- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pemasangan Stiker “Keluarga Miskin” Tidak Etis


TS
sepedhapancal
Pemasangan Stiker “Keluarga Miskin” Tidak Etis
Pemerintah sering menggunakan stiker “Keluarga Miskin” di rumah penerima bantuan sosial (bansos) dengan tujuan menciptakan transparansi, memudahkan pendataan, dan memastikan bantuan tepat sasaran. Secara administratif, langkah ini terlihat sederhana dan efisien. Namun, bila ditinjau dari sisi etika dan sosial, cara ini tidak bijaksana serta berpotensi menimbulkan dampak negatif jangka panjang.
Pertama, pemasangan stiker semacam itu menimbulkan stigmatisasi. Rumah yang ditandai seolah menjadi simbol kemiskinan yang bisa menurunkan martabat penghuninya di mata masyarakat. Rasa malu, minder, bahkan diskriminasi sosial dapat dialami oleh keluarga tersebut, terutama oleh anak-anak yang tumbuh dengan label “keluarga miskin” melekat di rumah mereka. Bantuan sosial seharusnya memulihkan martabat, bukan justru mengikisnya.
Kedua, langkah ini tidak menjamin efektivitas pengawasan. Masyarakat memang bisa melihat siapa penerima bantuan, tetapi hal itu mudah disalahgunakan untuk pergunjingan sosial atau kecemburuan, bukan untuk memastikan keadilan distribusi. Padahal, pengawasan bisa dilakukan secara tertutup melalui mekanisme RT/RW, pendataan daring, dan audit lapangan oleh petugas resmi.
Ketiga, dalam era digital saat ini, teknologi mampu menggantikan metode lama yang berpotensi melukai perasaan warga. Sistem berbasis data digital, QR code, atau aplikasi kependudukan memungkinkan verifikasi penerima bantuan secara cepat, aman, dan tanpa mempermalukan siapa pun. Dengan cara ini, transparansi tetap terjaga tanpa harus mengorbankan privasi.
Sebagai negara yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, kebijakan publik seharusnya tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga berempati secara moral. Karena itu, pemasangan stiker “keluarga miskin” sebaiknya dihentikan dan diganti dengan sistem digital yang lebih modern, bermartabat, dan manusiawi.
Pertama, pemasangan stiker semacam itu menimbulkan stigmatisasi. Rumah yang ditandai seolah menjadi simbol kemiskinan yang bisa menurunkan martabat penghuninya di mata masyarakat. Rasa malu, minder, bahkan diskriminasi sosial dapat dialami oleh keluarga tersebut, terutama oleh anak-anak yang tumbuh dengan label “keluarga miskin” melekat di rumah mereka. Bantuan sosial seharusnya memulihkan martabat, bukan justru mengikisnya.
Kedua, langkah ini tidak menjamin efektivitas pengawasan. Masyarakat memang bisa melihat siapa penerima bantuan, tetapi hal itu mudah disalahgunakan untuk pergunjingan sosial atau kecemburuan, bukan untuk memastikan keadilan distribusi. Padahal, pengawasan bisa dilakukan secara tertutup melalui mekanisme RT/RW, pendataan daring, dan audit lapangan oleh petugas resmi.
Ketiga, dalam era digital saat ini, teknologi mampu menggantikan metode lama yang berpotensi melukai perasaan warga. Sistem berbasis data digital, QR code, atau aplikasi kependudukan memungkinkan verifikasi penerima bantuan secara cepat, aman, dan tanpa mempermalukan siapa pun. Dengan cara ini, transparansi tetap terjaga tanpa harus mengorbankan privasi.
Sebagai negara yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, kebijakan publik seharusnya tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga berempati secara moral. Karena itu, pemasangan stiker “keluarga miskin” sebaiknya dihentikan dan diganti dengan sistem digital yang lebih modern, bermartabat, dan manusiawi.




cakcendol dan tiokyapcing memberi reputasi
0
430
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan