- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
FIRDAUS DALAM LINGKARAN ORANG-ORANG DOGMATIS
TS
mangdana1984
FIRDAUS DALAM LINGKARAN ORANG-ORANG DOGMATIS
[url=https://www.SENSOR 1028887058030661568/869842011340635406#][img]https://dl.kaskus.id/blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPWPQRo3PbPVYF2i62tFhv4a7KLCOEwTFWLRy2NT7ekdY06nfiis7fQb7D2S01Nb2zVjnmJNA5xTIJKEkaktqRrv2KZ6JSrUW0N_TMpNb66e7lPnOyNtHnTJlC8AdSaOzHUJx-1V984BTwlT874vZbH2_tpYB6aTe_r14MsiYukepimwS7yzILBfEQ9Dc/s320/ChatGPT%20Image%206%20Okt%202025,%2016.24.29.png[/img][/url]
Kedatangan Para Penuduh
Suara ketukan di pintu kayu yang berderai itu seperti palu godam yang menghantam keheningan sore. Firdaus menegakkan punggungnya dari atas tikar anyaman pandan tempatnya duduk bersila. Dadanya sesak, bukan karena kejutan, tapi karena sebuah kepastian muram yang akhirnya tiba. Mereka datang.
Dia tidak perlu membuka jendela untuk tahu siapa yang berdiri di balik pintu. Bayangan tiga sosok tinggi, yang terdistorsi oleh kaca jendela buram, sudah cukup menjadi pengantar suasana. Dunia di luar rumahnya yang sempit dan sederhana itu tiba-tiba dipenuhi oleh sebuah keagungan yang menyesakkan.
Dia membuka pintu.
Dan di sana, berdiri dengan segala wibawa yang melekat pada jubah dan sorban mereka, adalah tiga anggota Dewan Guru Pesantren Nurul Hikmah. Ustadz Hadi, dengan wajahnya yang seperti pahatan batu dan janggut yang sudah diurai uban, memimpin. Di samping kirinya, Ustadz Hakim, yang matanya selalu menyipit seolah mengkalkulasi setiap dosa. Dan yang paling membuat nadinya berdesir, Kang Ozan, si jagal ideologi, dengan pandangan mata yang membara seperti bara yang siap membakar setiap "penyimpangan".
Mereka tidak masuk. Mereka hanya berdiri di ambang pintu, membiarkan kontras yang menyiksa itu terpampang nyata. Di belakang mereka, terhampar pesantren megah dengan dinding bata putih dan menara musala yang menjulang. Di depan mereka, rumah Firdaus yang temboknya retak-retak, dengan atap seng yang sudah karatan. Ini adalah perang simbol: tradisi yang kokoh dan terstruktur melawan privasi yang sempit dan terancam.
"Firdaus," suara Ustadz Hadi menggema, datar namun mematikan. "Kami datang untuk pertanyaan yang serius."
Firdaus hanya mengangguk pelan, menahan getar di lututnya.
Ustadz Hakim yang melanjutkan, suaranya lebih halus tapi tak kalah tajam. "Tujuh belas santri. Tujuh belas! Menolak untuk memasuki Madrasah Al-Iman Al-Aziz. Mereka, atau lebih tepatnya orang tua mereka, menyatakan ketakutan yang tidak masuk akal. Mereka bilang gedung itu... tidak aman."
Kata "tidak aman" itu diucapkan dengan nada mengejek, seolah itu adalah sebuah bidahah.
"Kami tahu ini ulahmu, Firdaus," sela Kang Ozan, suaranya mendesis penuh keyakinan. "Kau telah menghasut mereka. Meracuni pikiran mereka dengan ketakutan-ketakutan yang kau anggap sebagai 'nalar'. Kau telah memecah belah kesatuan kita."
Sebelum Firdaus bisa membuka mulut, sebuah bayangan lain muncul dari dalam rumah. Ibunya, dengan wajah yang pucat pasi dan tangan yang gemetar mencengkram ujung mukena. Matanya memancarkan rasa malu yang begitu dalam, sampai-sampai Firdaus merasa seperti ditampar.
"Firdaus, anakku," bisik ibunya, suaranya parau oleh kepanikan. "Apa yang telah kau lakukan? Meminta maaflah! Sekarang juga! Pada Ustadz, pada Kang Ozan! Jangan nodai nama baik keluarga kita. Kita hanya rakyat kecil, Firdaus. Jangan melawan pesantren."
Rasa sakit melihat ibunya seperti itu lebih menyiksa daripada segala tuduhan. Ibu, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi corong dari tekanan sosial yang menindasnya.
Dia menarik napas dalam, mencari sisa-sisa keberanian di relung jiwanya. Dia menatap lurus ke mata Kang Ozan, sumber dari segala tuduhan ini.
"Saya tidak menghasut, Kang Ozan," suaranya terdengar lebih tenang dari yang dia kira. "Saya hanya mengingatkan. Memberi tahu apa yang saya lihat."
"Dan apa yang kau lihat, Firdaus?" tantang Ustadz Hadi, matanya menyipit.
Firdaus memandang mereka satu per satu. Di balik jubah, sorban, dan wibawa mereka, dia hanya melihat kebutaan yang diselimuti oleh kesombongan spiritual.
"Saya melihat ancaman nyata," jawabnya, singkat dan padat.
Kalimat itu menggantung di udara yang mendadak menjadi sangat sesak. Tiga guru itu terdiam, namun kemarahan dan ketidakpercayaan terpancar jelas dari raut wajah mereka. Ibu Firdaus mendesah lirih, tangannya menutup mulut, seolah perkataan anaknya itu adalah sebuah kutukan.
Kedatangan mereka bukan lagi sebuah pertanyaan. Itu adalah interogasi. Dan Firdaus tahu, ini baru permulaan. Pondasi keyakinannya akan diuji oleh pondasi otoritas yang telah berkarat, dan pertarungan itu terjadi di ambang pintu rumahnya yang reyot.
bukhorigan dan thumb142 memberi reputasi
2
242
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan