- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Empat Nama, Satu Kenangan [ Berpisah Untuk Berjumpa Kembali ]
TS
thumb142
Empat Nama, Satu Kenangan [ Berpisah Untuk Berjumpa Kembali ]
![Empat Nama, Satu Kenangan [ Berpisah Untuk Berjumpa Kembali ]](https://s.kaskus.id/images/2025/10/26/9934_10525692_183_20251026021142.png)
Bagian 1 — Hari Terakhir di Semantara
21 Juli 2009.
Hari itu matahari terasa lain — bukan cuma hangat, tapi kayak sengaja bersinar lebih lembut, seolah ngerti kalau ini hari terakhir aku pakai seragam abu-abu. Setelah tiga tahun penuh suara mesin, tumpahan oli, dan aroma serbuk besi, akhirnya aku bebas.
Namaku Pongky Pamungkas, lulusan STM Negeri Semantara.
Hari ini aku resmi lulus — dan rasanya aneh: setengah lega, setengah bingung mau ke mana langkah kaki selanjutnya. Kayak burung yang udah buka pintu sangkarnya, tapi belum tahu arah terbang pertama.
Aku duduk di taman belakang sekolah, tempat favoritku dan Iwan Bledor, sahabat sekaligus sumber kekacauan terbesar di Semantara.
Julukan “Bledor” datang gara-gara dulu dia nyalain motor praktek di dalam kelas — knalpotnya meledak, satu kelas panik, dan guru bengkel hampir pensiun dini.
Matahari sore memantulkan warna-warni itu, kayak mural kenangan masa STM yang baru aja berakhir.
“Aku udah punya rencana hidup, Wan,” kataku sambil membuka buku catatan kecil. Bau bensin masih nempel dari saku celana.
Iwan mendengus, “Rencana? Bukannya lo bilang mau rebahan seminggu dulu?”
Aku menatap halaman pertama dan mulai menulis:
Quote:
“Wah, ini mah bukan rencana hidup, Ky,” Iwan menyeringai. “Ini katalog impian cowok mapan.”
Aku cuma nyengir. “Kalau nggak ditulis, bisa lupa. Hidup harus punya arah, Wan.”
Iwan menatapku beberapa detik, lalu nyengir licik.
“Yaudah, biar hidup lo lebih berwarna…” — SSHHHTTT! — dia nyemprot bajuku pakai pilox merah terang.
“WOY! Itu baju baru, bego!”
Dia ngakak sampai batuk. “Santai, Ky! Simbol perjuangan!”
Belum sempat aku balas, segerombolan teman datang dengan spidol dan semprotan warna-warni.
Dalam hitungan detik, seragam putihku berubah jadi kanvas abstrak.
Ada coretan aneh: ‘Pongky sang mekanik cinta ❤️’— aku nggak tahu siapa yang nulis, tapi aku punya firasat… bukan cowok.
Aku menyerah.
Hari terakhir sekolah emang harus kacau. Itu hukumnya.
Lalu… langkah kaki seseorang terdengar dari arah belakang.
Semua terdiam.
Dia datang dengan anggun — Eva Puji Astuty.
Satu-satunya alasan beberapa murid betah ikut upacara setiap Senin. Suaranya pernah bikin satu sekolah hening waktu lomba nyanyi, dan senyumnya? Bisa bikin knalpot panas dingin.
Rambut hitamnya tergerai halus, seragamnya masih rapi, lengkap dengan pita kecil di kerah.
Berbeda jauh dari kami yang udah kayak hasil percobaan gagal di bengkel cat.
Dan entah kenapa, tiap langkahnya terasa lambat. Angin sore, dedaunan jatuh, dan cahaya matahari yang menembus pepohonan — semuanya seolah setuju buat bikin momen itu jadi slow motion.
Aku menelan ludah.
Oke, ini saatnya. Aku harus tanda tangan di bajunya juga — bukan karena modus, tapi… ya, mungkin sedikit. Supaya ada kenangan.
“E–Eva…” suaraku goyah kayak motor mogok.
Dia menoleh, tersenyum sopan. “Iya, Pongky? Mau tanda tangan, ya?”
Aku mengangguk cepat. “Iya… boleh, ya?”
Langkahku terasa kayak melangkah ke altar.
Satu langkah… dua langkah… tiga langkah…
Dan—KRUK!
Batu kecil di bawah kakiku bikin aku oleng. Refleks, aku nyari pegangan — dan yang kutarik adalah ujung baju Eva.
KRREEEKK!
Suara robekan kain itu terdengar jelas di tengah keramaian. Semua terdiam sejenak… lalu, “WOOOOYYYY!!!” teriakan satu sekolah pecah bareng.
Aku terpaku. Eva menatapku dengan mata membulat, wajahnya memerah, dan—PLAK!
Satu tamparan mendarat di pipiku. Nggak keras, tapi cukup bikin dunia berhenti sepersekian detik.
Iwan jatuh terguling, ngakak nggak berhenti. “GIMANA, KY?! LEMBUT NGGAK TAMPAKANNYA?!”
Aku mengelus pipi, nyengir malu. “Yang lembut tuh nasib gue, Wan… habis ini tamat beneran, bukan cuma sekolah.”
Eva menunduk, menatap bajunya sebentar, lalu berlari pergi tanpa sepatah kata.
Aku cuma bisa berdiri diam, memandangi punggungnya yang menjauh, diterpa cahaya sore.
Dan entah kenapa, di tengah rasa malu itu, ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang hangat. Kayak hati yang baru saja dicat warna baru — merah muda.
Beberapa hari setelah kelulusan, dunia terasa sepi.
Nggak ada lagi teriakan guru bengkel, nggak ada tawa teman-teman di kantin, dan yang paling aku rindukan… nggak ada Eva yang lewat di koridor dengan langkah lembutnya.
Aku sibuk kirim lamaran ke bengkel, pabrik, toko spare part — mana aja yang nerima.
Iwan juga gitu, walau lebih sering main ke warnet ketimbang nyari kerja.
Suatu sore, kami nongkrong di warung langganan dekat lapangan.
Meja kayu, es teh setengah cair, dan suara motor RX-King yang bolak-balik.
Dari kejauhan, aku lihat dua sosok duduk di pojokan — Eva dan temannya, Anis Setiawati, si cerewet manis yang sering jadi MC acara sekolah.
Mereka kelihatan tertawa, dan entah kenapa, jantungku refleks ikut berdegup.
Aku pura-pura tenang, tapi Iwan tahu.
Dia menyeruput es tehnya sambil nyeletuk, “Ky, kalau lo masih mikirin Eva, berarti lo belum bener-bener lulus dari masa STM.”
Aku menatap cairan teh yang mulai kehabisan es.
Mungkin dia bener.
Karena yang paling susah dilupain dari sekolah bukan pelajarannya, tapi orang yang bikin alasan buat datang tiap pagi.
Malamnya, aku rebahan di kasur. Di dinding kamarku masih tergantung foto bareng teman-teman bengkel — aku, Iwan, dan yang lainnya, dengan senyum lebar dan seragam penuh pilox.
Di pojok foto itu, ada coretan kecil:
Quote:
Aku nggak tahu siapa yang nulis kalimat itu.
Tapi malam itu, kata-kata itu terasa hidup.
Karena di antara semua tanda tangan, warna cat, dan suara tawa, aku tahu satu hal pasti:
ada nama Eva di kenanganku, yang nggak akan pernah bisa dihapus — bahkan sama waktu.
(bersambung ke Bagian 2 — “Empat Nama, Satu Kenangan - Reuni di Bawah Langit Yang Sama”)
Diubah oleh thumb142 Kemarin 03:53
kubelti3 dan sipanjangnapas3 memberi reputasi
2
140
4
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan