- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Aku Pulang Diam-Diam, Membawa Beban yang Tak Terlihat Mata Orang Lain…
TS
1130001
Aku Pulang Diam-Diam, Membawa Beban yang Tak Terlihat Mata Orang Lain…
Tahun 2011...
Setahun setelah lulus SMA, di usia delapan belas, aku memutuskan untuk kuliah. Aku tak kuat bekerja fisik di kebun seperti teman-teman sebayaku.
Orangtuaku bukan keluarga mampu; mereka tak punya kebun sawit seperti tetangga. Mereka hanya memiliki warteg kecil di desa yang jarang ramai — ibu bangun sebelum subuh menanak nasi dan menumis sendiri, bapak berkeliling pasar setiap sore menawar sayur untuk dijual malamnya. Siklus hidup mereka sederhana dan keras, berputar di antara dapur dan harapan.
Aku anak laki-laki kedua dari tiga bersaudara, satu-satunya anak laki-laki, dengan kakak perempuan dan adik perempuan. Menjadi anak laki-laki satu-satunya membuat aku merasa memikul harapan keluarga di pundakku. Melihat kerja keras orangtuaku, aku tersentak dan sadar satu hal: aku harus mengubah nasib kami, memberi mereka kehidupan yang lebih layak. Dorongan itu membuatku termotivasi bekerja dan belajar lebih keras dari teman-teman sebayaku.
Aku diterima di kampus negeri yang asri, di salah satu kota besar Pulau Sumatra — kota indah dengan pantai dan hutan, melahirkan banyak cendekiawan, dan masyarakatnya sangat menjaga adat dan agama.
Di sana, aku mengambil program D3 Studi Manajemen Industri. Kota itu juga terkenal dengan legenda anak perantau yang dikutuk menjadi batu dalam keadaan bersujud karena kesalahan yang dibuatnya. Aku tahu cerita itu, tapi aku menapaki jalan sendiri, bersumpah tak ingin menjadi seperti tokoh legenda itu.
Perjalanan delapan jam naik motor dari kampungku terasa seperti ujian pertama bagi tekadku.
Tiga semester pertama, hidupku seolah berada di puncak. IP stabil di 3,9, prestasi akademik gemilang. Aku dipercaya menjadi asisten dosen dengan honor 800 ribu — lebih besar dari uang jajan ortu.
Semester 3 juga membawa kebanggaan: kampus merekomendasikan namaku untuk beasiswa bank daerah, dan aku lolos. Beasiswa itu membebaskan biaya kuliah dari semester 3 sampai wisuda.
Tapi di balik semua itu, aku menyembunyikan prestasi dan honor dari orangtua. Aku menggunakan honor untuk foya-foya bersama pacarku — kelalaian manis yang kelak menjadi rasa bersalah pekat.
Segalanya runtuh karena satu kesalahan ceroboh. Rekaman pribadi yang seharusnya aman diketahui teman, membuka jalan mimpi buruk.
Selama satu semester penuh di semester empat, aku diperas: bukan hanya uang, tapi tenaga, waktu, dan kebebasan. Aku mengantar, meminjamkan motor, bahkan menjual laptop hasil kredit orangtuaku. Ia mencoba memeras pacarku juga; aku menanggung sendiri agar dia tak terseret. Demi melindungi dia, aku memutuskan hubungan paling menyakitkan dalam hidupku.
Hari-hariku menjadi penjara. IP semester itu terjun bebas ke 0,87. Tiga semester cahaya runtuh oleh satu musim gelap.
Akhirnya aku memutuskan pulang. Aku berangkat malam, sekitar jam 11, mengendap-endap supaya teman biadab itu tak tahu. Pakaianku menempel di tubuh, berkemas seadanya agar muat di tas gendong.
Malam itu, yang juga malam ketiga sebelum Lebaran, aku menemukan flashdisk tempat ia menyimpan file pribadiku. Ia sudah tidur. Dengan tangan bergetar, aku mengambil flashdisk itu, membawanya diam-diam, dan melemparkannya jauh ke laut — rasa lega yang begitu besar, tapi juga sunyi.
Aku sampai di rumah jam delapan pagi tanpa orangtuaku tahu. Lelah, aku langsung ke kamar dan terlelap. Terbangun jam dua siang, aku makan seadanya, tapi tanpa sempat berkata apa pun, aku terisak menangis. Tubuhku gemetar, dada sesak. Baru setelah semua air mata tumpah, aku bisa membuka mulut dan menceritakan semuanya kepada orangtuaku.
Tak ada kemarahan fisik, hanya kata dingin bapak: “Udah dikuliahin masih bodoh.” Sederhana, tapi menusuk lebih dalam daripada amarah apa pun.
Tahun 2013 menjadi babak patah dalam hidupku. Aku meninggalkan kota pantai itu, kampus asri, kamar kos, dan barang-barang kecil. Aku pulang dengan tangan kosong, membawa beban yang tak terlihat mata orang lain.
Aku menulis ini bukan untuk meminta belas kasihan. Aku ingin pembaca tahu: aku bukan hanya korban, tapi manusia yang pernah ceroboh, mengambil keputusan bodoh, dan menanggung akibatnya. Pelajaran terbesar adalah memahami rapuhnya amanah pribadi, bahaya kelalaian, dan bagaimana satu kesalahan bisa mengubah hidup menjadi sangat buruk.
Di antara retak-retak itu, aku belajar. Pelan-pelan aku merangkak kembali. Kegagalan bukan akhir; hanya bab yang mengajarkan kewaspadaan dan tanggung jawab.
Dan meski kota itu menyimpan legenda anak perantau yang dikutuk menjadi batu dalam keadaan bersujud, aku memilih tetap berjalan. Aku belajar dari kesalahan, membangun jalan hidup sendiri, dan menulis kisahku sendiri, jauh dari kutukan legenda itu.
Aku berharap siapa pun yang membaca tidak cepat menghakimi. Aku pernah jatuh, tapi aku tidak berhenti. Dari reruntuhan, aku berusaha bangkit lagi, menapaki jalan yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan tetap manusiawi.
Setahun setelah lulus SMA, di usia delapan belas, aku memutuskan untuk kuliah. Aku tak kuat bekerja fisik di kebun seperti teman-teman sebayaku.
Orangtuaku bukan keluarga mampu; mereka tak punya kebun sawit seperti tetangga. Mereka hanya memiliki warteg kecil di desa yang jarang ramai — ibu bangun sebelum subuh menanak nasi dan menumis sendiri, bapak berkeliling pasar setiap sore menawar sayur untuk dijual malamnya. Siklus hidup mereka sederhana dan keras, berputar di antara dapur dan harapan.
Aku anak laki-laki kedua dari tiga bersaudara, satu-satunya anak laki-laki, dengan kakak perempuan dan adik perempuan. Menjadi anak laki-laki satu-satunya membuat aku merasa memikul harapan keluarga di pundakku. Melihat kerja keras orangtuaku, aku tersentak dan sadar satu hal: aku harus mengubah nasib kami, memberi mereka kehidupan yang lebih layak. Dorongan itu membuatku termotivasi bekerja dan belajar lebih keras dari teman-teman sebayaku.
Aku diterima di kampus negeri yang asri, di salah satu kota besar Pulau Sumatra — kota indah dengan pantai dan hutan, melahirkan banyak cendekiawan, dan masyarakatnya sangat menjaga adat dan agama.
Di sana, aku mengambil program D3 Studi Manajemen Industri. Kota itu juga terkenal dengan legenda anak perantau yang dikutuk menjadi batu dalam keadaan bersujud karena kesalahan yang dibuatnya. Aku tahu cerita itu, tapi aku menapaki jalan sendiri, bersumpah tak ingin menjadi seperti tokoh legenda itu.
Perjalanan delapan jam naik motor dari kampungku terasa seperti ujian pertama bagi tekadku.
Tiga semester pertama, hidupku seolah berada di puncak. IP stabil di 3,9, prestasi akademik gemilang. Aku dipercaya menjadi asisten dosen dengan honor 800 ribu — lebih besar dari uang jajan ortu.
Semester 3 juga membawa kebanggaan: kampus merekomendasikan namaku untuk beasiswa bank daerah, dan aku lolos. Beasiswa itu membebaskan biaya kuliah dari semester 3 sampai wisuda.
Tapi di balik semua itu, aku menyembunyikan prestasi dan honor dari orangtua. Aku menggunakan honor untuk foya-foya bersama pacarku — kelalaian manis yang kelak menjadi rasa bersalah pekat.
Segalanya runtuh karena satu kesalahan ceroboh. Rekaman pribadi yang seharusnya aman diketahui teman, membuka jalan mimpi buruk.
Selama satu semester penuh di semester empat, aku diperas: bukan hanya uang, tapi tenaga, waktu, dan kebebasan. Aku mengantar, meminjamkan motor, bahkan menjual laptop hasil kredit orangtuaku. Ia mencoba memeras pacarku juga; aku menanggung sendiri agar dia tak terseret. Demi melindungi dia, aku memutuskan hubungan paling menyakitkan dalam hidupku.
Hari-hariku menjadi penjara. IP semester itu terjun bebas ke 0,87. Tiga semester cahaya runtuh oleh satu musim gelap.
Akhirnya aku memutuskan pulang. Aku berangkat malam, sekitar jam 11, mengendap-endap supaya teman biadab itu tak tahu. Pakaianku menempel di tubuh, berkemas seadanya agar muat di tas gendong.
Malam itu, yang juga malam ketiga sebelum Lebaran, aku menemukan flashdisk tempat ia menyimpan file pribadiku. Ia sudah tidur. Dengan tangan bergetar, aku mengambil flashdisk itu, membawanya diam-diam, dan melemparkannya jauh ke laut — rasa lega yang begitu besar, tapi juga sunyi.
Aku sampai di rumah jam delapan pagi tanpa orangtuaku tahu. Lelah, aku langsung ke kamar dan terlelap. Terbangun jam dua siang, aku makan seadanya, tapi tanpa sempat berkata apa pun, aku terisak menangis. Tubuhku gemetar, dada sesak. Baru setelah semua air mata tumpah, aku bisa membuka mulut dan menceritakan semuanya kepada orangtuaku.
Tak ada kemarahan fisik, hanya kata dingin bapak: “Udah dikuliahin masih bodoh.” Sederhana, tapi menusuk lebih dalam daripada amarah apa pun.
Tahun 2013 menjadi babak patah dalam hidupku. Aku meninggalkan kota pantai itu, kampus asri, kamar kos, dan barang-barang kecil. Aku pulang dengan tangan kosong, membawa beban yang tak terlihat mata orang lain.
Aku menulis ini bukan untuk meminta belas kasihan. Aku ingin pembaca tahu: aku bukan hanya korban, tapi manusia yang pernah ceroboh, mengambil keputusan bodoh, dan menanggung akibatnya. Pelajaran terbesar adalah memahami rapuhnya amanah pribadi, bahaya kelalaian, dan bagaimana satu kesalahan bisa mengubah hidup menjadi sangat buruk.
Di antara retak-retak itu, aku belajar. Pelan-pelan aku merangkak kembali. Kegagalan bukan akhir; hanya bab yang mengajarkan kewaspadaan dan tanggung jawab.
Dan meski kota itu menyimpan legenda anak perantau yang dikutuk menjadi batu dalam keadaan bersujud, aku memilih tetap berjalan. Aku belajar dari kesalahan, membangun jalan hidup sendiri, dan menulis kisahku sendiri, jauh dari kutukan legenda itu.
Aku berharap siapa pun yang membaca tidak cepat menghakimi. Aku pernah jatuh, tapi aku tidak berhenti. Dari reruntuhan, aku berusaha bangkit lagi, menapaki jalan yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan tetap manusiawi.
Diubah oleh 1130001 06-11-2025 17:11
Dhekazama dan 2 lainnya memberi reputasi
3
187
11
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan