- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Unjuk Rasa di Nabire Suarakan Penghentian Segala Bentuk Militerisasi
TS
mabdulkarim
Unjuk Rasa di Nabire Suarakan Penghentian Segala Bentuk Militerisasi
Unjuk Rasa di Nabire Suarakan Penghentian Segala Bentuk Militerisasi hingga Pembubaran MRP

Senin, 10 Nov 2025 17:50 WIT
Tampilkan Caption
Play
Baca Berita
NABIRE, Seputarpapua.com | Solidaritas pelajar, mahasiswa, dan rakyat Papua yang tergabung dalam Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM WP) menggelar aksi unjuk rasa damai menolak militerisasi serta pembubaran Majelis Rakyat Papua (MRP).
Aksi tersebut berlangsung di Halaman Kantor MRP Provinsi Papua Tengah, Kabupaten Nabire, Senin (10/11/2025), sebagai bentuk protes terhadap meningkatnya aktivitas aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan yang dinilai merugikan masyarakat adat.
Koordinator lapangan aksi unjuk rasa ini, Yulianus Sanambani, dalam orasinya menyampaikan enam tuntutan utama. Pertama, meminta menghentikan segala bentuk militerisasi di seluruh tanah Papua. Kedua, menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang dinilai menimbulkan ekosida dan genosida terstruktur terhadap masyarakat setempat.[/]
Ketiga, mendesak Komnas HAM RI segera mengusut tuntas kasus penembakan terhadap warga sipil di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya. Keempat, menolak pembukaan Blok Wabu di Intan Jaya, mengeksploitasi minyak dan gas di Bintuni, Provinsi Papua Barat oleh BP, serta pembukaan lahan sawit di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya yang merusak hutan dan mencuri sumber daya alam Papua. Kelima, menuntut penutupan PT Freeport Indonesia (PTFI), dan keenam, menegaskan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat bangsa Papua.
Selain keenam poin tuntutan tersebut, FIM WP juga menuntut agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membubarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) karena dinilai tidak menjalankan tugas dan fungsi sesuai amanat rakyat Papua. Mereka menilai lembaga kultur tersebut belum sepenuhnya memperjuangkan aspirasi rakyat Papua.
Menanggapi aspirasi tersebut, Wakil Ketua I MRP Provinsi Papua Tengah, Paulina Marey, menyampaikan bahwa lembaganya terbuka untuk menerima setiap aspirasi yang disampaikan masyarakat dari berbagai elemen, termasuk mahasiswa, pemuda, tokoh perempuan, tokoh adat, hingga tokoh gereja.
“Kami sebagai wakil rakyat, lembaga kultur, menerima aspirasi dari masyarakat dan akan meneruskan ke gubernur. Karena keputusan mutlak bukan ditangan MRP, tetapi di pemerintah daerah, dan selanjutnya akan diteruskan ke Jakarta,” ujar Paulina Marey.
Ia menegaskan MRP tidak akan berdiam diri, melainkan akan mengawal setiap aspirasi hingga ke tingkat pusat, lantaran sebagian besar [b]aspirasi masyarakat menyangkut penolakan terhadap kehadiran TNI organik maupun non-organik di wilayah atau daerah pedalaman, seperti Kabupaten Intan Jaya, Puncak, dan Paniai, serta penolakan terhadap eksploitasi kekayaan alam seperti emas dan minyak bumi yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat lokal.
“Dalam baliho mereka (massa aksi) tertulis jelas penolakan terhadap pembukaan Blok Wabu. Mereka menilai itu hak kedaulatan orang Papua. Bahkan ada juga seruan agar PT Freeport ditutup, dan bila MRP tidak mampu memperjuangkan rakyat, maka MRP sebaiknya dibubarkan,” terangnya.
Paulina menjelaskan bahwa MRP awalnya dibentuk atas dasar tuntutan masyarakat Papua sebagai lembaga kultur untuk mengawal Otonomi Khusus (Otsus). Namun, ia mengakui bahwa hingga kini manfaat otsus belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat hingga ke akar rumput.
“Kita bicara sebagai manusia, bahwa sampai hari ini kami belum melihat otsus benar-benar berwujud nyata untuk masyarakat,” pungkasnya.
https://seputarpapua.com/view/unjuk-...baran-mrp.html
masyarakat menolak kehadirah TNI dan desakan Freeport ditutup

Senin, 10 Nov 2025 17:50 WIT
Tampilkan Caption
Play
Baca Berita
NABIRE, Seputarpapua.com | Solidaritas pelajar, mahasiswa, dan rakyat Papua yang tergabung dalam Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM WP) menggelar aksi unjuk rasa damai menolak militerisasi serta pembubaran Majelis Rakyat Papua (MRP).
Aksi tersebut berlangsung di Halaman Kantor MRP Provinsi Papua Tengah, Kabupaten Nabire, Senin (10/11/2025), sebagai bentuk protes terhadap meningkatnya aktivitas aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan yang dinilai merugikan masyarakat adat.
Koordinator lapangan aksi unjuk rasa ini, Yulianus Sanambani, dalam orasinya menyampaikan enam tuntutan utama. Pertama, meminta menghentikan segala bentuk militerisasi di seluruh tanah Papua. Kedua, menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang dinilai menimbulkan ekosida dan genosida terstruktur terhadap masyarakat setempat.[/]
Ketiga, mendesak Komnas HAM RI segera mengusut tuntas kasus penembakan terhadap warga sipil di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya. Keempat, menolak pembukaan Blok Wabu di Intan Jaya, mengeksploitasi minyak dan gas di Bintuni, Provinsi Papua Barat oleh BP, serta pembukaan lahan sawit di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya yang merusak hutan dan mencuri sumber daya alam Papua. Kelima, menuntut penutupan PT Freeport Indonesia (PTFI), dan keenam, menegaskan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat bangsa Papua.
Selain keenam poin tuntutan tersebut, FIM WP juga menuntut agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membubarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) karena dinilai tidak menjalankan tugas dan fungsi sesuai amanat rakyat Papua. Mereka menilai lembaga kultur tersebut belum sepenuhnya memperjuangkan aspirasi rakyat Papua.
Menanggapi aspirasi tersebut, Wakil Ketua I MRP Provinsi Papua Tengah, Paulina Marey, menyampaikan bahwa lembaganya terbuka untuk menerima setiap aspirasi yang disampaikan masyarakat dari berbagai elemen, termasuk mahasiswa, pemuda, tokoh perempuan, tokoh adat, hingga tokoh gereja.
“Kami sebagai wakil rakyat, lembaga kultur, menerima aspirasi dari masyarakat dan akan meneruskan ke gubernur. Karena keputusan mutlak bukan ditangan MRP, tetapi di pemerintah daerah, dan selanjutnya akan diteruskan ke Jakarta,” ujar Paulina Marey.
Ia menegaskan MRP tidak akan berdiam diri, melainkan akan mengawal setiap aspirasi hingga ke tingkat pusat, lantaran sebagian besar [b]aspirasi masyarakat menyangkut penolakan terhadap kehadiran TNI organik maupun non-organik di wilayah atau daerah pedalaman, seperti Kabupaten Intan Jaya, Puncak, dan Paniai, serta penolakan terhadap eksploitasi kekayaan alam seperti emas dan minyak bumi yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat lokal.
“Dalam baliho mereka (massa aksi) tertulis jelas penolakan terhadap pembukaan Blok Wabu. Mereka menilai itu hak kedaulatan orang Papua. Bahkan ada juga seruan agar PT Freeport ditutup, dan bila MRP tidak mampu memperjuangkan rakyat, maka MRP sebaiknya dibubarkan,” terangnya.
Paulina menjelaskan bahwa MRP awalnya dibentuk atas dasar tuntutan masyarakat Papua sebagai lembaga kultur untuk mengawal Otonomi Khusus (Otsus). Namun, ia mengakui bahwa hingga kini manfaat otsus belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat hingga ke akar rumput.
“Kita bicara sebagai manusia, bahwa sampai hari ini kami belum melihat otsus benar-benar berwujud nyata untuk masyarakat,” pungkasnya.
https://seputarpapua.com/view/unjuk-...baran-mrp.html
masyarakat menolak kehadirah TNI dan desakan Freeport ditutup
69banditos dan itkgid memberi reputasi
2
80
6
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan