Kaskus

Story

mangdana1984Avatar border
TS
mangdana1984
OETARI, ISTRI PERTAMA SOEKARNO
Dunia Siti Oetari, enam belas tahun, menyusut menjadi satu aroma: bau tajam minyak kayu putih.
 
Bau itu menusuk, menempel seperti kutukan di pori-pori kain kebayanya, meresap di bantal yang ia gunakan untuk tidur, dan bahkan, ia yakin, telah mendarah daging dalam napasnya sendiri. Itu adalah bau penyakit. Bau sebuah takdir yang dingin. Bau kamar ibunya.
 
Setiap pagi, sebelum matahari Surabaya sempat membakar halaman dengan teriknya, Oetari sudah bangun. Ia akan mengambil air bersih di sumur, membasuh kain kompres, dan memerasnya dengan tangan yang terasa terlalu kecil untuk tugas itu. Lalu ia akan duduk di kursi kayu di samping ranjang.
 
Ibunya, Suharsikin, terbaring di sana. Selalu.
 
Napasnya terdengar dangkal, diselingi batuk kering yang menyayat, seperti gesekan pisau di hati. Tubuhnya yang dulu berisi kini hanya tinggal tulang berbalut kulit pucat. Mata yang dulu selalu tertawa itu kini lebih sering terpejam, menghindari dunia.
 
"Lak..."
 
Suara ibunya lirih, nyaris tak terdengar, sehelai daun yang jatuh.
 
"Oetari di sini, Ibu," bisik Oetari, mengusapkan kain basah itu ke dahi ibunya. "Minum obat, nggih?"
 
Itulah dunianya. Ritual hening yang diulang-ulang. Obat, kompres, bubur, dan doa dalam hati yang dipenuhi ketakutan yang merayap.
 
Ada aroma lain di rumah Peneleh itu, tentu saja.
 
Aroma kopi kental, tembakau kretek yang pekat, dan keringat puluhan laki-laki yang berdebat, menumpuk di udara. Itu adalah bau pergerakan. Bau ayahnya, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Bau ruang depan, dapur ideologi.
 
Tapi dua aroma itu—minyak kayu putih dan tembakau—tidak pernah bercampur. Mereka adalah dua kutub yang terpisah. Mereka dipisahkan oleh lorong kayu temaram yang kini terasa seperti perbatasan dua negara yang berperang. Dunia Oetari ada di belakang, dunia duka. Dunia ayahnya ada di depan, dunia api.
 
Dan pagi ini, dunia di ruang depan terdengar lebih berisik dari biasanya, lebih berapi-api.
 
"TIDAK BİSA! KİTA TİDAK BİSA MERDEKA DENGAN MENGEMİS! KİTA HARUS REBUT!"
 
Suara itu. Menggelegar, seperti petir yang menyambar tiang bendera. Kerasnya membuat gelas obat di nakas Oetari bergetar.
 
Ibunya tersentak pelan dalam tidurnya, keningnya berkerut cemas.
 
Oetari menghela napas, setengah jengkel.
 
Itu suara Mas Karno.
 
Kusno Sosrodihardjo. Soekarno. Pemuda dua puluh tahun yang kos di rumah mereka. Murid kesayangan ayahnya, paling cerdas, paling berani, dan paling berisik.
 
Bagi Oetari, Soekarno adalah sebuah "gangguan" yang mengagumkan. Dia adalah kakak yang sering menggodanya, yang kadang membawakan oleh-oleh gula-gula jahe dari pasar. Tapi di saat lain, dia adalah orator yang seolah dirasuki api, nabi yang baru turun dari gunung. Pria yang berbicara tentang hal-hal yang tidak Oetari pahami: Marxisme, Imperialisme, Hindia.
 
Kata-kata besar. Kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan demam yang tak kunjung turun.
 
"Kemerdekaan adalah jembatan emas!" suara itu berteriak lagi. "Dan di seberang jembatan itulah kita..."
 
BRUKK!
 
Soekarno pasti menggebrak meja. Lagi.
 
Oetari memejamkan mata, mencoba mengabaikannya, memfokuskan diri pada ritme napas ibunya. Ia mengambil mangkuk bubur yang sudah mendingin.
 
"Ibu, makan sedikit, nggih?"
 
Suharsikin menggeleng lemah.
 
Oetari merasa matanya memanas. Ketakutan itu datang lagi, merayap di tenggorokannya seperti ulat. Ia harus memanggil ayahnya. Ayahnya pasti tahu cara membujuk Ibu.
 
Dengan langkah pelan, Oetari keluar dari kamar. Bau minyak kayu putih itu seketika berganti dengan bau asap rokok yang pekat. Semakin ia melangkah menyusuri lorong, suara-suara itu semakin jelas, semakin mendominasi.
 
Ia berhenti di ambang pintu ruang depan, bersembunyi di balik bayangan, batas antara dua realitas.
 
Ruangan itu penuh. Ayahnya duduk di kursi rotan utama, matanya terpejam, mendengarkan dengan khusyuk, seperti pendeta yang menerima wahyu. Di sekelilingnya, pemuda-pemuda lain duduk di lantai.
 
Kecuali satu.
 
Soekarno berdiri di tengah ruangan. Kemeja putihnya basah oleh keringat, lengannya digulung. Dia tidak sedang berbicara. Dia sedang—Oetari tidak tahu kata yang tepat—meledakkan gunung berapi.
 
"Mereka,"—Soekarno menunjuk ke luar jendela, ke arah jalanan tempat para serdadu Belanda biasa lewat—"Mereka tidak akan memberikan apa pun secara sukarela! Kekuasaan harus direnggut, bukan diminta!"
 
Matanya... ya Tuhan, matanya.
 
Oetari sering melihat mata Mas Karno. Tapi mata yang ini berbeda. Bukan mata kakak yang jenaka. Mata itu terbakar. Ada api di dalamnya, api yang seolah bisa melahap seluruh ruangan, mengubahnya menjadi abu.
 
Dia berbicara tentang "Hindia", tentang "Kaum Jelata", tentang "Masa Depan."
 
Oetari hanya memikirkan "obat," "kompres," dan "napas."
 
Dua dunia itu menatapnya, dan Oetari merasa begitu kecil, begitu tidak penting, sehelai debu di tengah badai.
 
Tiba-tiba, dari kamar belakang, terdengar suara batuk yang keras. Batuk yang menyakitkan, panjang, dan diakhiri dengan suara tercekat yang mengerikan, seperti jeritan yang dipaksa bungkam.
 
Dunia Oetari kembali.
 
"Ibu!" pekiknya.
 
Semua perdebatan di ruang depan langsung berhenti. Musik yang menggelegar itu seolah diputus paksa.
 
Oetari berbalik dan berlari. "Bapak! Bapak, Ibu..."
 
Ia mendengar ayahnya berseru panik di belakangnya. Ia mendengar derit kursi dan langkah kaki yang berlarian.
 
Oetari sampai di kamar, tangannya gemetar. Ibunya berusaha duduk, wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal-sengal, mencari udara yang menipis.
 
"Lak... sakit..."
 
"Iya, Ibu, iya..." Oetari panik, tidak tahu harus berbuat apa.
 
"Oetari, beri jalan." Ayahnya masuk, wajahnya pias, segera memeluk Suharsikin, mencoba menenangkannya.
 
Tapi bukan hanya ayahnya yang datang.
 
Di ambang pintu, terengah-engah, berdiri Soekarno.
 
Api di matanya telah padam. Lenyap. Yang tersisa hanyalah kekagetan dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang Oetari tidak mengerti.
 
Dia menatap Suharsikin yang rapuh, lalu dia menatap Oetari, yang berdiri gemetar dengan mangkuk bubur di tangan. Dia melihat ketakutan di mata gadis itu.
 
Soekarno terdiam. Sang orator ulung itu kehabisan kata-kata, lidahnya kelu. Dia, yang baru saja berbicara tentang mengguncang dunia, kini terdiam membisu di depan pemandangan duka domestik yang sederhana namun brutal.
 
Dia melangkah maju sedikit.
 
"Butuh bantuan... Nduk?" tanyanya.
 
Suaranya, yang tadi menggetarkan rumah, kini terdengar pelan dan canggung, sebuah bisikan yang kalah oleh keheningan.
 
Oetari, dalam kepanikannya, hanya bisa menggelengkan kepala.
 
Soekarno tidak pergi. Dia hanya berdiri di sana, di ambang pintu kamar yang berbau minyak kayu putih itu. Seorang pemuda berapi-api yang terdiam di perbatasan dua dunia: idealisme dan realitas duka.
 
Oetari merasakan tatapannya. Tatapan itu tidak lagi memandangi sebagai adik kecil yang bisa digoda. Itu adalah tatapan yang intens, penuh perhatian. Sebuah simpati yang begitu pekat, hingga rasanya Oetari bisa menyentuhnya.
 
Tatapan itu membuatnya lebih gugup daripada semua teriakannya tadi.
 
Terusannya ada di KBM App, cari saja judul BUNG KARNO DAN 9 ISTRINYA

OETARI, ISTRI PERTAMA SOEKARNO

bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
255
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan