Kaskus

Story

thumb142Avatar border
TS
thumb142
Empat Nama, Satu Kenangan [ Masih Di Bawah Langit Yang Sama ]
Empat Nama, Satu Kenangan [ Masih Di Bawah Langit Yang Sama ]


Bagian 2 — Langkah yang Tertahan Tiga Tahun


Tiga tahun udah lewat sejak hari kelulusan itu. Banyak hal berubah—rambutku udah nggak gondrong, kulit makin gelap karena tiap hari ketemu matahari di bengkel, dan cita-cita punya mobil sendiri masih aja nongkrong di daftar harapan. Tapi ada satu hal yang nggak pernah berubah: nama Eva Puji Astutymasih sering nongol di kepala, bahkan pas lagi nguras oli.

Kadang kalau lagi suntuk, aku suka nyetir motor keliling kota cuma buat lewat di sudut jalan tempat kami dulu sering nongkrong bareng. Aneh, tapi di sana bau tanah basah dan daun jatuh masih bisa ngingetin aku sama tawa dia. Eva bilang dulu, “bau tanah habis hujan tuh kayak pelukan dari alam.” Sementara aku mikir, “bau bensin tuh kayak kenyataan hidup.” Ya, emang beda dunia kami.

Suatu pagi di bulan Mei, aku lagi ngelap motor pelanggan sambil nyanyi lagu Sheila on 7 fals setengah mati, tiba-tiba seseorang nyodorin amplop warna krem. Kertasnya wangi, ada tulisan emas mengkilap. Aku refleks hampir jatuhin ember sabun pas baca isinya.

“Reuni STM Negeri Semantara — Angkatan 2009.”
Tempat: Aula Lama.
Waktu: Sabtu, 17 Mei 2012.
Dresscode: bebas tapi sopan (tolong jangan bawa pilox).

Aku ngakak baca catatan terakhir itu. Siapa pun panitianya, pasti masih trauma sama kejadian tembok aula yang dulu dicorat-coret sampai mirip tembok penjara. Tapi begitu ngakak berhenti, jantungku malah deg-degan. Karena besar kemungkinan… Eva bakal datang.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Langit sore mendung, tapi adem. Aku datang bareng Iwan Bledor, sahabat sekaligus sumber lelucon abadi. Sekarang dia kerja di toko kelontong, tapi tetap aja gaya ngomongnya kayak pedagang grosir yang lagi diskon.

“Ky, lo kenapa sih dari tadi ngelus-ngelus rambut mulu?”
“Deg-degan, Wan. Tiga tahun gue nggak ketemu Eva.”
“Ya udah, nanti kalo ketemu, lo bilang aja: ‘Maaf ya, waktu itu bukan niat robek baju, tapi niat buka hati.’”
“WAN! Lo pengen gue disiram es teh, ya?”
“Biar viral, Ky. Minimal trending di grup alumni.”

Aku cuma bisa geleng-geleng sambil nyubit lengannya.

Aula lama masih sama. Dindingnya kusam, tapi setiap langkah seolah ngelangkahin waktu. Musik 2000-an bergema dari speaker—Ungu, Ada Band, Samsons—kayak playlist wajib orang galau era Nokia 6600. Aroma kue, parfum, dan semprotan pengharum ruangan tabrakan jadi satu. Tapi semuanya kalah sama satu hal yang tiba-tiba bikin aku berhenti jalan.

Eva.
Dia berdiri di pojok ruangan, rambutnya lebih panjang, sedikit bergelombang, dan—iya—masih pakai pita kecil di ujungnya. Senyum itu masih sama, cuma sekarang lebih tenang. Aku ngelirik Iwan minta restu. Dia nyenggol pundakku sambil berbisik, “Gas, Ky. Sebelum lo nyesel tiga tahun lagi.

Aku jalan pelan, langkah rasanya berat kayak bawa kenangan di backpack.
“Eva…” suaraku pelan.
Dia nengok. “Pongky? Wah, lama banget ya.”
“Iya… eh, maaf ya, waktu itu—”
“Yang waktu kamu robek bajuku pas kelulusan?” potongnya sambil nyengir.
Aku garuk kepala. “Hehe, iya, itu…”
“Udah lama aku maafin kok. Tapi sumpah, itu momen paling lucu di hidupku.”
Aku nyengir. “Kirain kamu bakal benci gue seumur hidup.”
“Kalau kamu minta tanda tangan di baju lagi sekarang, aku pikir-pikir dulu,” katanya sambil ketawa.

Kami ketawa bareng, dan entah kenapa, suasananya langsung cair. Tiga tahun rasanya kayak baru kemarin sore.

Tiba-tiba suara cempreng dari belakang nyamber, “PONGKY! Ih, kamu masih kayak dulu aja! Eva, udah kasih nomor belum? Kasian cowoknya masih polos!” Aku dan Eva sama-sama noleh. Yap—itu Anis Setiawati, si motor gosip sekolah. Sekarang rambutnya dicat pirang madu, bibirnya merah kayak lampu rem, dan semangatnya masih kayak powerbank 100%.

Dia nyerocos terus tanpa jeda, “Aku tuh dari tadi liatin kalian, duh, auranya tuh, romantis banget. Jangan bilang tiga tahun cuma buat nunggu momen ini, Ky!”
Aku cuma bisa garuk kepala, Eva ngakak, dan dari kejauhan Iwan udah teriak, “Nis, biarin mereka! Paling juga nanti gagal move on bareng!”

Kami berempat akhirnya duduk di satu meja di pojok aula. Meja yang dulu sering kami rebutin waktu pelajaran gambar teknik karena colokannya cuma satu. Sekarang di atas meja itu bukan pensil dan penggaris, tapi piring snack isi risoles dan brownies—yang langsung diserbu Iwan kayak belum makan tiga hari.

“Ky, ini brownies!” kata Iwan sambil ngacungin kue.
Aku nengok ke Eva. “Masih suka brownies, ya?”
Dia senyum. “Masih. Tapi sekarang aku bisa bikin sendiri.”
“Serius? Wah, hebat juga.”
“Hebat apanya, yang makan aja cuma aku sendiri.”
Aku nyengir. “Kapan-kapan aku bantu ngabisin deh.”
Eva melotot pura-pura marah. “Alasannya halus banget, Mas Mekanik.”
“Biar matching sama aroma oli,” jawabku cepat.
Dia ngakak lagi sampai hampir nyenggol gelas air.

Suasana berubah jadi ringan banget. Anis sibuk cerita tentang butik-nya yang sekarang buka dua cabang (“yang satu di kota, yang satu di Instagram”), Iwan pamer udah bisa ngitung laba (“asal nggak lebih dari seratus ribu”), sementara aku dan Eva saling pandang tiap kali obrolan mulai absurd.

“Dulu aku kira kamu bakal jadi artis, Eva,” kataku tiba-tiba.
Dia senyum kecil. “Kadang mimpi kita nggak berubah, cuma jalannya aja yang muter.”
“Kayak aku,” jawabku, “masih pengen minta tanda tangan kamu, tapi sekarang di kertas, bukan di baju.”
Dia ketawa, ngambil pulpen dari tasnya. “Tulis aja di kertas. Tapi kali ini aku yang tanda tangan dulu.”

Dia nulis pelan, hurufnya masih sama kayak dulu—rapi, sedikit miring ke kanan.
Untuk Pongky — yang dulu bikin aku marah, tapi sekarang malah bikin aku ketawa setiap kali ingat. — Eva 🌸

Aku bengong, senyum lebar, dan tentu saja Iwan nggak mau ketinggalan momen.
“Ky, simpen tuh kertas! Siapa tahu nanti undangan nikahnya pake tulisan yang sama!”
Anis langsung nyeletuk, “Eh, jangan egois, gue juga mau tanda tangan! Biar bisa ngomong ‘aku saksi sejarah cinta mereka!’”
Kami ketawa semua, sampai ada yang batuk karena saking ngakaknya.

Malam makin larut, tapi suasana malah makin hangat. Lampu gantung di aula mantul di rambut Eva, bikin dia keliatan kayak pemeran utama FTV nostalgia. Satu per satu teman pamit, musik mulai pelan, dan hanya suara tawa kami yang masih nyangkut di udara.

Sebelum pulang, aku berdiri di halaman sekolah, ngeliat langit Semantara yang penuh bintang. Udara malam dingin tapi nyaman. Eva jalan pelan di sampingku, pita rambutnya bergoyang kena angin.
Aku nyengir, “Eh, kalau nanti hujan pertama bulan depan turun, kamu masih suka aroma tanah basah itu?”
Dia nengok. “Masih. Tapi kalau kamu ada di situ, mungkin baunya agak beda.”
“Lebih wangi bensin ya?”
“Lebih ramai. Lebih hidup.”

Kami sama-sama diam, tapi diamnya manis. Sampai akhirnya Eva melangkah pergi sambil bilang, “Jangan tunggu tiga tahun lagi buat ngobrol, Ky.”
Aku jawab pelan, “Sekarang nggak bakal tertahan lagi, kok.”

Iwan muncul tiba-tiba, ngetap pundakku. “Ky, kalau lo nunggu tiga tahun lagi, gue sumpah daftarin lo ke Take Me Out!
“Diam lo, Wan.”
Dia ngakak keras, dan aku ikut ketawa. Tapi di dalam hati, aku tahu sesuatu berubah malam itu.

Langkah yang dulu tertahan tiga tahun akhirnya jalan lagi—pelan, tapi pasti. Dan mungkin, justru di bawah langit yang sama, kisah ini baru aja dimulai.


"Di bawah langit yang sama, langkah yang tertahan akhirnya bergerak lagi."




(Bersambung ke Bagian 3 (Segmen 1) — “Empat Nama, Satu Kenangan - Salah Setel Timing, Salah Baca Perasaan”)


Bagian 1 - Berpisah Untuk Berjumpa Lagi
Bagian 2 - Masih di Bawah Langit Yang Sama
Bagian 3 - Part 1 Antara Bengkel, Cinta, dan Salah Paham
bagian 3 - part 2 : kunjuNgan rutin, candaan Iwan, dan benih kesalahpahaman
Diubah oleh thumb142 31-10-2025 23:00
regmekujoAvatar border
regmekujo memberi reputasi
1
272
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan