Isu "ramalan Nostradamus" mengenai perang antara Indonesia dan Australia memang menarik untuk dibahas, tetapi harus dilihat secara kritis. Sebab, ramalan tersebut sebenarnya tidak pernah secara eksplisit menyebutkan nama kedua negara. Yang lebih penting bukanlah apakah perang itu benar-benar akan terjadi, melainkan apa yang bisa kita pelajari dari kemungkinan itu. Jika kita menganalisis secara realistis, perbandingan kekuatan militer Indonesia dan Australia menunjukkan dua arah yang berbeda, Australia mengandalkan teknologi, aliansi dengan negara-negara Barat, serta sistem pertahanan modern, sedangkan Indonesia memiliki keunggulan geografis, jumlah personel yang besar, serta semangat nasionalisme yang mendarah daging.

Namun, jika perang benar-benar terjadi, masih dalam skenario hipotetis, pertarungan tidak hanya bergantung pada rudal dan jet tempur, tetapi juga pada daya tahan politik, ekonomi, dan psikologis rakyat. Meski Australia mungkin bisa mendominasi pada awal pertempuran karena keunggulan teknologinya, Indonesia memiliki keunggulan dalam medan perang dan kemampuan bertahan di wilayah yang luas dan sulit dijangkau. Sejarah dunia telah menunjukkan bahwa perang tidak selalu dimenangkan oleh yang paling canggih, tetapi oleh yang paling tahan.

Ironisnya, kemungkinan perang antara kedua negara lebih banyak muncul dari perbedaan pandangan politik dan ketegangan global, bukan dari keinginan rakyat kedua bangsa itu. Indonesia dan Australia terletak di wilayah yang dekat, tetapi sering kali ditempatkan dalam posisi yang berlawanan karena pengaruh kekuatan besar di luar kawasan. Di sinilah letak kritiknya, dalam sistem global modern, negara berkembang sering kali menjadi alat atau bidak politik, bukan sebagai aktor bebas yang dapat menentukan nasib sendiri.

Oleh karena itu, alih-alih terjebak dalam wacana mengenai ramalan perang, Indonesia seharusnya fokus memperkuat kemandirian pertahanan dan diplomasi. Bukan untuk menyerang, tetapi untuk memastikan bahwa siapapun, termasuk sekutu maupun musuh, tidak bisa menundukkan kesetiaan terhadap kedaulatan bangsa ini. Di dunia yang semakin tidak pasti, "perang" terbesar bukanlah antara tentara dan senjata, tetapi antara kesadaran nasional dan pengaruh global. Dan dalam perang semacam itu, bangsa yang menang adalah bangsa yang tetap berpikir jernih ketika dunia mulai kehilangan akal.