Kaskus

Story

aurora..Avatar border
TS
aurora..
[CERPEN] Pertobatan Seorang Ketua RT
Langit sore di Kampung Melati seolah menjadi saksi ambisi seorang pria bernama Darto, 45 tahun, yang kini menjadi kepala RT paling berpengaruh di wilayah itu. Sejak dua tahun menjabat, Darto memiliki satu impian besar, yaitu menjadikan kampung kecil itu sebagai “Kampung Pengusaha Roti”.

“Kalau semua jualan roti, kita bisa jadi terkenal, Ti,” ucap Darto suatu malam kepada istrinya, Wanti, sambil menatap tumpukan brosur bertuliskan ‘Roti Kampung Melati, Rasa Anak Negeri’

Wanti, yang sibuk mengaduk adonan roti di dapur, hanya bisa tersenyum kaku.

“Bagus sih, Pak. Tapi, apa nggak berat, kalau semua warga dipaksa ikut?” tanya Wanti ragu

“Wanti, kalau mau maju, nggak bisa pakai rasa kasihan. Kita harus tegas! Jangan mau kalah sama orang-orang manja yang tidak tahu arti kerja keras itu!” ucap Darto sambil mengepalkan tangan

Dan sejak malam itu, Darto benar-benar menegakkan ambisinya seperti hukum negara kecil yang ia ciptakan sendiri.

***

Pagi-pagi, Darto sudah berdiri di balai RT dengan pengeras suara.

“Mulai minggu ini, semua warga wajib ikut program Satu Rumah, Satu Roti! Saya nggak mau dengar alasan lagi. Siapapun yang tidak ikut, jangan tinggal di kampung saya!” ancam Darto tidak main-main

Warga terdiam. Beberapa saling menatap, beberapa lainnya menunduk takut. Mereka tahu, melawan Darto berarti siap diusir dari kampung itu.

Di antara kerumunan itu, Doni, seorang petani pepaya yang sederhana, memberanikan diri bertanya.

“Pak RT, saya ini petani, bukan pembuat roti. Kalau saya disuruh berhenti dari kebun, siapa yang urus pepaya saya?” tanya Doni

Darto menatapnya tajam.

“Kebunmu nanti bisa kita alihfungsikan untuk bahan baku roti, buat ternak ayam petelur. Kamu tinggal nurut saja. Saya sudah punya rencana besar!” bentaknya

Dan benar saja, seminggu kemudian Darto memerintahkan beberapa orang untuk mengambil alih kebun pepaya Doni, katanya untuk kepentingan bersama. Doni hanya bisa menunduk pasrah, sementara bibirnya gemetar menahan amarah dan kecewa.

***

Dalam waktu enam bulan, hampir seluruh rumah di Kampung Melati berubah menjadi pabrik roti kecil. Bau manis adonan tercium di setiap gang. Suara mixer, oven, dan wajan tidak pernah berhenti sejak pagi hingga tengah malam.

Namun bersamaan dengan itu, suara azan di mushola mulai jarang terdengar.

Banyak warga yang terlalu sibuk mengaduk adonan hingga lupa shalat, lupa makan bersama keluarga, bahkan anak-anak mereka pun jarang bersekolah karena membantu orang tua berjualan.

Wanti sendiri mulai kelelahan.

“Pak, warga sudah banyak yang ngeluh. Mereka sangat capek. Roti makin nggak laku, tapi Bapak masih maksa terus bikin.” keluh Wanti

Darto menghela napas kasar.

“Itu karena mereka pemalas dan manja, nggak bisa kerja yang benar. Kita harus kerja lebih keras, kalau perlu seluruh tenaga dicurahkan. Kalau kita terus berdoa tapi nggak berusaha, percuma! Tuhan itu suka orang yang kerja sekuat tenaga, Ti!” bentak Darto

Namun, malam itu, seseorang datang ke rumah Darto. Seorang wanita muda, berkerudung abu-abu, dengan tatapan tenang tetapi penuh keberanian.

“Permisi, Pak RT. Saya Reyna,” ucap Reyna sopan

“Saya baru pindah ke sini, dan saya tidak akan ikut program jualan roti Bapak.”

Darto mengerutkan dahi.

“Jangan melawan, Mbak. Ini program wajib.” ucapnya dengan penuh intimidasi

“Saya tahu ini program wajib Bapak,” jawab Reyna pelan

“Tapi saya tidak ingin hidup hanya untuk mengejar uang saja. Saya ingin hidup dengan damai, dan saya tetap mau beribadah dengan benar.” bantah Reyna tegas

Wanti menatap Reyna dengan rasa campur aduk, antara kagum dan takut.

Darto hanya bisa tertawa kaku.

“Kamu ini masih muda, Mbak, belum tahu apa-apa. Di kampung ini, semua warga harus nurut sama saya!” bentak Darto

Namun, Reyna hanya membalas dengan senyum tipis.

“Kalau Bapak memaksa orang berbuat melebihi batas, Tuhan bisa mengambil semuanya dalam sekejap.” ucap Reyna dingin

Ucapan itu seperti tamparan yang dingin di wajah Darto. Darto menepisnya sebagai omong kosong.

***

Tiga bulan kemudian, musibah besar datang.
Entah dari mana mulainya, tetapi tiba-tiba tidak satu pun pembeli datang ke Kampung Melati. Toko roti yang biasanya penuh, kini sepi seperti kuburan. Roti-roti mengeras di etalase, basi, lalu dibuang ke sungai.

Harga tepung terigu dan telur naik drastis. Banyak warga terpaksa berhutang ke pinjaman online, dan beberapa bahkan rela menjual motor dan mobil demi membeli bahan baru.

Dan semua itu berlangsung selama 3,5 tahun.

Darto murka. Darto akhirnya mengumpulkan warga di balai RT.

“Pasti ini ulah perempuan sialan itu!” teriak Darto

“Dia sengaja menutup jalan rezeki kita! Dia memprovokasi orang-orang luar supaya mereka tidak beli roti dari kita!”

Namun sebelum warga sempat bereaksi, Reyna muncul di tengah kerumunan.

“Saya tidak memprovokasi siapa pun, Pak Darto,” ucap Reyna lantang

“Ini bukan karena saya. Ini karena Bapak memaksa semua orang bekerja tanpa mengingat Tuhan.”

Warga mulai saling berbisik.

Darto menatap tajam, wajahnya memerah.

“Bohong kamu, Reyna! Tuhan tidak peduli siapa yang berjualan atau tidak. Ini hanya soal kerja keras! Mereka saja yang manja, bikin rotinya sambil malas-malasan!” marah Darto

Reyna menggeleng perlahan.

“Tidak, Pak. Tuhan peduli pada hati manusia. Kalau hati penuh keserakahan, sehebat apa pun roti yang kita buat, orang tidak akan tergoda membelinya.” ucap Reyna pelan

***

Malam itu, Reyna membuat tantangan besar di hadapan seluruh warga.

“Baiklah,” ucap Reyna

“Saya akan bantu siapa pun yang berani berhenti berjualan roti. Saya akan bantu lunasi hutang kalian. Tapi, bagi yang masih keras kepala dan hanya gila-gilaan mengejar uang, saya tidak akan ikut campur.” ucap Reyna tegas

Sebagian warga menertawakan ide itu, sebagian lain terdiam.

Namun keesokan harinya, ada sepuluh keluarga yang benar-benar berhenti berjualan roti. Mereka menutup oven, menyimpan mixer, dan kembali menanam sayur atau membuka usaha kecil lain. Aneh tetapi nyata, dalam dua bulan, hutang mereka lunas, entah lewat rezeki tidak terduga, atau bantuan dari orang-orang luar kampung yang tiba-tiba datang membeli hasil kebun mereka.

Sementara itu, kelompok yang masih menuruti Darto justru tenggelam dalam hutang. Mereka semakin panik dan malah memperluas promosi roti besar-besaran di media sosial, mengirim pesan ke semua orang, bahkan melakukan spamming chat secara brutal, membuat banyak orang terganggu.

Aksi itu membuat warga luar kampung kesal. Banyak yang melaporkan mereka karena mengganggu. Akibatnya, beberapa orang ditangkap polisi karena pelanggaran digital, dan usaha mereka hancur total.

***

Darto semakin terpukul. Istrinya menangis setiap malam mencium bau adonan basi dan tumpukan utang yang menumpuk di dapur.

“Mas, tolong berhentilah. Saya capek hidup seperti ini.” ucap Wanti

Namun, Darto hanya diam, menatap poster besar di dinding bertuliskan “Kampung Pengusaha Roti – Kebanggaan RT 07” yang kini sobek di pinggirannya.

Hingga suatu pagi, Reyna datang lagi, kali ini ditemani oleh Doni, si petani pepaya yang dulu kebunnya dirampas.

“Pak Darto,” ucap Reyna lembut

“Kalau Bapak terus membuat orang lain rugi, Bapak akan kena sanksi sosial. Warga sudah tidak percaya lagi.” lanjutnya

Darto tertunduk.

“Saya hanya ingin kampung ini maju…” ucapnya pelan

“Bapak ingin maju, tapi lupa arah,” sahut Reyna

“Majunya tanpa nurani, itu bukan kemajuan namanya, tapi kesesatan.”

Suasana hening. Hanya suara ayam berkokok dari kejauhan.

Doni menatap Darto lirih.

“Pak, saya nggak dendam. Tapi saya ingin kebun saya kembali. Itu satu-satunya mata pencaharian saya.” ucap Doni

Darto menggigit bibir, menahan rasa malu dan penyesalan yang selama ini ia abaikan. Perlahan, Darto menunduk dalam-dalam.

“Maafkan aku, Doni… Reyna… juga kalian semua. Aku terlalu sombong.”

Air mata Darto menetes, jatuh ke lantai balai RT yang dingin.

Wanti memegang pundaknya, menatap suaminya dengan lembut. Untuk pertama kalinya, dalam beberapa tahun, Darto terlihat benar-benar rapuh.

***

Sejak hari itu, Darto mengembalikan kebun pepaya Doni, membongkar papan besar bertuliskan Kampung Pengusaha Roti, dan menggantinya dengan papan sederhana bertuliskan “Kampung Melati – Kampung yang Ibadah dan Bekerja Seimbang”.

Darto mendatangi rumah-rumah warga, meminta maaf satu per satu. Darto membantu Reyna membuat kelompok keagamaan kecil yang mengajarkan warga tentang keseimbangan antara bekerja dan beribadah. Roti masih dibuat, tetapi kini dengan niat berbagi, bukan lagi menumpuk harta.

Dalam waktu satu tahun, suasana Kampung Melati kembali ramai, bukan karena bisnis besar, melainkan karena ketenangan dan persaudaraan yang tumbuh kembali.

Suatu sore, Darto duduk di bangku bambu depan rumah, menatap langit yang jingga. Reyna lewat, sambil membawa keranjang pepaya milik Doni.

“Pak Darto,” ucap Reyna sambil tersenyum

“Lihat, kebun pepaya Doni sudah berbuah lebat.” lanjutnya

Darto mengangguk, matanya berkaca-kaca.

“Iya, Rey, mungkin ini buah dari pertobatan saya juga.” ucap Pak Darto

Reyna menatapnya lembut.

“Tidak ada kata terlambat untuk bertobat, Pak. Yang penting, Bapak sudah berani mengakui salah.”

Dan sore itu, sinar matahari terasa berbeda. Lebih hangat, lebih damai.

Di hati Darto, tumbuh kesadaran baru, bahwa pemimpin sejati bukanlah yang membuat orang takut, tetapi yang membuat orang kembali percaya.

TAMAT

Note: Cerita ini terinspirasi dari kisah Raja Ahab, Nabot, Elia, dan ritual untuk pemanggilan dewa Baal.

@pabuaranwetan @bitha @bmanluck
silohAvatar border
bukhoriganAvatar border
UprutzAvatar border
Uprutz dan 6 lainnya memberi reputasi
7
308
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan