Ironis tapi nyata, generasi yang disebut paling paham teknologi justru sering terjebak dalam kabut informasi palsu. Gen Z yang tumbuh di tengah berbagai media sosial kini lebih percaya pada video pendek 15 detik di TikTok daripada membaca berita dari sumber terpercaya. Mereka lebih sibuk mencari sensasi daripada kebenaran, lebih cepat bereaksi daripada berpikir. Informasi viral dianggap benar, opini influencer dianggap sebagai fakta mutlak, dan algoritma menentukan apa yang mereka percaya. Padahal, di balik setiap konten viral sering terkandung framing, manipulasi, bahkan propaganda yang dirancang untuk memengaruhi opini massa tanpa disadari.

Masalahnya bukan hanya karena malas membaca, tapi juga hilangnya kebiasaan berpikir kritis. Gen Z tumbuh di lingkungan digital yang menyukai kecepatan dan visual, bukan keakuratan. Mereka sekarang lebih mencari sumber yang ramai, relevan, dan sering muncul di beranda, bukan sumber yang bisa diverifikasi. Akibatnya, batas antara fakta dan fiksi makin kabur. Hoaks jadi dianggap benar karena diulang berulang dalam bentuk konten yang menghibur. Fenomena ini menciptakan generasi yang tahu banyak hal tapi dangkal, reaktif, dan mudah dipengaruhi.

Mirisnya, sebagian Gen Z bahkan merasa bangga menjadi "anti-mainstream" dengan menolak media utama, padahal mereka justru jadi korban disinformasi yang lebih halus. Mereka lupa bahwa kebebasan berekspresi tanpa tanggung jawab hanya melahirkan kebingungan informasi. Kritis bukan berarti percaya semua teori konspirasi di TikTok, tapi bisa menilai, mencari, dan membedakan mana data, mana dramatisasi.

Jika kondisi ini terus berlangsung, kita sedang menyaksikan lahirnya generasi yang tidak lagi haus pengetahuan, melainkan candu kebodohan digital. Generasi yang cepat percaya tapi sulit memahami, cepat menyalahkan tapi malas memverifikasi. Di era di mana semua orang bisa jadi sumber berita, mampu berpikir kritis seharusnya jadi perlindungan utama. Sayangnya, bagi banyak Gen Z sekarang, kebenaran tidak dicari tetapi cukup di-scroll dan di-like.