakan Antara Pedolalia Dan Bahasa Bayi Normal?
Untuk membedakannya, perhatikan faktor-faktor berikut:
1. Usia
1) Usia 2 sampai 6 tahun: Bahasa bayi adalah bagian dari perkembangan yang normal.
2) Usia di atas 7 tahun: Kesalahan artikulasi yang menetap adalah tanda bahaya yang perlu dievaluasi.
2. Kesadaran Diri
Anak yang normal dan tidak mengalami gangguan perkembangan bisa memperbaiki ucapannya jika diajari secara terus-menerus. Pedolalia itu tidak mudah dikendalikan, dan sering tidak disadari oleh anak.
3. Konteks
Jika salah ucap terjadi hanya saat bercanda itu bukan pedolalia. Namun, jika muncul berulang dalam situasi formal, itu adalah pertanda serius yang memerlukan evaluasi.
4. Kehadiran Gejala Lain
Jika anak juga mengalami latah motorik, ekolalia, atau keterlambatan perkembangan sosial, pedolalia dapat menjadi indikator gangguan neuropsikiatri.
Quote:
Peranan Orang Tua Dan Lingkungan
Peran keluarga sangat penting dalam membantu perkembangan bahasa anak. Beberapa langkah yang direkomendasikan pakar, antara lain:
1. Beri Teladan Bicara Yang Baik
Hindari menirukan ucapan anak yang salah, seperti ikut mengatakan “cayul” karena terdengar lucu, karena anak bisa meniru apa yang mereka dengar.
2. Perbaiki Dengan Cara Yang Tidak Menghakimi
Katakan, “Oh, kamu mau makan sayur, ya?” tanpa memberi kesan bahwa anak salah atau bodoh.
3. Latihan Bunyi
Ajari anak untuk melakukan latihan sederhana, seperti membaca buku cerita anak, menyebut nama benda, atau permainan bunyi huruf.
4. Konsultasi Dengan Terapis Wicara
Jika pedolalia tidak kunjung membaik setelah usia sekolah, evaluasi profesional sangat diperlukan.
Quote:
Apakah Orang Dewasa Bisa Mengalami Pedolalia?
Jawabannya, bisa, meskipun jarang sekali. Beberapa kasus pedolalia pada orang dewasa terjadi akibat:
1) Tourette Syndrome yang bertahan hingga dewasa.
2) Gangguan kepribadian.
3) Trauma psikologis.
4) Regresi perkembangan mental karena stres berat.
Namun, kebanyakan orang dewasa yang masih berbicara seperti anak-anak sebenarnya tidak mengalami pedolalia, melainkan karena kebiasaan masa kecil yang tidak dikoreksi, aksen bahasa daerah, atau yang lebih serius adalah gangguan saraf, seperti disartria atau apraksia.
Quote:
KESIMPULAN
Pedolalia adalah salah satu fenomena linguistik dan psikologis yang menarik. Meskipun istilah ini terdengar aneh, istilah ini membantu kita untuk memahami bahwa pola bicara kekanak-kanakan tidak selalu sekadar tentang lucunya bahasa anak balita.
Fenomena “sayur menjadi cayul” pada anak usia dini merupakan bagian normal dari perkembangan bahasa anak kecil. Namun, jika masalah ini menetap jauh melampaui usia yang seharusnya, atau muncul bersama gejala gangguan perkembangan lainnya, evaluasi dari tenaga medis profesional dapat membantu.
Sebagai orang dewasa, kita dapat membantu dengan cara sederhana untuk memberikan contoh bahasa yang baik kepada anak-anak, tidak mengejek, dan mendukung perkembangan komunikasi anak sejak dini.
Quote:
SUMBER
American Psychiatric Association. (2022).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed., text rev.). American Psychiatric Publishing.
Barkley, R. A. (2015).
Attention-Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis and Treatment (4th ed.). Guilford Press.
Cohen, D. J., Jankovic, J., & Goetz, C. G. (2013).
Tourette Syndrome and Tic Disorders: Clinical Understanding and Treatment. John Wiley & Sons.
Paul, R., & Norbury, C. F. (2012).
Language Disorders from Infancy Through Adolescence (4th ed.). Elsevier.
Shriberg, L. D., & Kwiatkowski, J. (1994). Developmental phonological disorders. In J. Bernthal & N. Bankson (Eds.),
Child Phonology: Characteristics, Assessment, and Intervention (pp. 87–118). Mosby.
Tager-Flusberg, H., Paul, R., & Lord, C. (2005). Language and communication in autism. In F. Volkmar et al. (Eds.),
Handbook of Autism and Developmental Disorders (3rd ed., pp. 335–364). Wiley.
@itkgid @siloh @sapiontel