- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[CERPEN] ARIgatou


TS
aurora..
[CERPEN] ARIgatou
Pagi itu, halaman panti asuhan khusus anak telantar dipenuhi suara tawa anak-anak yang berlarian di bawah sinar matahari. Di antara mereka, tampak seorang anak laki-laki dengan rambut ikal sebahu yang dikuncir tinggi, matanya bersinar penuh semangat. Dialah Ari Tanjung Nugroho, anak laki-laki 13 tahun yang dikenal paling supel sekaligus paling pemberani di panti itu.
“GOOOOLLLLL!!!!” teriak Ari riang, setelah berhasil menendang bola plastik ke arah gawang yang terbuat dari dua sandal jepit butut
Teman-temannya bersorak, beberapa memeluk Ari, beberapa lagi merasa malu karena kalah. Ari mengangkat tangannya, wajah tampannya memerah oleh panas dan gerakan yang intens.
Namun di balik tawa itu, tubuhnya terasa lemah. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun cepat. Ari mencoba menyembunyikan rasa pusing yang mulai datang, tetapi pandangannya semakin kabur.
“Rafa... aku duduk sebentar, ya,” ucap Ari, sambil menepuk pundak Rafa
Rafa mengangguk. Ari berjalan pelan ke bawah pohon mangga di tepi halaman dan duduk. Kakinya gemetar, dan ketika ia mengusap hidungnya, tangannya langsung penuh darah.
***
Beberapa hari kemudian, Ari duduk di ruang perawatan kecil di rumah sakit. Pemilik panti asuhan, Bu Sulastri, menggenggam tangannya erat. Di hadapan mereka, seorang dokter muda dengan wajah serius membuka amplop hasil pemeriksaan medis.
“Ari... kadar sel darah putihnya sangat tinggi. Kami sudah melakukan biopsi sumsum tulang dan hapusan darah tepi.” ucap dokter itu
Dokter itu menarik napas, menatap Ari dan Bu Sulastri secara bergantian.
“Hasilnya menunjukkan bahwa Ari menderita leukemia akut tipe ALL sel T.” lanjut dokter itu
Kata leukemia akut membuat udara di ruangan itu seakan membeku. Ari memandang lantai, jari-jarinya saling bertaut.
“Leukemia, Dok?” tanya Ari, suaranya lirih, nyaris tidak terdengar
“Iya, Nak. Tapi jangan takut. Dengan kemoterapi rutin dan dukungan dari orang lain, kamu bisa sembuh,” ucap dokter itu
Namun, Ari tahu dari tatapan mata Bu Sulastri yang mulai berkaca-kaca, bahwa hidup Ari tidak akan lama lagi.
Malamnya, di kamar panti yang berisi enam ranjang besi, Ari terbaring menatap langit-langit. Rambut ikalnya yang panjang menyentuh bantal, dan Ari memegang ujung rambutnya.
“Rambutku bakal rontok, ya, Bu Sulastri?” tanya Ari sambil menangis pelan
Bu Sulastri tersenyum lembut.
“Kalau pun rambutmu habis, nanti tumbuh lagi, Nak. Yang penting kamu sembuh dulu.” ucap Bu Sulastri, sambil mengelus pelan kepala Ari
Ari mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia merasa takut. Takut akan infus, operasi, rumah sakit, dan yang paling mengganggu, takut mati.
***
Perawatan Ari dimulai dengan obat kemoterapi bernama sitarabin. Cairan bening itu mengalir melalui selang infus ke pembuluh darah di lengannya. Setiap kali, tubuhnya terasa dingin dan lemas. Mual, muntah, bahkan tidak jarang anemia berat menyerang Ari setelahnya.
Namun, Ari selalu berusaha tersenyum ketika Bu Sulastri datang menjenguk.
“Lihat, Bu, rambutku sekarang jadi kayak anak geng motor!” ucap Ari, sambil menunjuk kepalanya yang mulai gundul
“Wah, cocok juga. Mungkin, kamu calon pria pemberani,” jawab Bu Sulastri, tertawa kecil menahan haru
Suatu sore, saat Ari duduk di taman kecil di rumah sakit, seorang perempuan muda datang menghampiri. Rambutnya yang panjang dikuncir rendah, memakai kaus bergambar kelinci lucu dan celana jeans panjang. Di tangannya, ada beberapa buku sketsa dan laptop.
“Hai, nama kamu Ari, ya?” tanyanya ramah
Ari mengangguk.
“Iya. Kakak siapa?” tanya Ari ragu
“Aku Amelia. Aku biasa ikut kegiatan sosial di sini. Dengar-dengar, kamu suka menggambar, ya?” tanya Amelia ramah
Ari mengerjap heran.
“Iya, tapi cuma di buku gambar.” jawab Ari jujur
Amelia tersenyum.
“Mulai hari ini, kamu pakai laptopku. Aku ajari kamu cara desain pakai software grafis. Tapi, ada syaratnya.” ucap Amelia
“Syarat?” tanya Ari heran
“Kamu harus bantuin aku bikin desain sampul buku. Kalau bagus, nanti aku kasih upah. Tapi bukan uang banyak, biar kamu belajar lebih mandiri.” ucap Amelia
Ari tertawa kecil.
“Oke, Kak. Tapi, nanti aku boleh kasih tanda tangan di pojoknya, ya?” tanya Ari
“Boleh.” jawab Amelia
***
Hari-hari berikutnya terasa lebih berarti bagi Ari. Di sela-sela jadwal kemoterapi, Ari belajar bersama Amelia di taman rumah sakit. Laptop di pangkuannya, selang infus di sampingnya, dan wajahnya berseri-seri setiap kali karyanya dipuji Amelia.
“Bagus, Ari! Komposisi warnanya pas banget,” puji Amelia
Ari tersenyum bangga.
“Aku suka warna merah. Kayak matahari sore. Hangat.” ucap Ari
Amelia menatapnya lama. Ada sesuatu pada anak itu, yaitu semangat hidup yang luar biasa meski tubuhnya melemah.
Dari bimbingan kecil-kecilan itu, Ari mulai mendesain sampul buku untuk catatan harian, poster, hingga papan tulis khusus untuk menulis agenda harian. Amelia membantu menjual barang-barang itu secara online.
Setiap kali Ari berhasil menjual produknya dan mendapatkan satu juta rupiah, Amelia memberinya uang lima ribu sebagai uang keberanian.
“Kenapa cuma lima ribu, Kak?” tanya Ari suatu hari, sambil tertawa
“Karena keberanian itu nggak bisa diukur dengan uang banyak, Ari. Tapi setiap lima ribu ini, kamu pakai buat beli apa yang kamu suka. Jadi kamu tahu rasanya hasil kerja keras sendiri.” ucap Amelia
Ari menabung uang itu di celengan kecil di meja kamarnya di panti asuhan
***
Dua tahun berlalu. Ari melewati masa-masa sulit penuh rasa sakit. Tubuhnya kerap didera rasa pegal yang luar biasa, tetapi setiap kali melihat laptopnya, semangatnya kembali.
Ketika teman-temannya di panti asuhan berangkat sekolah, Ari tetap belajar di panti asuhan, dibimbing oleh beberapa orang pengajar yang sabar. Ari juga tetap mengirim desainnya ke Amelia, yang kini sudah seperti kakak kandung baginya.
Suatu malam, saat ia menjalani rawat inap karena anemia berat, Ari menulis di buku catatannya.
[Kalau aku sembuh, aku mau kuliah desain grafis. Aku mau bikin perusahaan sendiri. Aku mau buktikan, bahwa orang sakit pun bisa punya mimpi.]
Waktu berjalan. Dokter tersenyum pada hasil pemeriksaan terakhirnya.
“Ari, kamu anak yang tangguh. Kankermu sudah sembuh. Kita akan terus memantau, tapi untuk sekarang, kamu boleh berhenti kemoterapi.” ucap dokter itu
Ari menatap Bu Sulastri dan Amelia yang menunggunya di pintu ruangan. Air mata tumpah di pipinya.
“Kakak... Ibu... aku sembuh?” tanya Ari
Amelia tersenyum lebar.
“Iya, Nak. Kamu anak yang kuat.” puji Amelia tulus
Ari berlari kecil dan memeluknya erat.
***
Empat tahun setelah diagnosis kanker pertamanya, Ari berusia 17 tahun. Ari lulus ujian nasional SMA dengan nilai terbaik di sekolahnya. Beberapa media lokal bahkan menulis kisah perjuangannya melawan kanker.
Suatu sore, di bawah pohon mangga yang dulu jadi tempatnya pertama kali sakit, Ari menatap langit senja yang memerah.
“Kak Amelia,” sapa Ari, ketika Amelia datang membawa dua gelas es teh
“Kalau dulu Kakak nggak datang, mungkin aku sudah nggak kuat duluan.” lanjut Ari
Amelia duduk di sampingnya.
“Kalau kamu nggak kuat, mungkin aku yang bakal merasa gagal menolong orang.” ucap Amelia
Ari menunduk, memegang uang lima ribu terakhir yang ia simpan di dompet kecil.
“Aku masih simpan semuanya, Kak. Seribu dua ratus lembar. Enam juta keberanian.” ucap Ari
Amelia menatapnya dengan mata berkaca.
“Gunakan uangnya dengan bijak, ya. Itu tanda kalau kamu sudah bisa berdiri sendiri.” ucap Amelia
***
Ari diterima di universitas negeri dengan jurusan Desain Komunikasi Visual. Ari berangkat naik kereta ke kota besar, membawa laptop hadiah dari para donatur panti asuhan.
Amelia mengantarnya ke stasiun kereta.
“Kamu sudah besar, Ari. Jangan lupa jaga kesehatan, jangan makan mie instan,” ucap Amelia sambil menepuk bahu Ari
Ari tertawa.
“Iya, Kak Dokter desain.” ucap Ari dengan nada bercanda
Amelia tersenyum.
“Kak Dokter desain?” ulang Amelia
“Soalnya Kakak yang sembuhkan aku lewat warna.” ucap Ari
Kereta melaju pelan. Dari jendela kereta, Ari melambaikan tangan ke Amelia sambil berteriak.
“Arigatou gozaimasu, Ameria-san!” teriak Ari dengan logat Jepang yang kental, hingga orang-orang menoleh
Amelia menatap bayangan wajah Ari yang menjauh, dan dalam hatinya Amelia berdoa, supaya anak itu benar-benar menemukan kebahagiaan.
***
Waktu berjalan cepat. Di usia 17 tahun, Ari mulai dikenal sebagai desainer muda yang berbakat. Ari memenangkan lomba desain grafis nasional dengan karya bertema kekuatan dalam warna.
Karya-karyanya mulai dipakai oleh penerbit besar, perusahaan, bahkan lembaga sosial internasional. Ari membangun bisnis sendiri yang bernama Studio Nugroho, dan memperkerjakan banyak anak kecil dari panti asuhan lain.
Dalam satu wawancara televisi, pembawa acara bertanya.
“Mas Ari, apa rahasia sukses Anda?” tanya pembawa acara itu
Ari tersenyum kecil, mengambil napas, lalu menjawab.
“Rahasia saya sederhana, yaitu terus menghadapi hidup dengan penuh kekuatan dan terus berterima kasih. Arigatou gozaimasu untuk semua orang yang sudah mendukung saya.” jawab Ari
Semua orang bertepuk tangan. Namun, di dalam hatinya, Ari tahu, kalimat itu hanya untuk satu orang, yaitu Amelia.
***
Sore itu, aula universitas dipenuhi ratusan tamu. Ari berdiri di panggung besar, menerima penghargaan sebagai desainer grafis termuda dan terkaya di Indonesia. Lampu kilat kamera menyala dari segala arah.
Panitia memberinya mikrofon, berharap Ari bisa berpidato panjang. Namun, Ari hanya menatap penonton, menunduk sejenak, lalu berkata pelan dengan suara bergetar.
“Arigatou gozaimasu, Amelia.” ucap Ari tulus
Hening sesaat. Lalu, tepuk tangan bergema di seluruh ruangan.
Amelia, yang duduk di barisan depan dengan mata berkaca, menunduk, menutup mulutnya karena menahan tangis. Amelia tidak butuh pujian, cukup dengan satu kata itu.
***
Setahun setelah acara itu, Ari datang ke panti asuhan membawa bunga dan kotak kecil. Ari kini berumur 18 tahun, tubuhnya tinggi, rambutnya kembali gondrong sebahu seperti dulu, tetapi wajahnya jauh lebih dewasa dengan janggut yang tumbuh sedikit.
“Kak Amelia,” sapa Ari ketika bertemu wanita itu di taman yang sama tempat mereka pertama kali belajar desain
“Aku mau ngomong sesuatu.” lanjut Ari
Amelia tersenyum.
“Apa, Ari?” tanya Amelia
Ari membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, ada cincin emas sederhana, dengan ukiran huruf Jepang di dalamnya yang berbunyi “ARIGATOU”.
“Waktu aku kecil, Kakak ngajarin aku tentang arti kekuatan, keberanian, dan pentingnya berterima kasih. Sekarang, aku ingin terus berterima kasih kepadamu seumur hidup... sebagai suamimu.” ucap Ari tulus
Amelia terpaku, tidak mampu menahan air matanya.
“Ari... kamu serius?” tanya Amelia sambil menangis bahagia
Ari menatap matanya dalam-dalam.
“Aku serius. Aku pernah hampir mati karena kanker. Sekarang, aku ingin menjalani sisa hidupku dengan orang yang mengajarkan aku tentang arti hidup.” ucap Ari
Mereka menikah beberapa bulan kemudian, di sebuah rumah ibadah di Semarang, dengan disaksikan oleh teman-teman Ari di panti asuhan dulu, dan Bu Sulastri yang kini lanjut usia.
Ari mengenakan jas putih, rambut gondrongnya yang tumbuh lagi diikat tinggi, seperti dulu saat ia bermain bola. Amelia mengenakan gaun kemben panjang berwarna putih.
Ketika pemberkatan selesai, Ari menggenggam tangan istrinya dan berbisik pelan di telinganya.
“Arigatou gozaimasu, Ameria-san.” ucap Ari tulus
***
Beberapa tahun kemudian, di dinding utama studio desain milik Ari, terpajang sebuah poster motivasi, bahwa hidup adalah tentang menciptakan warna bagi dunia, bahkan ketika seluruh dunia sudah berubah menjadi abu-abu.
Setiap kali Ari menjadi tentor untuk anak-anak telantar di berbagai panti asuhan, Ari selalu bercerita tentang seorang wanita yang mengajarinya untuk tetap produktif dan mandiri di tengah rasa sakit.
Dan setiap kali mereka bertanya siapa nama wanita itu, Ari hanya tersenyum dan menunjuk ke arah foto besar di dinding, foto seorang wanita yang tersenyum sambil memegang laptop.
“Dia bukan hanya guruku,” ucap Ari lembut
“Dia adalah alasanku untuk tetap kuat dan berani.” lanjut Ari
Lalu, Ari berkata di depan murid-muridnya dengan nada sangat mantap.
“Arigatou gozaimasu, Ameria-san.” ucap Ari
TAMAT
“GOOOOLLLLL!!!!” teriak Ari riang, setelah berhasil menendang bola plastik ke arah gawang yang terbuat dari dua sandal jepit butut
Teman-temannya bersorak, beberapa memeluk Ari, beberapa lagi merasa malu karena kalah. Ari mengangkat tangannya, wajah tampannya memerah oleh panas dan gerakan yang intens.
Namun di balik tawa itu, tubuhnya terasa lemah. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun cepat. Ari mencoba menyembunyikan rasa pusing yang mulai datang, tetapi pandangannya semakin kabur.
“Rafa... aku duduk sebentar, ya,” ucap Ari, sambil menepuk pundak Rafa
Rafa mengangguk. Ari berjalan pelan ke bawah pohon mangga di tepi halaman dan duduk. Kakinya gemetar, dan ketika ia mengusap hidungnya, tangannya langsung penuh darah.
***
Beberapa hari kemudian, Ari duduk di ruang perawatan kecil di rumah sakit. Pemilik panti asuhan, Bu Sulastri, menggenggam tangannya erat. Di hadapan mereka, seorang dokter muda dengan wajah serius membuka amplop hasil pemeriksaan medis.
“Ari... kadar sel darah putihnya sangat tinggi. Kami sudah melakukan biopsi sumsum tulang dan hapusan darah tepi.” ucap dokter itu
Dokter itu menarik napas, menatap Ari dan Bu Sulastri secara bergantian.
“Hasilnya menunjukkan bahwa Ari menderita leukemia akut tipe ALL sel T.” lanjut dokter itu
Kata leukemia akut membuat udara di ruangan itu seakan membeku. Ari memandang lantai, jari-jarinya saling bertaut.
“Leukemia, Dok?” tanya Ari, suaranya lirih, nyaris tidak terdengar
“Iya, Nak. Tapi jangan takut. Dengan kemoterapi rutin dan dukungan dari orang lain, kamu bisa sembuh,” ucap dokter itu
Namun, Ari tahu dari tatapan mata Bu Sulastri yang mulai berkaca-kaca, bahwa hidup Ari tidak akan lama lagi.
Malamnya, di kamar panti yang berisi enam ranjang besi, Ari terbaring menatap langit-langit. Rambut ikalnya yang panjang menyentuh bantal, dan Ari memegang ujung rambutnya.
“Rambutku bakal rontok, ya, Bu Sulastri?” tanya Ari sambil menangis pelan
Bu Sulastri tersenyum lembut.
“Kalau pun rambutmu habis, nanti tumbuh lagi, Nak. Yang penting kamu sembuh dulu.” ucap Bu Sulastri, sambil mengelus pelan kepala Ari
Ari mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia merasa takut. Takut akan infus, operasi, rumah sakit, dan yang paling mengganggu, takut mati.
***
Perawatan Ari dimulai dengan obat kemoterapi bernama sitarabin. Cairan bening itu mengalir melalui selang infus ke pembuluh darah di lengannya. Setiap kali, tubuhnya terasa dingin dan lemas. Mual, muntah, bahkan tidak jarang anemia berat menyerang Ari setelahnya.
Namun, Ari selalu berusaha tersenyum ketika Bu Sulastri datang menjenguk.
“Lihat, Bu, rambutku sekarang jadi kayak anak geng motor!” ucap Ari, sambil menunjuk kepalanya yang mulai gundul
“Wah, cocok juga. Mungkin, kamu calon pria pemberani,” jawab Bu Sulastri, tertawa kecil menahan haru
Suatu sore, saat Ari duduk di taman kecil di rumah sakit, seorang perempuan muda datang menghampiri. Rambutnya yang panjang dikuncir rendah, memakai kaus bergambar kelinci lucu dan celana jeans panjang. Di tangannya, ada beberapa buku sketsa dan laptop.
“Hai, nama kamu Ari, ya?” tanyanya ramah
Ari mengangguk.
“Iya. Kakak siapa?” tanya Ari ragu
“Aku Amelia. Aku biasa ikut kegiatan sosial di sini. Dengar-dengar, kamu suka menggambar, ya?” tanya Amelia ramah
Ari mengerjap heran.
“Iya, tapi cuma di buku gambar.” jawab Ari jujur
Amelia tersenyum.
“Mulai hari ini, kamu pakai laptopku. Aku ajari kamu cara desain pakai software grafis. Tapi, ada syaratnya.” ucap Amelia
“Syarat?” tanya Ari heran
“Kamu harus bantuin aku bikin desain sampul buku. Kalau bagus, nanti aku kasih upah. Tapi bukan uang banyak, biar kamu belajar lebih mandiri.” ucap Amelia
Ari tertawa kecil.
“Oke, Kak. Tapi, nanti aku boleh kasih tanda tangan di pojoknya, ya?” tanya Ari
“Boleh.” jawab Amelia
***
Hari-hari berikutnya terasa lebih berarti bagi Ari. Di sela-sela jadwal kemoterapi, Ari belajar bersama Amelia di taman rumah sakit. Laptop di pangkuannya, selang infus di sampingnya, dan wajahnya berseri-seri setiap kali karyanya dipuji Amelia.
“Bagus, Ari! Komposisi warnanya pas banget,” puji Amelia
Ari tersenyum bangga.
“Aku suka warna merah. Kayak matahari sore. Hangat.” ucap Ari
Amelia menatapnya lama. Ada sesuatu pada anak itu, yaitu semangat hidup yang luar biasa meski tubuhnya melemah.
Dari bimbingan kecil-kecilan itu, Ari mulai mendesain sampul buku untuk catatan harian, poster, hingga papan tulis khusus untuk menulis agenda harian. Amelia membantu menjual barang-barang itu secara online.
Setiap kali Ari berhasil menjual produknya dan mendapatkan satu juta rupiah, Amelia memberinya uang lima ribu sebagai uang keberanian.
“Kenapa cuma lima ribu, Kak?” tanya Ari suatu hari, sambil tertawa
“Karena keberanian itu nggak bisa diukur dengan uang banyak, Ari. Tapi setiap lima ribu ini, kamu pakai buat beli apa yang kamu suka. Jadi kamu tahu rasanya hasil kerja keras sendiri.” ucap Amelia
Ari menabung uang itu di celengan kecil di meja kamarnya di panti asuhan
***
Dua tahun berlalu. Ari melewati masa-masa sulit penuh rasa sakit. Tubuhnya kerap didera rasa pegal yang luar biasa, tetapi setiap kali melihat laptopnya, semangatnya kembali.
Ketika teman-temannya di panti asuhan berangkat sekolah, Ari tetap belajar di panti asuhan, dibimbing oleh beberapa orang pengajar yang sabar. Ari juga tetap mengirim desainnya ke Amelia, yang kini sudah seperti kakak kandung baginya.
Suatu malam, saat ia menjalani rawat inap karena anemia berat, Ari menulis di buku catatannya.
[Kalau aku sembuh, aku mau kuliah desain grafis. Aku mau bikin perusahaan sendiri. Aku mau buktikan, bahwa orang sakit pun bisa punya mimpi.]
Waktu berjalan. Dokter tersenyum pada hasil pemeriksaan terakhirnya.
“Ari, kamu anak yang tangguh. Kankermu sudah sembuh. Kita akan terus memantau, tapi untuk sekarang, kamu boleh berhenti kemoterapi.” ucap dokter itu
Ari menatap Bu Sulastri dan Amelia yang menunggunya di pintu ruangan. Air mata tumpah di pipinya.
“Kakak... Ibu... aku sembuh?” tanya Ari
Amelia tersenyum lebar.
“Iya, Nak. Kamu anak yang kuat.” puji Amelia tulus
Ari berlari kecil dan memeluknya erat.
***
Empat tahun setelah diagnosis kanker pertamanya, Ari berusia 17 tahun. Ari lulus ujian nasional SMA dengan nilai terbaik di sekolahnya. Beberapa media lokal bahkan menulis kisah perjuangannya melawan kanker.
Suatu sore, di bawah pohon mangga yang dulu jadi tempatnya pertama kali sakit, Ari menatap langit senja yang memerah.
“Kak Amelia,” sapa Ari, ketika Amelia datang membawa dua gelas es teh
“Kalau dulu Kakak nggak datang, mungkin aku sudah nggak kuat duluan.” lanjut Ari
Amelia duduk di sampingnya.
“Kalau kamu nggak kuat, mungkin aku yang bakal merasa gagal menolong orang.” ucap Amelia
Ari menunduk, memegang uang lima ribu terakhir yang ia simpan di dompet kecil.
“Aku masih simpan semuanya, Kak. Seribu dua ratus lembar. Enam juta keberanian.” ucap Ari
Amelia menatapnya dengan mata berkaca.
“Gunakan uangnya dengan bijak, ya. Itu tanda kalau kamu sudah bisa berdiri sendiri.” ucap Amelia
***
Ari diterima di universitas negeri dengan jurusan Desain Komunikasi Visual. Ari berangkat naik kereta ke kota besar, membawa laptop hadiah dari para donatur panti asuhan.
Amelia mengantarnya ke stasiun kereta.
“Kamu sudah besar, Ari. Jangan lupa jaga kesehatan, jangan makan mie instan,” ucap Amelia sambil menepuk bahu Ari
Ari tertawa.
“Iya, Kak Dokter desain.” ucap Ari dengan nada bercanda
Amelia tersenyum.
“Kak Dokter desain?” ulang Amelia
“Soalnya Kakak yang sembuhkan aku lewat warna.” ucap Ari
Kereta melaju pelan. Dari jendela kereta, Ari melambaikan tangan ke Amelia sambil berteriak.
“Arigatou gozaimasu, Ameria-san!” teriak Ari dengan logat Jepang yang kental, hingga orang-orang menoleh
Amelia menatap bayangan wajah Ari yang menjauh, dan dalam hatinya Amelia berdoa, supaya anak itu benar-benar menemukan kebahagiaan.
***
Waktu berjalan cepat. Di usia 17 tahun, Ari mulai dikenal sebagai desainer muda yang berbakat. Ari memenangkan lomba desain grafis nasional dengan karya bertema kekuatan dalam warna.
Karya-karyanya mulai dipakai oleh penerbit besar, perusahaan, bahkan lembaga sosial internasional. Ari membangun bisnis sendiri yang bernama Studio Nugroho, dan memperkerjakan banyak anak kecil dari panti asuhan lain.
Dalam satu wawancara televisi, pembawa acara bertanya.
“Mas Ari, apa rahasia sukses Anda?” tanya pembawa acara itu
Ari tersenyum kecil, mengambil napas, lalu menjawab.
“Rahasia saya sederhana, yaitu terus menghadapi hidup dengan penuh kekuatan dan terus berterima kasih. Arigatou gozaimasu untuk semua orang yang sudah mendukung saya.” jawab Ari
Semua orang bertepuk tangan. Namun, di dalam hatinya, Ari tahu, kalimat itu hanya untuk satu orang, yaitu Amelia.
***
Sore itu, aula universitas dipenuhi ratusan tamu. Ari berdiri di panggung besar, menerima penghargaan sebagai desainer grafis termuda dan terkaya di Indonesia. Lampu kilat kamera menyala dari segala arah.
Panitia memberinya mikrofon, berharap Ari bisa berpidato panjang. Namun, Ari hanya menatap penonton, menunduk sejenak, lalu berkata pelan dengan suara bergetar.
“Arigatou gozaimasu, Amelia.” ucap Ari tulus
Hening sesaat. Lalu, tepuk tangan bergema di seluruh ruangan.
Amelia, yang duduk di barisan depan dengan mata berkaca, menunduk, menutup mulutnya karena menahan tangis. Amelia tidak butuh pujian, cukup dengan satu kata itu.
***
Setahun setelah acara itu, Ari datang ke panti asuhan membawa bunga dan kotak kecil. Ari kini berumur 18 tahun, tubuhnya tinggi, rambutnya kembali gondrong sebahu seperti dulu, tetapi wajahnya jauh lebih dewasa dengan janggut yang tumbuh sedikit.
“Kak Amelia,” sapa Ari ketika bertemu wanita itu di taman yang sama tempat mereka pertama kali belajar desain
“Aku mau ngomong sesuatu.” lanjut Ari
Amelia tersenyum.
“Apa, Ari?” tanya Amelia
Ari membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, ada cincin emas sederhana, dengan ukiran huruf Jepang di dalamnya yang berbunyi “ARIGATOU”.
“Waktu aku kecil, Kakak ngajarin aku tentang arti kekuatan, keberanian, dan pentingnya berterima kasih. Sekarang, aku ingin terus berterima kasih kepadamu seumur hidup... sebagai suamimu.” ucap Ari tulus
Amelia terpaku, tidak mampu menahan air matanya.
“Ari... kamu serius?” tanya Amelia sambil menangis bahagia
Ari menatap matanya dalam-dalam.
“Aku serius. Aku pernah hampir mati karena kanker. Sekarang, aku ingin menjalani sisa hidupku dengan orang yang mengajarkan aku tentang arti hidup.” ucap Ari
Mereka menikah beberapa bulan kemudian, di sebuah rumah ibadah di Semarang, dengan disaksikan oleh teman-teman Ari di panti asuhan dulu, dan Bu Sulastri yang kini lanjut usia.
Ari mengenakan jas putih, rambut gondrongnya yang tumbuh lagi diikat tinggi, seperti dulu saat ia bermain bola. Amelia mengenakan gaun kemben panjang berwarna putih.
Ketika pemberkatan selesai, Ari menggenggam tangan istrinya dan berbisik pelan di telinganya.
“Arigatou gozaimasu, Ameria-san.” ucap Ari tulus
***
Beberapa tahun kemudian, di dinding utama studio desain milik Ari, terpajang sebuah poster motivasi, bahwa hidup adalah tentang menciptakan warna bagi dunia, bahkan ketika seluruh dunia sudah berubah menjadi abu-abu.
Setiap kali Ari menjadi tentor untuk anak-anak telantar di berbagai panti asuhan, Ari selalu bercerita tentang seorang wanita yang mengajarinya untuk tetap produktif dan mandiri di tengah rasa sakit.
Dan setiap kali mereka bertanya siapa nama wanita itu, Ari hanya tersenyum dan menunjuk ke arah foto besar di dinding, foto seorang wanita yang tersenyum sambil memegang laptop.
“Dia bukan hanya guruku,” ucap Ari lembut
“Dia adalah alasanku untuk tetap kuat dan berani.” lanjut Ari
Lalu, Ari berkata di depan murid-muridnya dengan nada sangat mantap.
“Arigatou gozaimasu, Ameria-san.” ucap Ari
TAMAT


hexelnov memberi reputasi
1
60
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan