Sebagai orang Indonesia, pasti sudah tidak asing dengan budaya tawar menawar, kan?

Sebuah budaya yang jadi denyut nadi masyarakat Indonesia, terutama di pasar-pasar tradisional. Dulu, makin banyak seseorang bisa menawar harga, semakin keren orang tersebut di mata teman-temannya. Namun, seiring dengan makin modernnya aktivitas jual beli, makin jarang pula budaya tawar menawar bisa ditemukan di masyarakat.

Jadi haruskah budaya ini dihilangkan?

Saya pribadi menganggap budaya ini sudah seharusnya dimusnahkan, terutama jika dipraktikkan ke pedagang kecil yang mengambil keuntungan minim dari barang dagangannya.

Memang, dibeberapa kasus, kegiatan tawar-menawar justru menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Contohnya budaya tawar menawar di Pasar Malioboro, Yogyakarta. Banyak turis, baik itu lokal maupun mancanegara, yang sengaja berbelanja di pasar tersebut untuk menikmati sensasi bisa menawar barang. Dan karena itu adalah tempat wisata, dengan perputaran yang cepat, dan mark-up harga yang tinggi, menurut saya budaya tawar menawar disana patut dilestarikan untuk menjaga keunikan Pasar Malioboro.

Namun, mayoritas orang, terutama pedagang tidak nyaman dengan praktek ini. Tawar-menawar tidak hanya menghabiskan waktu penjual, membuat lelah, dan tidak jarang menguji kesabaran, tapi juga membuka celah untuk praktek yang tidak adil. Ada kalanya pembeli menawar harga terlampau rendah, yang membuat pedagang merugi. Tidak jarang juga penjual menembak harga terlalu tinggi di bandingkan harga pasarannya, membuat harga untuk barang yang sama tidak stabil. Akibatnya, kepercayaan konsumen terhadap penjual menjadi rusak.

Intinya, budaya tawar menawar bukanlah budaya yang buruk, dengan catatan dilakukan di tempat yang tepat.