- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
KAKTUS-KAKTUS KESEPIAN
TS
mangdana1984
KAKTUS-KAKTUS KESEPIAN
BAB 1: Diary
Izinkan aku mengkisahkan kemarau panjang yang pernah melanda harapanku. Saat kamu tak juga kutemukan setelah sekian lama, aku menulis pada sebuah diary lusuh di dalam tempurung kepala.
Aku selalu membayangkan, diary ini adalah samudra. Dan setiap kata yang kutulis adalah botol berisi pesan, dilepaskan ke ombak waktu, berharap suatu hari ia akan terdampar di pantai yang tepat—pantai di mana kamu berdiri. Malam ini, di bawah lampu jalan yang berkelip seperti mata bintang yang ragu, aku sadar: botol-botol pesanku mungkin hanyut ke dasar laut kealpaan. Atau barangkali, kamu berada di benua yang salah, menatap langit yang tak pernah sama dengan langitku.
Di sudut kafe tua tempat kita biasa berbagi cangkir kopi terakhir, aku duduk, membiarkan aroma pahit dan kenangan manis beradu di udara dingin. Sudah empat ratus delapan puluh satu hari berlalu sejak senja itu, senja yang tak pernah menemukan fajar. Kursi di hadapanku kosong, seperti juga sebagian besar ruang di dadaku. Kosong, dingin, dan dipenuhi gema janji yang perlahan memudar.
Aku membuka buku bersampul cokelat yang sudah pudar warnanya, menjejalkan pena di antara halaman yang basah oleh air mata yang tak pernah kuseka. Ini bukan sekadar buku harian; ini adalah pemakaman bagi setiap harapan yang mati, sekaligus ruang inkubasi bagi satu-satunya harapan yang tak mau pergi. Aku tak menulis untuk diingat, aku menulis agar aku tak lupa bagaimana rasanya mencintai, bahkan saat cinta itu hanya tinggal bayangan.
"Mereka bilang, cinta sejati akan menemukan jalannya," bisikku pada diriku sendiri, suaraku nyaris hilang ditelan bunyi mesin pembuat kopi. "Tapi bagaimana jika jalannya ditelan kabut, dan aku tak punya kompas selain detak jantung yang semakin lambat tanpamu?"
Aku menutup buku itu, merasakan beratnya di tanganku. Beratnya sebuah pengakuan tanpa alamat. Beratnya mengetahui bahwa cinta adalah perjalanan, tetapi aku ditinggalkan di tengah persimpangan. Mereka bilang, rindu adalah kembalinya cinta. Tapi bagaimana jika rindu itu hanya berjalan sepi di lorong yang tak berujung? Harapanku kini adalah gurun pasir, kering dan terik. Aku mencoba menanam bunga di sana, menyiraminya dengan air mata masa lalu, tapi yang tumbuh hanyalah kaktus-kaktus kesepian, tajam dan dingin.
Aku masih menunggu hujan. Bukan hujan biasa, tapi kamu. Kamu, yang seharusnya menjadi badai pemecah kemarau ini. Aku tahu ini bodoh. Tapi aku harus. Harus melacak kembali jejak janji itu, barangkali ada serpihan memori yang tertinggal, yang bisa kupungut untuk sekadar menghangatkan hatiku yang kian membeku.
Malam semakin larut. Aku bangkit, meninggalkan kafe. Bayanganku memanjang di trotoar basah embun. Aku berjalan menuju persimpangan, tempat kita berjanji bertemu suatu senja yang tak pernah datang. Dan di sanalah aku berdiri, seorang pengembara di padang tandus, yang terus mencari oase, bahkan jika itu hanya fatamorgana yang tercipta dari kerinduan yang terlalu pekat. Kemarau ini bukan hanya mengeringkan tanah, tapi juga mengikis keyakinanku. Namun, aku akan terus berjalan.
Sebab aku tahu, entah di mana, botol pesanku pasti sedang berlayar menuju pantai. Aku hanya perlu memastikan aku masih punya cukup cahaya untuk melihatnya saat ia datang.
BAB 2
Kaktus-Kaktus Kesepian
Setiap pagi, aku bangun dengan harapan yang sama: bahwa kemarau ini telah usai. Namun, jendela kamarku selalu menyajikan pemandangan langit yang sama—biru pucat, tanpa janji awan, tanpa pertanda badai yang kuinginkan.
Ritualku tak pernah berubah. Memanggang roti yang selalu terasa hambar, menyeduh teh yang gagal menghangatkan. Lalu, aku akan duduk di tepi jendela, menatap taman kecil yang dulu kita rancang. Di sanalah, di petak kecil tanah yang kering, kaktus-kaktus kesepianku tumbuh. Kaktus yang tajam, dingin, dan ironisnya, sangat pandai menyimpan air. Air yang seharusnya kuberikan padamu, kini tersimpan rapat di dalam duri pertahananku.
"Kau harus berhenti menyiksa dirimu," suara itu datang dari belakangku, lembut namun tegas.
Ia adalah pemilik rumah kontrakan di sebelahku, seorang wanita paruh baya dengan mata sehangat matahari sore dan senyum secerah mentari pagi. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum tipis, senyum yang terasa berat, seperti beban air mata yang tertahan.
"Aku tidak menyiksa diri, Nyonya Tua," ujarku, berusaha terdengar ringan. "Aku hanya sedang mengawasi bunga-bunga kaktusku tumbuh."
"Kaktus tumbuh di gurun karena tidak ada pilihan lain," balasnya sambil meletakkan sepiring kecil kue di meja. "Kau tidak di gurun. Dunia masih berputar. Kau punya pilihan untuk menanam mawar, bunga matahari, atau bahkan melupakan menanam sama sekali."
Aku tahu ia benar. Dunia kerjaku, tempat aku menghabiskan delapan jam sehari untuk menyusun angka dan memilah data, adalah pelarian yang sempurna. Di sana, aku adalah profesional yang efisien, logis, dan tak tersentuh emosi. Tapi begitu jam kerja berakhir, begitu aku kembali ke pintu rumah ini, kebohongan itu runtuh. Aku kembali menjadi diriku yang sebenarnya: seseorang yang hatinya masih menunggu surat tanpa prangko.
Suatu sore, aku memutuskan untuk berani. Aku mengambil kunci mobil dan berkendara tanpa tujuan, hingga aku sampai di Jembatan Penantian. Begitu kami menyebutnya. Itu adalah jembatan tua di atas sungai kecil yang membelah pinggiran kota. Tempat di mana, enam tahun lalu, kita mengukir inisial di pagar kayu.
Tanganku meraba ukiran yang kini ditutupi lumut tipis. Inisialku dan inisialmu. Awalnya, inisial itu terasa seperti janji. Kini, ia terasa seperti prasasti. Aku bersandar di pagar, membiarkan angin sungai menyapu wajahku.
Kemarau ini bukan hanya tentang ketidakhadiranmu. Ini tentang keheninganmu. Keheningan yang lebih menyakitkan daripada perpisahan yang diucapkan. Aku bisa menerima jika kau pergi karena pilihan, tapi aku tak sanggup menanggung jika kau hilang karena kealpaan.
"Jangan pernah mencari serpihan di tempat yang seharusnya kau tinggalkan," sebuah suara batin memperingatkanku.
Namun, di antara kaktus-kaktus kesepian di hatiku, ada satu bunga kecil yang menolak layu: keyakinan. Aku harus melacak kembali jejak janji itu. Aku harus mencari bukti bahwa botol pesanku masih memiliki arah. Aku harus memastikan bahwa kemarau ini hanya musim yang sedang berlangsung, bukan akhir dari kisah.
Aku kembali ke rumah malam itu, dengan secercah keberanian baru. Aku membuka diary lusuhku. Kali ini, aku tak menulis tentang keputusasaan. Aku menulis tentang keputusan:
Aku akan berhenti menunggu di persimpangan. Aku akan mulai berjalan di jalan yang dulu kita janjikan, dan melihat ke mana ia membawaku.
Karena jika samudra ini terlalu luas untuk pesan di dalam botol, mungkin aku harus menjadi perahu itu sendiri.
BAB 3
Kompas dari Kertas Usang
Setelah keputusan itu tertulis—di bawah penerangan rembulan yang sinis dan lampu tidur yang remang—ada perubahan halus dalam diriku. Bukan semacam ledakan semangat, melainkan sebuah denyutan kecil, seperti embun yang menetes perlahan ke akar kaktus yang haus. Aku tidak lagi menunggu hujan; aku mulai belajar bagaimana hidup di bawah terik mentari.
Tujuanku yang pertama adalah sebuah toko buku antik. Bukan untuk membeli, melainkan untuk menjual. Aku harus menukar sebagian barang lama dengan peta baru, baik literal maupun metaforis. Toko itu milik seorang pria tua dengan kacamata tebal yang selalu menyambutku dengan senyum damai, seolah ia adalah penjaga waktu yang tersisa di kota ini.
"Kau terlihat berbeda hari ini," sapanya, matanya yang bijak menatapku dari balik tumpukan novel bersampul kulit. "Ada energi yang bergerak, seperti arus sungai setelah banjir."
"Aku hanya ingin mengurangi beban, Paman," kataku, sambil meletakkan beberapa buku dan album foto lama. Semua yang kutinggalkan adalah benda-benda yang terkait dengan kenangan, kecuali satu. Aku menggenggam erat diary lusuhku.
Paman Tua itu mengambil album foto, membolak-baliknya sekilas. "Melepaskan kenangan adalah seperti menanggalkan pakaian musim dingin. Kau mungkin akan merasa dingin sebentar, tapi kau akan menyambut musim semi lebih ringan."
"Tapi bagaimana jika kenangan itu adalah satu-satunya yang tersisa dari seseorang?" tanyaku, suaraku tercekat.
Ia menatapku lurus, seolah ia membaca setiap kata yang pernah kutulis di tempurung kepala. "Kenangan itu tidak ada di foto, Nak. Ia ada di sini," katanya, menunjuk dadaku. "Jika kau membiarkannya terkunci di kertas, ia akan membusuk. Jika kau membawanya dalam perjalanan, ia akan menjadi kompas."
Kata-katanya menusuk, tetapi tidak menyakitkan. Aku kembali ke rumah dengan uang yang tak seberapa, tetapi dengan sebuah kesadaran yang bernilai tak terhingga. Diary lusuh ini bukan tempat untuk menenggelamkan pesan, melainkan panduan untuk mencari pelabuhan.
Malam harinya, aku membuka buku itu, mencari halaman-halaman yang penuh dengan detail tentangmu. Bukan detail tentang cintamu padaku, melainkan tentang dirimu.
Tanggal 14 Mei: Kamu pernah berjanji akan mengunjungi museum astronomi kecil di kota lain. Tanggal 21 Agustus: Kamu bercerita tentang keinginanmu menulis artikel tentang pembuat keramik kuno di daerah perbukitan. Tanggal 3 Januari: Kamu bilang, jika suatu hari kita terpisah, aku akan menemukanmu di tempat yang sunyi, di mana langit terasa paling dekat.
Semua itu adalah serpihan peta. Bukan peta menuju "Aku" di masa lalu, melainkan peta menuju "Kamu" di masa kini.
Aku mengambil peta fisik kotaku, dan dengan pena, aku mulai melingkari lokasi-lokasi itu. Tidak masuk akal? Tentu saja. Tapi bukankah kemarau yang kulalui ini juga tidak masuk akal? Cinta sejati, setidaknya yang kurasakan, adalah upaya yang melampaui nalar.
Aku mengepak tas ransel, hanya berisi pakaian secukupnya, kamera usang, dan tentu saja, diary lusuh yang kini berubah fungsi menjadi log book. Aku tidak pergi untuk mencarimu secara membabi buta. Aku pergi untuk menapaki jalan yang pernah kau inginkan, berharap bahwa di salah satu persimpangan impianmu, jalan kita akan bertemu kembali.
Di ambang pintu, aku menoleh ke arah Nyonya Tua yang kebetulan sedang menyiram kaktusnya.
"Aku pergi untuk menanam bunga matahari," kataku, tersenyum lebih lebar dari biasanya.
Ia tersenyum, senyum penuh tahu. "Selamat jalan, Nak. Hati-hati dengan badai. Kau mungkin akan menemukannya di tempat yang tak terduga."
Aku mengangguk. Aku tahu, badai pemecah kemarau itu mungkin ada di depan sana. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak lagi takut basah. Aku hanya ingin merasakan derasnya, entah itu air mata atau hujan yang dinanti.
BAB 4: Awan di Jendela Kereta
Perjalanan dimulai. Kereta meluncur pelan, membelah hamparan sawah dan perbukitan yang perlahan menjauh dari keramaian kota. Setiap putaran roda terasa seperti detak jarum jam yang baru saja dihidupkan kembali setelah lama mati. Aku duduk di dekat jendela, menatap refleksi diriku yang kini terlihat sedikit asing—lebih bersemangat, namun masih diselimuti lapisan melankolis yang tipis.
Tujuan pertamaku adalah kota yang menyimpan museum astronomi kecil yang pernah kau sebut. Kota yang kau gambarkan memiliki "langit terdekat" dengan bumi. Ini adalah pencarian yang bodoh, aku tahu. Mungkin kau hanya mengatakannya dalam sebuah candaan saat kita merencanakan masa depan yang tidak pernah terwujud. Tapi bagi Aku, janji kecil itu kini menjadi bintang penunjuk arah.
Di bangku seberang, duduklah seorang pria paruh baya. Rambutnya beruban, tetapi matanya penuh dengan kehidupan dan keingintahuan. Ia sibuk menggoreskan pensil pada buku sketsanya, sesekali mengangkat kepala untuk menatap pemandangan yang lewat. Pakaiannya sederhana, dihiasi noda cat kering yang artistik.
Setelah beberapa jam dalam keheningan yang nyaman, ia menutup buku sketsanya dan menoleh padaku.
"Kau sedang mencari sesuatu, bukan?" tanyanya, suaranya serak dan hangat.
Aku terkejut. "Apa yang membuat Anda berpikir begitu?"
"Caramu menatap cakrawala," jawabnya sambil tersenyum tipis. "Bukan melihat apa yang ada, tetapi mencari siapa yang seharusnya ada di sana. Ada jarak dalam tatapanmu."
Aku merasa telanjang. Orang asing ini, dalam sekejap, berhasil membaca halaman-halaman yang selama ini kusimpan di tempurung kepala. Aku memutuskan untuk jujur.
"Aku mencari jejak janji yang tertunda," kataku. "Sebuah tempat yang pernah dijanjikan oleh seseorang yang kini hilang tanpa kabar."
"Ah, janji," ia mengangguk-angguk. "Janji itu seperti awan. Kadang ia terlihat jelas dan penuh harapan, kadang ia berubah bentuk, dan kadang... ia hanya menguap. Kau harus belajar mencintai langit, terlepas dari ada atau tidaknya awan itu."
Ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang pelukis lanskap, yang kini sedang dalam perjalanan mencari inspirasi baru. Ia bilang, ia sudah melukis ribuan matahari terbit dan terbenam, tetapi yang paling menantinya adalah warna yang belum pernah ia lihat.
"Kau terlalu fokus pada objek yang hilang," katanya, kembali pada topikku. "Kau terus menggoreskan warna hitam dan abu-abu di kanvas hatimu. Bagaimana jika kau mencoba melukis warna-warna yang ada di sekitarmu sekarang?"
Ia mengambil kembali buku sketsanya, membuka sebuah halaman yang menampilkan sketsa jembatan yang kokoh, tetapi tanpa orang.
"Aku melihatmu tadi. Kau menggenggam buku itu erat-erat," katanya, menunjuk ke diary lusuhku. "Jangan jadikan buku itu penjara untuk harapanmu. Jadikan ia kanvas untuk cerita barumu. Tulislah tentang kota yang kau lihat sekarang, tentang teh yang kau minum, tentang pohon yang dilewati kereta. Ceritakan dirimu yang sedang melakukan perjalanan ini."
Kata-katanya seperti tiupan angin yang mengubah arah layar. Aku selalu menulis untuk Kamu. Aku selalu berharap Kamu membacanya. Tetapi ia benar, jika aku terus menulis tentang kehilangan, aku akan kehilangan diriku sendiri.
Aku menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya, bau debu dan uap kereta terasa nyata, bukan sekadar latar belakang penantianku. Aku mengambil pena, membuka halaman baru di diary lusuh itu.
Di sana, aku tidak menulis tentang dirimu. Aku menulis tentang langit yang kini terlihat dari jendela kereta, tentang pelukis dengan mata bijak di seberangku, dan tentang Aku, yang sedang bergerak, bukan lagi terdiam.
Ini bukan akhir dari pencarianku. Tapi ini adalah awal dari pergeseran. Aku tidak lagi mencari dirimu di masa lalu. Aku mencari diriku yang baru, di masa kini. Dan mungkin, hanya dengan cara itulah, botol pesanku akan berlabuh di pantai yang benar.
reverbriks memberi reputasi
1
81
2
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan