Utang, dalam dunia bisnis, sering dianggap sebagai pisau bermata dua, bisa membantu pertumbuhan bisnis, tetapi juga bisa merusak bisnis secara cepat. Banyak pengusaha terjebak dalam kesan bahwa pinjaman modal adalah solusi ajaib untuk memperluas usaha. Namun, di balik setiap rupiah yang dipinjam, ada beban bunga, tekanan deadline, dan risiko gagal bayar yang terus mengancam. Kesalahan terbesar bukan terletak pada sikap berutang, melainkan pada cara berpikir yang menganggap utang sebagai jalan pintas, bukan sebagai tanggung jawab jangka panjang. Jika arus kas tidak seimbang dengan kewajiban cicilan, bisnis yang secara tampak sedang berkembang sebenarnya sedang mengalami krisis dari dalam.

Krisis banyak usaha kecil dan menengah saat ini terutama dimulai dari ambisi ekspansi yang tidak terencana, ditambah budaya pamer sukses semu. Banyak pelaku usaha terjebak dalam gaya hidup sukses instan, memperluas usaha dengan dana pinjaman tanpa memahami siklus keuangan dan risiko pasar. Saat pendapatan menurun, karena pandemi, inflasi, atau perubahan perilaku konsumen, utang yang sebelumnya dianggap sebagai alat bantu bisa berubah jadi beban yang mengancam. Ironisnya, beberapa pengusaha lebih memilih menambal kekurangan dengan pinjaman baru ketimbang memperbaiki fondasi bisnis mereka sendiri.

Masalah utang bukan hanya soal angka di neraca keuangan, melainkan juga soal mentalitas. Dalam banyak kasus, kebangkrutan bukan disebabkan oleh kurangnya pelanggan, tetapi oleh manajemen keuangan yang lemah dan ketergantungan terhadap pinjaman eksternal. Dunia bisnis modern sering menawarkan narasi "tumbuh tanpa batas", tetapi sejarah membuktikan bahwa bisnis yang bertahan lama bukanlah yang paling cepat berkembang, melainkan yang paling disiplin dalam menjaga keseimbangan antara utang dan arus kas. Jadi, bukan utang yang salah, melainkan cara manusia memperlakukan utang tanpa memahami risiko yang lebih dalam yang akhirnya membuat bisnis hancur bahkan sebelum sempat berkembang.