- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[CERPEN HOROR] Sarti dan Hantu Penggundul
TS
aurora..
[CERPEN HOROR] Sarti dan Hantu Penggundul
![[CERPEN HOROR] Sarti dan Hantu Penggundul](https://s.kaskus.id/images/2025/12/02/9481769_20251202024547.png)
Sumber Gambar:Artificial Intelligence
Sejak 10 tahun yang lalu, warga Kampung Delima hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bukan oleh pencuri, bukan oleh binatang buas, bukan pula oleh isu-isu politik atau agama yang sering memecah belah warga. Melainkan, oleh sesuatu yang tidak kasat mata, sebuah teror hantu yang hanya menyasar anak-anak nakal, entah laki-laki atau perempuan.
Setiap kali ada anak di bawah 15 tahun yang ketahuan berbuat iseng, jahil, atau nakal, keesokan paginya rambut di kepala sang anak selalu hilang. Tidak gundul licin seperti dicukur dengan pisau cukur, tetapi menyisakan rambut sekitar 0,2 cm, rapi seperti hasil potongan rambut di tempat cukur mahal, hanya saja tidak ada siapa pun yang melakukannya.
Lebih menyeramkan lagi, tidak pernah ditemukan sehelai pun rambut di bantal, kasur, lantai, atau tempat tidur mereka. Seolah-olah, proses menggunduli kepala itu terjadi dengan cara yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia.
Warga kampung menyebut sosok tidak terlihat itu sebagai Hantu Penggundul, dan kisah penghuni kampung tentang makhluk tersebut selalu disampaikan dengan suara bergetar dan mata melirik ke sudut-sudut gelap rumah.
***
Pagi itu, Sarti, perempuan renta berusia 65 tahun, menjaga warung kecil di teras rumahnya. Warung itu sederhana, hanya ada rak kayu, toples-toples kerupuk, dan beberapa bungkus deterjen sachet yang digantung pada gantungan tali rafia.
Di saku kebaya katunnya, Sarti menyimpan satu lembar uang 100 ribu rupiah. Uang itulah modalnya untuk belanja kebutuhan warung di pasar nanti sore.
Namun, saat Sarti hendak meraba sakunya lagi, uang itu tidak ada.
“Lho, kok hilang?” gumam Sarti, sambil menepuk-nepuk seluruh tubuhnya
Uang itu tidak ada. Uang itu sudah lenyap.
Sarti menatap ke sekitar, dan tepat saat itu, wanita itu melihat cucunya, Doni, anak berumur 10 tahun dengan mata besar polos dan rambut tebal yang selalu acak-acakan, sedang berlari masuk ke kamarnya sambil menutup pintu pelan-pelan.
“Doni, sini sebentar.” panggil Sarti
Doni muncul, sambil pura-pura menguap.
“Ada apa, Eyang?” tanya Doni
Sarti menatap cucunya dengan tatapan yang sudah melihat banyak kelicikan anak kecil zaman sekarang.
“Kamu lihat uangnya Eyang? Yang warna merah itu, yang seratus ribu?” tanya Sarti
Doni langsung menggeleng cepat.
“Aku nggak lihat. Beneran.” jawab Doni
Namun, gerakan tangann Doni yang ia sembunyikan di belakang badannya membuat Sarti curiga.
“Doni, jangan bohong sama Eyang.” ucap Sarti dengan nada mengintimidasi
Anak itu akhirnya menunduk.
“Aku cuma ingin lihat uangnya, Eyang. Aku cuma penasaran. Bukan mau mencuri beneran. Nanti aku pasti balikin uangnya.” ucap Doni
Sarti menghela napasnya panjang.
“Doni, itu uang buat belanja Eyang di pasar. Kamu itu masih kecil, jangan ngambil uang nggak bilang-bilang.”
Doni terdiam. Doni bukan anak yang jahat, hanya impulsif dan terlalu penasaran pada benda-benda yang tidak boleh disentuh.
Sarti menangis lirih di dapur. Bukan karena uang itu tidak bisa kembali, melainkan karena ia takut Doni akan terkena teror yang sudah merenggut ketenangan banyak anak kecil di Kampung Delima.
Hantu Penggundul tidak pernah pilih-pilih. Siapa pun anak nakal yang mencuri, berbohong, atau melakukan tindakan yang tidak baik, pasti jadi target.
Namun, Sarti sama sekali tidak menyangka, bahwa keesokan paginya ketakutannya akan menjadi kenyataan.
***
“Eyang!!! Papa!!!”
Suara teriakan Doni memecah suasana pagi. Sarti, yang masih menuangkan air untuk membuat kopi, seketika tersentak. Arman, putra sulung Sarti, bergegas keluar dari kamarnya.
“Kenapa, sayang?” tanya Sarti
Anak itu berdiri gemetar, sambil memegangi kepalanya. Matanya membesar, bibirnya pucat.
“Tolong!! Tolong!! Kepalaku gundul!!”
Sarti dan Arman saling pandang sebelum menatap kepala Doni, dan mereka membeku.
Rambut Doni hilang. Tidak gundul licin, tetapi masih ada sisa rambut sepanjang 0,2 cm yang merata, seperti dicukur dengan mesin cukur elektrik. Tidak ada luka cukur, tidak ada iritasi kulit kepala. Rambut Doni hanya tercukur secara misterius dan aneh.
“Doni sayang! Kepala kamu dicukur sama siapa semalaman?!” tanya Arman dengan nada setengah panik
“Aku juga nggak tahu, Pa! Aku tidur! Aku bangun tidur tahu-tahu sudah begini! Papa ya, yang gundulin aku? Atau Eyang? Papa sama Eyang marah, ya, karena aku nakal kemarin?!”
“Sumpah demi Allah, Papa nggak mungkin gundulin kepala kamu!” seru Arman
Sarti ikut menggeleng.
“Eyang juga nggak nyukur kepalamu, Doni.” ucap Sarti
Arman dan Sarti memeriksa kasur Doni.
Tidak ada satu pun helaian rambut. Tidak ada bekas cukuran. Kamar Doni juga semalam dikunci dari dalam dan jendelanya juga tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda orang masuk.
Arman berusaha menghubungkan logika, tetapi Sarti tidak. Wanita tua itu tahu betul apa yang sudah terjadi, bahwa Hantu Penggundul datang lagi.
***
Hari itu, sore menjelang maghrib, Sarti sedang duduk di teras rumah. Sarti merasa bersalah, karena Doni menjadi korban akibat kelalaian seorang nenek.
Tiba-tiba, terdengar suara desiran angin yang tidak biasa. Udara terasa berat. Lampu teras berkedip-kedip.
Sarti mengangkat kepalanya, dan saat itu, Sarti melihatnya.
Ada sesosok pria berjubah hijau berdiri di bawah pohon jambu. Wajahnya hancur, dengan kulit di bagian kanan wajah terkelupas parah, dan bagian kiri wajah retak seperti kaca pecah. Mata kirinya terkulai, dan rambutnya tidak ada, menyisakan 0,2 cm helaian pendek, seperti rambut anak-anak kampung yang gundul secara misterius.
Sarti menutup mulutnya, berusaha menahan histeria.
“Jangan takut…”
Suara makhluk itu serak, seperti suara seseorang yang berbicara dari dalam sunur.
“Namaku Hantu Penggundul.”
Tubuh Sarti gemetar.
“Kenapa kamu tega membuat cucuku jadi gundul?” tanya Sarti
Pria itu menghela napas panjang. Angin di sekitarnya ikut berdesir.
“Aku tidak bermaksud jahat kepada anak-anak. Aku cuma menghukum anak-anak nakal seperti anakku dulu.”
“Anak kamu?” bisik Sarti dengan ketakutan
Pria itu menatapnya dengan mata berkabut.
“Aku dulu seorang ayah biasa, hidup bahagia dengan putriku, Rena. Waktu Rena berumur 13 tahun, Rena berubah jadi anak yang nakal. Tertawa saat mencuri, puas saat menyakiti orang lain, dan nggak pernah mau mendengarkan aku.” jelas hantu itu
Suaranya semakin serak, perlahan berubah menjadi seperti raungan.
“Suatu hari, Rena membuat kenakalan yang sangat besar dan mematikan.”
Hantu itu mengangkat tangannya, menunjukkan luka memar yang membiru.
“Rena membuat jebakan di tangga untuk neneknya, tapi aku yang menginjaknya. Aku jatuh dari tangga dan mati seketika.”
Sarti tertegun, seketika merinding.
“Sejak saat itu,” lanjut hantu itu
“Aku gentayangan untuk mengingatkan anak-anak kampung biar nggak seperti anakku. Aku memang nggak menyakiti anak kecil, aku cuma mencukur rambut biar anak-anak itu ingat kalau semua perbuatan jahat ada konsekuensinya.”
Namun, suaranya melemah.
“Aku capek… capek banget…”
Sarti merasakan sesuatu. Di balik kengerian sosok itu, ada kelelahan emosional yang sangat dalam. Kelelahan batin seorang ayah yang gagal menolong putrinya sendiri.
“Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Sarti
“Aku ingin bebas. Aku ingin berhenti gentayangan di kampung ini.”
***
Malam itu, Sarti membakar 7 batang kemenyan, lalu meletakkannya di piring besi tua. Asapnya menari di udara, memenuhi ruang tamu dengan bau yang menusuk namun menenangkan.
Doni dan Arman berada di kamar, dilarang keluar, karena ini bukan urusan manusia biasa.
Sosok berjubah hijau duduk di tengah ruangan, menunduk.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Sarti
“Kenang aku sebagai ayah. Bukan sebagai hantu,” jawab hantu itu lirih
Sarti menutup mata, lalu ia membaca doa-doa yang ia pelajari dari ibunya puluhan tahun yang lalu, doa untuk menenangkan roh orang yang gelisah.
Dengan suara yang bergetar, Sarti memanggil nama sosok itu.
“Siapa nama kamu waktu masih hidup?”
“Arazel…” jawab hantu itu lirih
Sarti memanggil nama itu berulang kali, memintanya kembali pada kedamaian, membebaskannya dari dendam dan rasa bersalah.
Angin di dalam rumah berputar. Lampu berkedip. Kemenyan terbakar lebih cepat, asapnya berputar membentuk lingkaran.
Sosok Arazel menegakkan tubuhnya perlahan.
“Sarti, terima kasih, ya.”
Tubuh Arazel mulai tembus pandang, wajah hancurnya perlahan kembali utuh. Pada detik terakhir sebelum menghilang, hantu itu tersenyum, sebuah senyuman yang menenangkan.
“Tolong lindungi anak-anak di kampung ini.”
Lalu, arwah Arazel lenyap, hanya meninggalkan keheningan yang sangat panjang.
***
Keesokan harinya, kabar baik tersebar di seluruh Kampung Delima, bahwa tidak ada lagi anak kecil yang kepalanya gundul secara misterius.
Seminggu berlalu, lalu dua minggu, lalu satu bulan, dan seterusnya tidak ada teror baru. Anak-anak bisa bermain dengan bebas tanpa takut bangun dalam keadaan berkepala gundul.
Doni pun mulai berubah. Anak itu menjadi lebih hati-hati, lebih sopan, dan tidak lagi impulsif. Pengalaman digunduli membuatnya jera, tetapi juga membuatnya mengerti.
Suatu sore, Doni duduk di samping Sarti.
“Eyang, Hantu Penggundul itu jahat nggak sih?”
Sarti tersenyum lembut.
“Nggak, sayang. Hantunya itu cuma capek, dan nggak tahu cara untuk memperbaiki semuanya.” jawab Sarti
Doni mengangguk pelan.
“Aku janji nggak nakal lagi.” ucap Doni dengan penuh tekad
Sarti mengelus pelan kepala cucunya, kepala simetris yang pelan-pelan kembali ditumbuhi helaian rambut baru yang hitam, tebal, dan sehat.
Dalam hatinya, Sarti berbisik.
“Semoga kamu tenang di sana, Arazel. Anak-anak kampung jadi lebih baik gara-gara kamu.”
Dan sejak hari itu, Kampung Delima hidup dengan tenang. Tidak ada lagi rambut anak kecil yang tercukur secara misterius.
Hantu Penggundul telah pergi, kembali ke kedamaian yang selama bertahun-tahun pria itu cari.
TAMAT
Araka dan 7 lainnya memberi reputasi
8
177
12
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan