Kaskus

Story

chamelemonAvatar border
TS
chamelemon
Tsunami Aceh In Memorial
Tsunami Aceh In Memorial



Kisah singkat ini dituturkan langsung oleh Mas Arya Sena. Sebagai pengingat kejadian yang sudah terjadi 21 tahun silam, ketika beliau menjadi bagian dari Tim SAR. Sebagai wujud dukungan ane kepada beliau, maka ane menuliskan kembali apa yang sudah beliau sampaikan dengan sedikit saduran, tentunya dengan ijin dari beliau langsung.

Berikut kisahnya….

Cerita singkat ini adalah pengalamanku saat Tragedi Tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, 28 Desember 2004 sampai 25 February 2005.

Akhirnya, roda-roda pesawat pun telah menyentuh bumi. Waktu-waktu yang menegangkan telah berlalu. Kami semua selamat dan bisa menginjakkan kaki di bumi Nanggroe Aceh Darussalam.

Masih terbayang jelas di benakku, bagaimana pesawat yang kami tumpangi dihajar habis-habisan oleh hujan dan angin yang mengamuk bersama gemuruh halilintar. Kilatan cahaya petir terus menyambar dari kiri dan kanan badan pesawat. Burung besi ini bergetar hebat. Turun naik mengikuti gemuruh badai yang tiada henti. Guncangan hebat akibat turbulensi membuat jantung ini terasa pindah kedalam lubang sempit ukuran badan sendiri. Pikiran dan hati berantakan. Saat itu, sudah tak karu-karuan lagi rasanya.

Entah pucat atau tidak, yang jelas dalam situasi genting ini, hanya lafadz Allah yang berkumandang didalam hati ini. Sesekali, kugenggam erat foto putraku dan melirik kearah jendela pesawat. Suara gaduh panik dari beberapa penumpang, membuat situasi benar-benar mencekam. Alam benar-benar menunjukan keperkasaannya.

Memasuki Banda Aceh, barulah situasi tegang menemui titik tenang. Pesawat telah keluar dari lingkar badai dan terbang normal menuju landing zone Blang Bintang.. Alhamdulilah, semua kejadian horor itu tidak ditakdirkan untuk menambah korban baru di tanah Nanggroe.

Selasa sore, 28 Desember 2004.

Suasana di Blang Bintang nampak temaram. Carut marut orang-orang berlalu lalang bercampur udara berbau garam dan amisnya darah membuat ketegangan menggantung di udara. Langkahku sedikit bergetar.

“Ini masih dibandara?” Tanyaku di dalam hati.

“Hmm… bagaimana diareal yang terdampak langsung gelombang Tsunami?” Kembali aku bertanya dalam hati.

Bersama seorang rekan, kaki ini melangkah gontai menuju pintu keluar. Diluar bandara, suasana sangat ramai. Wajah-wajah duka menatapku silih berganti. Tatapan mereka hampa dan kosong, sebagaimana malam yang semakin dingin dan semakin larut menyelimuti kesedihan di Naggroe Aceh Darussalam.

Belum selesai rokok sebatang, kendaraan yang menjemput untuk mencapai lokasi BC pun akhirnya tiba. Satu-persatu, bangku-bangku kosong kami isi bersama lamunan. Roda-roda Elf mulai bergulir meninggalkan bandara yang terang-benderang. Tak ada cahaya, apalagi lampu yang menyinari jalan. Hanya ketegangan demi ketegangan yang datang menyelimuti malam.

Sebelumnya, Jum’at 26 Desember 2004…

Gempa dan Tsunami telah mengguncang dan melumat habis tanah Rencong hingga hancur berantakan.

Tsunami Aceh In Memorial


Sepanjang jalan, tak ada manusia satupun. Hanya kendaraan militer dan relawan yang satu-dua melintas, membelah malam gelap tak bertuan. Sesekali, mataku menangkap kilatan cahaya kantung-kantung jenazah yang berjajar dipinggir jalan. Warna terang dari kantung tersebut nampak seperti ratusan pelita dari alam ruh yang membuat bulu kuduk bergidik tebal. Aceh benar-benar berduka. Puluhan ribu warganya telah berpulang secara massal tanpa sempat terpikirkan.

Lebih kurang 20 menit membelah kesunyian Kuta Raja, akhirnya kami tiba di Simpang Pasir. Adalah sebuah ruko yang dijadikan BC (Base Camp) untuk 3 bulan kedepan. Di ruko ini, kami bisa bernafas lega walaupun gelap gulita dan ketegangan tetap menggantung. Situasinya jauh lebih nyaman. Area ini bukanlah zona merah bencana yang penuh dengan aroma amis dengan jejeran kantung jenazah. Bergegas kami turunkan barang bawaan, lalu masuk ruko tanpa banyak bicara. Di dalam ruko, ternyata ada sekitar 3 KK pengungsi. Setelah beramah tamah dan berkenalan, sebagian diantara kami langsung beristirahat.

Hmm…

Disaat semua masih tersadar, keadaan baik-baik saja, tetapi setelah satu-persatu mulai angkat selimut dan memejamkan mata, suasana berubah drastis. Lolongan anjing yang bersahut-sahutan serta suara erangan dan teriakan dari kejauhan lapat-lapat terdengar bersama lolongan anjing yang semakin menggidikan. Entah yang lain mendengar atau tidak, atau mendengar tapi pura-pura tidur didalam kegelisan, yang jelas malam itu terasa sangat panjang dan menegangkan. Banda Aceh telah berubah menjadi
kota hantu yang penuh misteri disaat gelap datang menyelimutinya.

Sekitar pukul 05 pagi….

Sebagian dari kita telah bangun dari tidur yang tidak nyaman. Di ufuk timur cahaya keemasan mulai menyinari tanah Nanggroe yang sedang berduka. Simpang pasir yang tadinya sunyi senyap bagai pekuburan, kini hidup kembali. Kicauan burung bercampur suara kendaraan mulai terdengar seliweran silih berganti. Malam telah berganti. Pagi ini udara segar bercampur bau amis yang samar-samar terbawa angin mulai mengisi hari.

Simpang Pasir atau Simpang Maut di Ulue Kareeng nampak biasa saja. Tak nampak adanya bekas air bah yang datang menghampiri. Hanya jalanan berdebu serta panas yang mulai menyengat kepala. Keadaan ini akan jauh berbeda dengan situasi yang segera kita jumpai, Kampung Mulya.

Kampung Mulya adalah sebuah kawasan elit di kota Banda Aceh yang akan menjadi lokasi pertama kami sambangi. Disinilah, kami melihat dengan mata kepala kami sendiri. Betapa dasyatnya Tsunami 3 hari yang lalu. Sepanjang jalan, kami hanya melihat kerusakan yang tiada tara. Mayat-mayat yang belum sempat diurus nampak bergelimpangan dimana-mana. Sisa air hujan atau mungkin sisa air laut yang datang menerjang masih nampak menggenang dibeberapa tempat.

Tak ada lagi udara segar, yang ada hanyalah bau amis busuk menusuk rongga hidung. Barisan kapal-kapal yang terbawa arus nampak menghiasi jalan berlumpur menuju lokasi. Kampung Mulya kawasan yang dahulu elok nan megah kini bagaikan sawah dengan ratusan jenazah yang bertebaran dimana-mana. Pemandangan mengerikan ini membuat kita sadar bahwa kita ini sungguh kecil dan tiada artinya dihadapan Allah SWT.

“Yaa Allah Tiada daya Dan Upaya Melainkan Hanya karena-Mu."

Setelah briefing singkat, kami bergerak sesuai dengan kapasitas didalam arahan. Kebetulan saat itu saya termasuk kedalam team cari dan bungkus. Jenazah yang ditemukan team pencari akan dimasukan kedalam kantung jenazah dan diletakan dipinggir jalan sebelum akhirnya dinaikan ke atas truck untuk dibawa ke pemakaman masal di daerah Lambaro. Entah berapa puluh atau berapa ratus jenazah yang kita dapatkan hari itu. Yang jelas, bau amis bercampur bau busuk yang menyengat adalah kesan pertama dari tantangan berat yang harus kami hadapi.

Hari itu, tak sedikit yang tumbang dan harus kembali ke basecamp karena kurang cepat beradaptasi terhadap situasi dan kondisi yang ekstrim ini. Bubuk kopi dan balsem adalah makanan wajib diawal awal penugasan. Alkohol 80 persen dan kapas adalah cemilan wajib yang tak bisa lepas dari paket bawaan.

Hari pertama yang berat segera berlalu. Matahari perlahan-lahan mulai beranjak pergi. Roda-roda truck pengangkut jenazah bergerak menuju ladang pemakaman massal. Aku dan beberapa orang yang ikut didalam tumpukan jenazah menikmati degupan jantung bersama hisapan rokok sepanjang perjalanan. Lepas magrib, kami tiba di Lambaro. Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu jenazah masih berserakan dimana-mana.

“Ya Allah, dimanakah aku berada? Mengapa pemandangan saat ini begitu mengerikan?”

Suasana mulai mencekam. Walaupun tidak sendirian, tetapi wajah-wajah gelisah mulai menghiasi senyum diantara obrolan.

“Ahh…, untunglah jemputan serta team medis segera datang.”

Tanpa basa-basi, kami segera meninggalkan truk dan kembali esok hari untuk menurunkan jenazah di lokasi yang ditetapkan. Setelah mandi dengan cairan pembersih lantai dan antiseptic, kami segera berkumpul dan melaporkan kegiatan hari ini. Perut terasa sangat lapar, tetapi bau menyengat didalam ingatan yang terekam bersama pandangan membuat badan ini terasa lemas. Lapar, tapi makan tak mau.

Tsunami Aceh In Memorial

Hari demi hari berlalu….

Rutinitas sebagai relawan tak banyak berubah. Lokasi demi lokasi, mayat demi mayat, kami sisir dan evakuasi semampu kami. Uang, emas serta harta benda berharga yang berceceran, kami kumpulkan dan kami serahkan kepada pihak-pihak yang berkompetent. Indra penciuman pun mengalami kekacauan system yang serius. Kami tak dapat lagi membedakan antara aroma jenazah dengan aroma makanan atau minuman. Semua beraroma sama. Belum lagi hal-hal yang sulit untuk dijelaskan dengan logika, kadang mengiringi jejak langkah kami.

Masih terekam jelas, bagaimana kami harus kemalaman didaerah Ulee Lheue bersama ratusan jenazah yang telah kami evakuasi sebelumnya. Saat itu, karena katerbatasan jumlah kendaraan, terpaksa kami yang telah dianggap senior harus ditinggalkan dulu untuk dijemput kembali.

Hmmm…, jujur, sebenarnya kami keberatan. Tetapi apa mau dikata, dengan sedikit keberanian yang tersisa, kami anggukan kepala. Suasana gelap mencekam, sulit sekali diceritakan. Tak ada cahaya, kecuali bara rokok kami sendiri. Suara-suara yang membuat bulu kuduk berdiri mulai terdengar.

Terbayang sesosok jenazah wanita yang tak bisa kami evakuasi di tengah rawa siang hari tadi. Bayangan tersebut semakin kuat menyatakan kehadirannya. Dengan suara lirih, dia menyapa dan bertanya mengapa tubuhnya tidak ikut dievakuasi. Tak karaun rasanya. Kejadian seperti ini memang bukan yang pertama, tetapi biasanya terjadi di areal basecamp sehingga suasana tidak terlalu mencekam. Dengan terbata-bata, seorang diantara kami meminta maaf dan berjanji esok pagi akan kembali dan mengurus jenazahnya. Hamparan kantung jenazah yang berbaris tak rapi dihadapan kami seakan ikut berbicara tentang kedasyatan ombak Tsunami yang menggulung mereka.

Malam semakin larut….

Jemputan yang dinanti tak kunjung datang, suasana mencekam akibat kejadian tadi, bertambah seram dengan lolongan anjing yang bersahut-sahutan. Sambil menghisap rokok, kami memecah ketegangan dengan terus berdoa. Sesekali, terdengar suara lonceng dan suara halus manusia membaca ayat-ayat suci Al Qur'an. Entah dari mana asalnya, sebab kami yakin, hanya kami ber-5 lah manusia hidup yang berada diareal itu pada saat kejadian.


Lama menunggu didalam kekalutan akhirnya terdengar suara kereta (motor) yang membelah kesunyian malam. Cahaya lampunya nampak seperti matahari
yang menyinari kegelisahan kami.

“Alhamdulliah.”

Mereka terlambat datang karena salah satu diantaranya mengalami pecah ban hingga harus mencari bengkel dan memperbaikinya. Bukan perkara mudah mencari bengkel didalam situasi saat itu. Karena itulah, mereka terpaksa balik arah ke pasar Lambaro dan kemudian baru kembali menuju Pantai Ulee Lheue.


Bercermin dari kejadian kemarin, maka schedule lapangan dirubah. Seluruh team operasi pencarian dan evakuasi jenazah dihentikan setiap jam 4 sore. Alhamdulillah, setelah 3 minggu berjibaku dengan lumpur dan jenazah, saya dan beberapa orang dipindahkan ke posko 85 di daerah Lhok-Nga.

Disini, tugas kami adalah membantu untuk merehabilitasi mental anak-anak yang tiba-tiba menjadi yatim piatu. Suasana ditempat ini jauh lebih nyaman, karena tidak lagi berurusan dengan lumpur dan jenazah, melainkan dengan para pengungsi dan orang-orang yang datang dari berbagai pelosok Dunia dan Nusantara.

Demikian.

Terima Kasih kepada para pembaca yang telah meluangkan waktu nya untuk  membaca sekelumit kisah Mas Arya Sena tersebut. Untuk bertanya atau mengetahui lebih lanjut peristiwa dan kisahnya, bisa menghubungi beliau langsung. Link tercantum.



Sumber : Original

Narasumber : Arya Sena

Diubah oleh chamelemon Kemarin 00:50
fevierbeeAvatar border
kenditzAvatar border
DhekazamaAvatar border
Dhekazama dan 4 lainnya memberi reputasi
5
114
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan