Cinta sering kali disampaikan sebagai sesuatu yang mulia, indah, dan abadi. Tapi di dunia nyata, cinta tidak selalu seperti itu. Banyak pasangan memutuskan menikah bukan karena siap, tapi karena tekanan dari sekitar, merasa tertekan karena usia, atau merasa takut sendirian. Cinta yang belum matang dijodohkan ke pelaminan, lalu tidak siap ketika kehidupan rumah tangga tidak seperti yang dijanjikan di hari pernikahan. Mereka mengetahui bahwa cinta tidak bisa menyembunyikan ketidakdewasaan, tidak bisa menggantikan komunikasi yang buruk, dan tidak bisa bertahan ketika ada ego yang saling ingin diakui tapi tidak mau memahami. Perceraian jadi jalan keluar, bukan solusi, tanda bahwa banyak orang menikah karena ingin bahagia, tapi tidak siap menghadapi prosesnya.

Perceraian saat ini bukan hanya tentang kehilangan cinta, tapi juga tentang krisis makna dalam hubungan. Banyak orang lebih sibuk mencintai citra pasangan daripada manusianya sendiri. Mereka jatuh cinta pada versi ideal yang mereka bayangkan, bukan pada kehidupan nyata. Ketika versi ideal itu hancur, saat pasangan mulai menunjukkan kelemahan, kebiasaan buruk, atau membuat kekecewaan, cinta jadi rentan. Padahal, cinta sehat seharusnya bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian menerima ketidaksempurnaan dengan sadar. Namun di era yang serba instan, cinta jadi seperti makanan ringan yang cepat habis, jika rasa hambar, langsung diabaikan.

Kita hidup di zaman di mana orang mudah jatuh cinta, tapi sulit bertahan dalam cinta. Media sosial sering menampilkan kehidupan pasangan lain yang tampak sempurna, membuat banyak orang membandingkan dan merasa hubungannya tidak baik. Padahal, setiap hubungan punya luka dan perjuangan yang tidak terlihat. Perceraian meningkat karena banyak orang lupa bahwa cinta bukan hanya perasaan, tapi komitmen yang membutuhkan disiplin emosional dan kesabaran panjang. Cinta sejati tidak tumbuh dari pujian, melainkan dari kemampuan bertahan di tengah badai.

Banyak perceraian tidak karena cinta hilang, tapi karena cinta tidak dirawat. Karena kita lupa bahwa cinta bukan benda mati yang bisa disimpan di lemari pernikahan, melainkan sesuatu yang hidup dan butuh perawatan, dengan pengertian, komunikasi, dan penghargaan. Selama manusia lebih sibuk mencari pasangan yang sempurna daripada berusaha menjadi pasangan yang dewasa, perceraian akan terus jadi cermin yang pahit, bahwa di balik kata "cinta selamanya", sering menyimpan ego yang belum siap tumbuh bersama.