- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
- Masalah kereta Whoosh adalah masalah Indonesia, bukan jebakan utang Tiongkok 


TS
kissmybutt007
Masalah kereta Whoosh adalah masalah Indonesia, bukan jebakan utang Tiongkok
Masalah kereta Whoosh adalah masalah Indonesia, bukan jebakan utang Tiongkok 
Muhammad Zulfikar Rakhmat
6–7 menit
Ketika Presiden Joko Widodo mengejutkan Jepang dengan memilih Tiongkok untuk membangun jalur kereta api cepat pertama Indonesia pada tahun 2015, ia tidak menyerah pada pengaruh Beijing. Ia justru menegaskan kemerdekaannya.
Tawaran Tiongkok untuk membangun jalur kereta api Jakarta-Bandung—yang kini dikenal sebagai Whoosh—datang tanpa jaminan pemerintah atau beban fiskal langsung. Tawaran itu tampak seperti keputusan pragmatis dari negara demokrasi yang sedang bangkit dan ingin memodernisasi diri dengan caranya sendiri.
Satu dekade kemudian, keputusan itu ditafsirkan ulang sebagai kisah peringatan geopolitik. Pembengkakan biaya, negosiasi utang, dan tuduhan korupsi telah menghidupkan kembali pembicaraan tentang "jebakan utang Tiongkok" di Indonesia.
Namun narasi itu melenceng dari inti persoalan. Whoosh bukanlah kisah Tiongkok—melainkan kisah Indonesia. Proyek ini mencerminkan ambisi Indonesia, birokrasinya, dan perjuangannya yang berkelanjutan untuk mengelola kompleksitas – bukan strategi jebakan yang dilakukan Beijing.
Bulan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka penyelidikan atas kemungkinan penggelembungan dan penyimpangan dalam anggaran proyek. Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Mahfud MD menuduh biaya konstruksi membengkak hingga $52 juta per kilometer—tiga kali lipat biaya pembangunan jalur serupa di Tiongkok.
KPK belum mengonfirmasi adanya pelanggaran, tetapi kebutuhan akan penyelidikan semacam itu menggarisbawahi letak masalah sebenarnya: di dalam negeri.
Struktur keuangan Whoosh bukanlah rahasia. Dari total biaya US$7,3 miliar, sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman dari Bank Pembangunan Tiongkok (CDB) dengan suku bunga moderat—sekitar 2% untuk pokok dan 3,4% untuk overrun cost.
Sisanya berasal dari kontribusi ekuitas, yang dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) milik negara, yang memegang 60% saham perusahaan operator, KCIC. Ini bukanlah usaha patungan yang dikendalikan asing.
Indonesia memimpin kemitraan ini, memegang saham mayoritas, dan mengelola operasional sehari-hari.
Tantangan-tantangan yang ada saat ini—biaya yang membengkak, pertumbuhan penumpang yang lambat, dan sinyal kebijakan yang saling bertentangan—mengungkapkan hambatan kelembagaan Indonesia sendiri.
Keterlambatan pembebasan lahan, koordinasi antar kementerian yang buruk, dan pergeseran prioritas politik telah mengganggu proyek ini sejak awal. Konstruksi berlangsung selama bertahun-tahun, dan biayanya meningkat sebesar $1,2 miliar.
Bahkan setelah peluncurannya pada tahun 2023, penjualan tiket masih jauh dari harapan, terhambat oleh stasiun yang dibangun jauh dari pusat kota dan sistem koneksi last-mile yang belum merata. Semua masalah ini tidak berasal dari Beijing—semuanya berasal dari Jakarta.
Namun, Whoosh bukanlah kegagalan operasional. Dalam dua tahun pertamanya, jalur ini mengangkut lebih dari 12 juta penumpang dengan ketepatan waktu 99,9%, memangkas waktu tempuh antara Jakarta dan Bandung dari tiga jam menjadi 40 menit.
Jalur ini telah mengubah pola perjalanan dan mendorong pembangunan perkotaan di sepanjang koridornya. Pemerintah berharap dapat memperpanjang jalur ini hingga ke Surabaya, yang menghubungkan kota-kota terbesar di Jawa menjadi satu tulang punggung ekonomi.
Masalahnya bukanlah kegagalan proyek ini; melainkan Indonesia meremehkan betapa sulitnya mengelolanya. Ketika pemerintah kini menegosiasikan ulang struktur pinjaman dengan kreditor Tiongkok, pemerintah bertindak dari posisi pragmatisme, bukan keputusasaan.
Menteri Investasi Rosan Roeslani telah mengonfirmasi bahwa Indonesia sedang mengupayakan "reset keuangan komprehensif"—yang dapat memperpanjang jangka waktu pembayaran, menyesuaikan suku bunga, dan mungkin mengonversi pinjaman dolar menjadi yuan. Tiongkok telah terbuka untuk berdiskusi.
Jauh dari citra pemberi pinjaman predator, Beijing telah menunjukkan fleksibilitas; yang kurang adalah koordinasi Indonesia sendiri.
Berbagai pejabat telah memberikan pernyataan yang saling bertentangan: Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim Tiongkok menyetujui jangka waktu pembayaran 60 tahun, yang dengan cepat dibantah kembali oleh pejabat pemerintahan lainnya. Ketidak konsistenan ini mencerminkan kekacauan domestik, bukan tekanan eksternal.
Bahkan saat ini, dana kekayaan negara yang baru, Danantara, sedang mempertimbangkan dua opsi untuk menstabilkan KCIC—dengan menyuntikkan lebih banyak modal ke KAI atau mengalihkan infrastruktur perkereta apian ke kepemilikan negara.
Kedua solusi tersebut pada dasarnya merupakan solusi Indonesia. Yang dipertaruhkan bukanlah kendali asing, melainkan akuntabilitas domestik. "Whoosh" menggambarkan kemajuan sekaligus kerapuhan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa negara ini dapat mengejar proyek-proyek infrastruktur yang kompleks dan didanai secara global—tetapi juga bahwa mesin birokrasinya kesulitan untuk mengimbanginya.
Penyelidikan KPK terhadap inflasi biaya memang diperlukan dan sudah terlambat, tetapi hasilnya seharusnya reformasi, bukan kemunduran. Jakarta harus memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki cara BUMN mengelola risiko, menyederhanakan pengambilan keputusan, dan memastikan mekanisme pengawasan berfungsi sebelum—bukan setelah—miliaran dolar dibelanjakan.
Godaan untuk melihat hal ini melalui lensa geopolitik sangat kuat. Lagipula, Jepang—yang telah lama menjadi mitra tradisional Indonesia—kalah dari Tiongkok, dan para komentator Barat sejak saat itu memperlakukan Whoosh sebagai titik data lain dalam narasi jebakan utang Sabuk dan Jalan Beijing.
Namun, kerangka ini mengaburkan lebih banyak daripada yang diungkapkannya. Tiongkok membiayai baja dan memasok kereta api, tetapi Indonesia merancang kesepakatan, menjalankan proyek, dan kini menjadi pemilik dari masalah—dan juga peluang.
Apa yang awalnya merupakan simbol otonomi strategis telah menjadi ujian kematangan kelembagaan. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah Indonesia dapat belajar dari Whoosh: membangun lebih cepat, bernegosiasi lebih cerdas, dan memerintah dengan lebih baik.
Tiongkok akan terus memainkan perannya sebagai pemodal dan mitra, tetapi keberhasilan jangka panjang proyek ini bergantung pada kapasitas Indonesia untuk mengelolanya secara transparan dan berkelanjutan. Warisan Whoosh tidak akan ditulis di kantor pinjaman Beijing; warisan itu akan ditentukan di kementerian, ruang rapat, dan pengadilan Jakarta.
Kereta cepat adalah pilihan Indonesia. Nasibnya pun akan demikian.
Diterjemahkan dari sumber:
https://asiatimes.com/2025/10/whoosh...ina-debt-trap/
sejak awal proyek ini emang sudah banyak hatersnya, mulai dari surveyor cina yg ditangkap tentara dan dituduh mata mata, pembebasan lahan yg macet, ajaib kalau proyeknya gak cost overrun
ini pelajaran besar, nafsu besar tenaga kurang, jangan sok ambisi 
 
Muhammad Zulfikar Rakhmat
6–7 menit
Ketika Presiden Joko Widodo mengejutkan Jepang dengan memilih Tiongkok untuk membangun jalur kereta api cepat pertama Indonesia pada tahun 2015, ia tidak menyerah pada pengaruh Beijing. Ia justru menegaskan kemerdekaannya.
Tawaran Tiongkok untuk membangun jalur kereta api Jakarta-Bandung—yang kini dikenal sebagai Whoosh—datang tanpa jaminan pemerintah atau beban fiskal langsung. Tawaran itu tampak seperti keputusan pragmatis dari negara demokrasi yang sedang bangkit dan ingin memodernisasi diri dengan caranya sendiri.
Satu dekade kemudian, keputusan itu ditafsirkan ulang sebagai kisah peringatan geopolitik. Pembengkakan biaya, negosiasi utang, dan tuduhan korupsi telah menghidupkan kembali pembicaraan tentang "jebakan utang Tiongkok" di Indonesia.
Namun narasi itu melenceng dari inti persoalan. Whoosh bukanlah kisah Tiongkok—melainkan kisah Indonesia. Proyek ini mencerminkan ambisi Indonesia, birokrasinya, dan perjuangannya yang berkelanjutan untuk mengelola kompleksitas – bukan strategi jebakan yang dilakukan Beijing.
Bulan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka penyelidikan atas kemungkinan penggelembungan dan penyimpangan dalam anggaran proyek. Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Mahfud MD menuduh biaya konstruksi membengkak hingga $52 juta per kilometer—tiga kali lipat biaya pembangunan jalur serupa di Tiongkok.
KPK belum mengonfirmasi adanya pelanggaran, tetapi kebutuhan akan penyelidikan semacam itu menggarisbawahi letak masalah sebenarnya: di dalam negeri.
Struktur keuangan Whoosh bukanlah rahasia. Dari total biaya US$7,3 miliar, sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman dari Bank Pembangunan Tiongkok (CDB) dengan suku bunga moderat—sekitar 2% untuk pokok dan 3,4% untuk overrun cost.
Sisanya berasal dari kontribusi ekuitas, yang dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) milik negara, yang memegang 60% saham perusahaan operator, KCIC. Ini bukanlah usaha patungan yang dikendalikan asing.
Indonesia memimpin kemitraan ini, memegang saham mayoritas, dan mengelola operasional sehari-hari.
Tantangan-tantangan yang ada saat ini—biaya yang membengkak, pertumbuhan penumpang yang lambat, dan sinyal kebijakan yang saling bertentangan—mengungkapkan hambatan kelembagaan Indonesia sendiri.
Keterlambatan pembebasan lahan, koordinasi antar kementerian yang buruk, dan pergeseran prioritas politik telah mengganggu proyek ini sejak awal. Konstruksi berlangsung selama bertahun-tahun, dan biayanya meningkat sebesar $1,2 miliar.
Bahkan setelah peluncurannya pada tahun 2023, penjualan tiket masih jauh dari harapan, terhambat oleh stasiun yang dibangun jauh dari pusat kota dan sistem koneksi last-mile yang belum merata. Semua masalah ini tidak berasal dari Beijing—semuanya berasal dari Jakarta.
Namun, Whoosh bukanlah kegagalan operasional. Dalam dua tahun pertamanya, jalur ini mengangkut lebih dari 12 juta penumpang dengan ketepatan waktu 99,9%, memangkas waktu tempuh antara Jakarta dan Bandung dari tiga jam menjadi 40 menit.
Jalur ini telah mengubah pola perjalanan dan mendorong pembangunan perkotaan di sepanjang koridornya. Pemerintah berharap dapat memperpanjang jalur ini hingga ke Surabaya, yang menghubungkan kota-kota terbesar di Jawa menjadi satu tulang punggung ekonomi.
Masalahnya bukanlah kegagalan proyek ini; melainkan Indonesia meremehkan betapa sulitnya mengelolanya. Ketika pemerintah kini menegosiasikan ulang struktur pinjaman dengan kreditor Tiongkok, pemerintah bertindak dari posisi pragmatisme, bukan keputusasaan.
Menteri Investasi Rosan Roeslani telah mengonfirmasi bahwa Indonesia sedang mengupayakan "reset keuangan komprehensif"—yang dapat memperpanjang jangka waktu pembayaran, menyesuaikan suku bunga, dan mungkin mengonversi pinjaman dolar menjadi yuan. Tiongkok telah terbuka untuk berdiskusi.
Jauh dari citra pemberi pinjaman predator, Beijing telah menunjukkan fleksibilitas; yang kurang adalah koordinasi Indonesia sendiri.
Berbagai pejabat telah memberikan pernyataan yang saling bertentangan: Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim Tiongkok menyetujui jangka waktu pembayaran 60 tahun, yang dengan cepat dibantah kembali oleh pejabat pemerintahan lainnya. Ketidak konsistenan ini mencerminkan kekacauan domestik, bukan tekanan eksternal.
Bahkan saat ini, dana kekayaan negara yang baru, Danantara, sedang mempertimbangkan dua opsi untuk menstabilkan KCIC—dengan menyuntikkan lebih banyak modal ke KAI atau mengalihkan infrastruktur perkereta apian ke kepemilikan negara.
Kedua solusi tersebut pada dasarnya merupakan solusi Indonesia. Yang dipertaruhkan bukanlah kendali asing, melainkan akuntabilitas domestik. "Whoosh" menggambarkan kemajuan sekaligus kerapuhan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa negara ini dapat mengejar proyek-proyek infrastruktur yang kompleks dan didanai secara global—tetapi juga bahwa mesin birokrasinya kesulitan untuk mengimbanginya.
Penyelidikan KPK terhadap inflasi biaya memang diperlukan dan sudah terlambat, tetapi hasilnya seharusnya reformasi, bukan kemunduran. Jakarta harus memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki cara BUMN mengelola risiko, menyederhanakan pengambilan keputusan, dan memastikan mekanisme pengawasan berfungsi sebelum—bukan setelah—miliaran dolar dibelanjakan.
Godaan untuk melihat hal ini melalui lensa geopolitik sangat kuat. Lagipula, Jepang—yang telah lama menjadi mitra tradisional Indonesia—kalah dari Tiongkok, dan para komentator Barat sejak saat itu memperlakukan Whoosh sebagai titik data lain dalam narasi jebakan utang Sabuk dan Jalan Beijing.
Namun, kerangka ini mengaburkan lebih banyak daripada yang diungkapkannya. Tiongkok membiayai baja dan memasok kereta api, tetapi Indonesia merancang kesepakatan, menjalankan proyek, dan kini menjadi pemilik dari masalah—dan juga peluang.
Apa yang awalnya merupakan simbol otonomi strategis telah menjadi ujian kematangan kelembagaan. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah Indonesia dapat belajar dari Whoosh: membangun lebih cepat, bernegosiasi lebih cerdas, dan memerintah dengan lebih baik.
Tiongkok akan terus memainkan perannya sebagai pemodal dan mitra, tetapi keberhasilan jangka panjang proyek ini bergantung pada kapasitas Indonesia untuk mengelolanya secara transparan dan berkelanjutan. Warisan Whoosh tidak akan ditulis di kantor pinjaman Beijing; warisan itu akan ditentukan di kementerian, ruang rapat, dan pengadilan Jakarta.
Kereta cepat adalah pilihan Indonesia. Nasibnya pun akan demikian.
Diterjemahkan dari sumber:
https://asiatimes.com/2025/10/whoosh...ina-debt-trap/
sejak awal proyek ini emang sudah banyak hatersnya, mulai dari surveyor cina yg ditangkap tentara dan dituduh mata mata, pembebasan lahan yg macet, ajaib kalau proyeknya gak cost overrun

ini pelajaran besar, nafsu besar tenaga kurang, jangan sok ambisi
 
 





MemoryExpress dan 3 lainnya memberi reputasi
4
324
34


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan