- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Mini Cerbung] Rahasia Tersembunyi Riana


TS
aurora..
[Mini Cerbung] Rahasia Tersembunyi Riana
Quote:
Genre: Realistic Mystery
Rating: 13+
Target pembaca: Wanita
Rating: 13+
Target pembaca: Wanita
Quote:
Bab 1
Pagi itu, suasana rumah kecil di sebuah perkampungan sederhana tampak seperti biasanya, aroma teh manis tercium dari dapur, dan suara lembut air dari kran yang menciprat pelan ke wastafel. Namun, ada sesuatu yang tidak biasanya dalam rutinitas pagi itu, yaitu keheningan yang terlalu tebal.
Bu Mirna menatap jam dinding yang berdetak lambat, menunjukkan pukul 06:10 WIB. Biasanya, di jam seperti itu, Riana masih duduk di meja makan sambil menyeruput teh hangatnya dan membuka catatan kuliah. Namun, pagi ini, kursi di hadapannya kosong.
“Nak Riana?” panggil Bu Mirna dari ruang tengah
Tidak ada jawaban.
Bu Mirna berjalan ke kamar putrinya, mengetuk pintu pelan.
“Nak Riana, kamu belum sarapan, kan?” tanya Bu Mirna
Pintu terbuka sedikit. Dari celahnya, Bu Mirna melihat putrinya berdiri di depan cermin, merapikan rambut dengan cepat. Riana sudah berpakaian rapi, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain merah, dan ada ransel hitam di punggungnya.
“Sudah mau berangkat, Nak?” tanya Bu Mirna dengan nada sedikit heran
Riana menoleh sebentar, tersenyum tipis.
“Iya, Bu. Hari ini ada tugas kelompok di kampus, aku harus cepat.” jawab Riana
Bu Mirna menatap jam lagi.
“Tugas apa, Nak? Kan kamu bilang katanya minggu ini belum ada presentasi.” tanya Bu Mirna
“Bukan presentasi, Bu. Cuma bantuin teman. Nanti sore pulang,” jawab Riana datar, memasukkan dompetnya ke saku jaket
Jawaban itu tenang. Terlalu tenang, bahkan. Tidak ada nada gelisah, tidak ada kebohongan yang jelas, tetapi justru ketenangan itu yang membuat Bu Mirna merasakan sesuatu yang aneh.
“Kamu nggak mau makan dulu, Nak?” tanya Bu Mirna
Riana menggeleng sambil meraih sepatu.
“Nanti aja, Bu. Aku sudah makan roti tadi.” jawab Riana datar
Riana mencium tangan ibunya, lalu melangkah cepat ke luar rumah. Pintu rumah tertutup dengan suara lembut, meninggalkan Bu Mirna dalam ruang tamu yang seketika terasa dingin.
***
Riana bukan tipe anak yang banyak bicara. Sejak kecil, ia cenderung pendiam, tetapi selalu terbuka pada ibunya. Mereka seperti sahabat, sering berbagi cerita, dari urusan kampus, teman-teman, bahkan hal yang benar-benar rahasia seperti siklus menstruasi Riana. Namun, dua minggu terakhir ini, semuanya berubah.
Sejak pertengahan Desember, Riana sering pulang malam. Kadang pukul delapan, kadang hampir jam sepuluh. Alasannya selalu sama, yaitu ada tugas kampus. Padahal semester sudah hampir selesai.
Suatu malam, Bu Mirna menunggu di ruang tamu sambil membaca buku resep masakan. Saat jarum jam menunjukkan pukul 21:30 WIB, pintu depan berderit. Riana masuk dengan langkah pelan.
“Kamu dari mana, Riana?” tanya ibunya tanpa menatap
Riana meletakkan ranselnya di kursi, lalu menjawab pelan.
“Bikin laporan di rumah teman, Bu.” jawab Riana tenang
“Teman yang mana?” tanya Bu Mirna
“Teman sekelompokku, namanya Dita.” jawab Riana tenang
Bu Mirna menutup bukunya, baru kali itu menatap wajah anaknya. Mata Riana tampak lelah, tetapi bukan lelah karena kurang tidur, lebih seperti lelah karena sedang menyimpan rahasia besar.
“Kamu nggak apa-apa, kan, Nak?” tanya Bu Mirna
Riana tersenyum kecil.
“Nggak apa-apa, Bu.” jawab Riana tenang
Kalimat itu diucapkan terlalu rapi, tanpa jeda, tanpa kegugupan. Seolah sudah disiapkan dengan sangat matang.
***
Keesokan paginya, Bu Mirna membersihkan ruang tamu. Saat hendak menjemur pakaian, matanya sekilas melihat sesuatu di kamar Riana. Ransel hitam milik Riana tergeletak di lantai dekat meja belajar.
Bu Mirna menatapnya sebentar. Nalurinya berkata jangan. Namun, rasa curiga seorang ibu jauh lebih kuat dari apa pun. Bu Mirna melangkah mendekat.
Tali ransel itu kusut, ada bercak warna merah kecoklatan dan agak kuning di salah satu sisi kainnya. Ketika Bu Mirna menunduk lebih dekat, Riana tiba-tiba masuk.
“Bu!” seru Riana kaget, langsung meraih ranselnya dan menutup resletingnya rapat
“Ibu cuma mau beresin kamar kamu, Nak,” ucap Bu Mirna gugup
“Kok kamu kaget?” tanya Bu Mirna curiga
“Maaf, Bu. Aku cuma nggak mau Ibu repot.” jawab Riana tenang
Suasana hening sesaat. Riana tersenyum lagi, kali ini sedikit memaksa.
“Aku bisa bersihin sendiri kok, Bu. Nanti sore saja, ya.” ucap Riana dengan ekspresi agak defensif
Bu Mirna menatap putrinya lama-lama. Ada sedikit getaran panik di suara Riana, seperti seseorang yang menyimpan sesuatu. Namun, Bu Mirna tidak ingin langsung menuduh. Bu Mirna hanya mengangguk pelan dan keluar kamar.
Namun, sejak kejadian itu, kecurigaan kecil mulai tumbuh di kepalanya.
***
Tiga hari kemudian, Bu Mirna mendapati sesuatu yang membuatnya benar-benar cemas. Saat menyapu kamar Riana, bulu sapunya tersangkut di bawah meja belajar. Ketika Bu Mirna berjongkok untuk melepaskannya, sesuatu terbungkus kertas jatuh dari bawah laci.
Bu Mirna membuka kertas itu. Isinya ternyata uang lima ratus ribu rupiah, dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam plastik bening.
“Uang siapa ini?” gumam Bu Mirna curiga
Riana tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Uang bulanan yang Riana biasa terima dari ibunya biasanya hanya cukup untuk transportasi dan beli makanan.
Sore harinya, ketika Riana pulang, Bu Mirna menatapnya dengan gugup.
“Nak Riana, Ibu mau tanya. Kamu akhir-akhir ini kerja sampingan, ya?” tanya Bu Mirna curiga
Riana, yang baru saja membuka sepatu, berhenti sebentar, lalu tersenyum samar.
“Kenapa, Bu?” tanya Riana dengan sedikit defensif
“Ya, Ibu cuma nanya. Kamu kelihatannya capek, terus Ibu nemu uang di kamar kamu. Dari mana?” tanya Bu Mirna curiga
Riana menatap ibunya dalam-dalam, tetapi ekspresinya tetap datar.
“Aku nabung, Bu. Dari sisa uang jajan.” jawab Riana santai
“Sampai lima ratus ribu?” tanya Bu Mirna, kali ini semakin curiga
“Lumayan lama nabungnya,” jawab Riana tenang
Bu Mirna ingin menanyakan lebih jauh, tapi ada sesuatu di tatapan anaknya yang membuatnya ragu. Bukan tatapan panik, bukan juga tatapan bersalah, melainkan sangat tenang, seolah semua pertanyaan itu tidak akan mengubah apa pun.
“Ya sudah,” ucap Bu Mirna akhirnya
“Tapi, kalau kamu ada apa-apa, bilang sama Ibu, ya.” ucap Bu Mirna
Riana mengangguk, lalu melangkah ke kamar. Pintu ditutup. Bu Mirna tetap berdiri di ruang tamu, menggenggam ujung dasternya sendiri dengan tangan gemetar.
Bu Mirna tidak tahu mengapa perasaannya begitu tidak enak malam itu.
***
Hari-hari berikutnya justru membuat situasi semakin aneh. Riana semakin tertutup, tetapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau defensif berlebihan. Riana tetap sopan, tetap tersenyum, tetap menanyakan kabar ibunya setiap pagi. Namun, interaksi mereka terasa seperti formalitas, seperti dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja.
Bu Mirna mulai memperhatikan detail kecil. Pertama, Riana sering mencuci tangannya lama di kamar mandi, kadang sampai sepuluh menit. Kedua, tisu bekas atau kapas kadang terlihat di tong sampah kamar, dengan warna merah gelap atau cokelat kekuningan di ujungnya. Ketiga, Riana sering mengetik lama di laptop tanpa suara, seolah mengerjakan sesuatu yang tidak ingin diketahui siapa pun.
Sampai suatu sore, saat Riana keluar ke minimarket untuk membeli sesuatu, Bu Mirna memberanikan diri masuk ke kamarnya lagi. Bu Mirna menyapu lantai perlahan, hingga bulu sapunya kembali tersangkut di kolong tempat tidur.
Dengan napas tertahan, ia menunduk. Di sana, terlihat beberapa gumpal kapas berwarna merah kecokelatan, sebagian sudah mengering.
Bu Mirna menatapnya dengan mata membesar. Bu Mirna meraihnya dengan tangan gemetar. Kapas itu lembut, tetapi ada aroma samar, seperti logam, seperti darah yang mengering.
Jantungnya berdetak kencang.
“Ya Tuhan…” gumam Bu Mirna syok
Bu Mirna memeriksa lagi, dan menemukan gumpalan kapas lain dengan noda yang sama di sudut kasur. Di dekatnya, terselip plastik bening yang berisi uang 500 ribu rupiah.
Pikiran Bu Mirna langsung liar. Jangan-jangan, Riana terluka? Atau lebih buruk lagi, donor darah setiap minggu secara ilegal demi mendapatkan uang? Atau, menjadi korban kejahatan?
Tangannya gemetar saat menutup kembali tirai kamar. Bu Mirna duduk di tepi ranjang Riana, meremas kapas itu di tangannya.
“Riana… kamu kenapa, Nak…” gumam Bu Mirna dengan suara parau
Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
***
Malamnya, saat Riana pulang, Bu Mirna menatap wajah anaknya lama sekali. Riana tampak biasa saja, bahkan ceria, menanyakan apakah ibunya sudah makan malam atau belum. Namun, bagi Bu Mirna, setiap senyum itu kini terlihat seperti kebohongan yang ditutup-tutupi dengan sangat rapi.
“Nak Riana,” ucap Bu Mirna pelan
“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Bu Mirna
Riana berhenti mengambil nasi.
“Maksud Ibu?” tanya Riana dengan nada agak panik
“Kamu akhir-akhir ini beda. Pulang malam, bawa uang, terus Ibu… nemu kapas di kamar kamu. Ibu takut kamu kenapa-kenapa.” ucap Bu Mirna
Riana meletakkan sendoknya perlahan, lalu tersenyum lembut.
“Nggak usah khawatir, Bu. Aku beneran nggak apa-apa.” jawab Riana tenang
Jawaban itu lagi. Nada yang sama. Ketenangan yang sama.
Bu Mirna menatapnya tanpa bisa bicara. Dalam diam, ia hanya bisa melihat anaknya makan dengan tenang, seolah tidak ada hal penting satu pun yang perlu dijelaskan.
***
Malam itu, Bu Mirna tidak bisa tidur. Bu Mirna duduk di kursi dekat jendela, menatap ke arah kamar Riana yang sudah gelap. Bayangan gelap di bawah pintu membuat pikirannya semakin tak tenang.
Dalam hatinya, Bu Mirna curiga kalau putrinya ternyata selama ini terlibat dalam hal yang mengerikan.
Bu Mirna teringat kembali kapas yang ditemukannya, warna merah kecokelatan yang membuatnya yakin ada darah di situ. Bu Mirna bahkan sempat berpikir, Riana mungkin diam-diam menjual darahnya demi mendapatkan uang, atau melakukan hal-hal lain yang tidak sanggup ia bayangkan.
Pikiran buruk itu membuatnya nyaris menangis lagi.
Pukul satu dini hari, ketika Bu Mirna hendak memejamkan mata, terdengar suara pelan dari kamar Riana, suara ketikan laptop.
TIK TIK TIK TIK
Berulang. Teratur.
Bu Mirna berdiri perlahan, melangkah ke arah kamar anaknya. Dari celah pintu, ia melihat Riana duduk di depan meja belajar, wajahnya disinari cahaya layar laptop. Tangannya bergerak cepat di keyboard.
Riana berhenti sebentar, menatap sesuatu di layar, lalu menghela napas panjang. Bibirnya bergerak dan bergumam pelan, seolah membaca ulang tulisan yang baru saja ia ketik.
Bu Mirna menatap lama dari balik pintu, tetapi tidak berani masuk. Bu Mirna kembali ke kamarnya dengan hati berat.
***
Keesokan paginya, Riana bangun lebih pagi dari biasanya. Riana tampak bersemangat, memakai kemeja biru muda dan sepatu kets putihnya.
“Mau ke kampus, Nak?” tanya Bu Mirna, setengah mengantuk
“Iya, Bu. Ada yang mau aku urus sedikit.” jawab Riana
“Urus apa?” tanya Bu Mirna
Riana tersenyum kecil.
“Pokoknya ada, deh. Nanti Ibu tahu kok.” ucap Riana dengan nada penuh misteri
Kata-kata Riana barusan membuat jantung Bu Mirna mencelos. Namun, Riana hanya tertawa kecil, mencium tangan ibunya, dan keluar rumah.
Bu Mirna terdiam lama di kursinya. Bu Mirna menatap ke luar jendela, menatap bayangan putrinya yang semakin menjauh di jalan kecil itu.
Di dalam hati Bu Mirna, tumbuh tekad yang kuat. Besok, ia akan tahu. Apa pun yang disembunyikan Riana, ia harus tahu. Karena, tidak ada yang lebih menakutkan bagi seorang ibu, selain rahasia yang dijaga rapat-rapat oleh anaknya sendiri.
To be continued...
Pagi itu, suasana rumah kecil di sebuah perkampungan sederhana tampak seperti biasanya, aroma teh manis tercium dari dapur, dan suara lembut air dari kran yang menciprat pelan ke wastafel. Namun, ada sesuatu yang tidak biasanya dalam rutinitas pagi itu, yaitu keheningan yang terlalu tebal.
Bu Mirna menatap jam dinding yang berdetak lambat, menunjukkan pukul 06:10 WIB. Biasanya, di jam seperti itu, Riana masih duduk di meja makan sambil menyeruput teh hangatnya dan membuka catatan kuliah. Namun, pagi ini, kursi di hadapannya kosong.
“Nak Riana?” panggil Bu Mirna dari ruang tengah
Tidak ada jawaban.
Bu Mirna berjalan ke kamar putrinya, mengetuk pintu pelan.
“Nak Riana, kamu belum sarapan, kan?” tanya Bu Mirna
Pintu terbuka sedikit. Dari celahnya, Bu Mirna melihat putrinya berdiri di depan cermin, merapikan rambut dengan cepat. Riana sudah berpakaian rapi, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain merah, dan ada ransel hitam di punggungnya.
“Sudah mau berangkat, Nak?” tanya Bu Mirna dengan nada sedikit heran
Riana menoleh sebentar, tersenyum tipis.
“Iya, Bu. Hari ini ada tugas kelompok di kampus, aku harus cepat.” jawab Riana
Bu Mirna menatap jam lagi.
“Tugas apa, Nak? Kan kamu bilang katanya minggu ini belum ada presentasi.” tanya Bu Mirna
“Bukan presentasi, Bu. Cuma bantuin teman. Nanti sore pulang,” jawab Riana datar, memasukkan dompetnya ke saku jaket
Jawaban itu tenang. Terlalu tenang, bahkan. Tidak ada nada gelisah, tidak ada kebohongan yang jelas, tetapi justru ketenangan itu yang membuat Bu Mirna merasakan sesuatu yang aneh.
“Kamu nggak mau makan dulu, Nak?” tanya Bu Mirna
Riana menggeleng sambil meraih sepatu.
“Nanti aja, Bu. Aku sudah makan roti tadi.” jawab Riana datar
Riana mencium tangan ibunya, lalu melangkah cepat ke luar rumah. Pintu rumah tertutup dengan suara lembut, meninggalkan Bu Mirna dalam ruang tamu yang seketika terasa dingin.
***
Riana bukan tipe anak yang banyak bicara. Sejak kecil, ia cenderung pendiam, tetapi selalu terbuka pada ibunya. Mereka seperti sahabat, sering berbagi cerita, dari urusan kampus, teman-teman, bahkan hal yang benar-benar rahasia seperti siklus menstruasi Riana. Namun, dua minggu terakhir ini, semuanya berubah.
Sejak pertengahan Desember, Riana sering pulang malam. Kadang pukul delapan, kadang hampir jam sepuluh. Alasannya selalu sama, yaitu ada tugas kampus. Padahal semester sudah hampir selesai.
Suatu malam, Bu Mirna menunggu di ruang tamu sambil membaca buku resep masakan. Saat jarum jam menunjukkan pukul 21:30 WIB, pintu depan berderit. Riana masuk dengan langkah pelan.
“Kamu dari mana, Riana?” tanya ibunya tanpa menatap
Riana meletakkan ranselnya di kursi, lalu menjawab pelan.
“Bikin laporan di rumah teman, Bu.” jawab Riana tenang
“Teman yang mana?” tanya Bu Mirna
“Teman sekelompokku, namanya Dita.” jawab Riana tenang
Bu Mirna menutup bukunya, baru kali itu menatap wajah anaknya. Mata Riana tampak lelah, tetapi bukan lelah karena kurang tidur, lebih seperti lelah karena sedang menyimpan rahasia besar.
“Kamu nggak apa-apa, kan, Nak?” tanya Bu Mirna
Riana tersenyum kecil.
“Nggak apa-apa, Bu.” jawab Riana tenang
Kalimat itu diucapkan terlalu rapi, tanpa jeda, tanpa kegugupan. Seolah sudah disiapkan dengan sangat matang.
***
Keesokan paginya, Bu Mirna membersihkan ruang tamu. Saat hendak menjemur pakaian, matanya sekilas melihat sesuatu di kamar Riana. Ransel hitam milik Riana tergeletak di lantai dekat meja belajar.
Bu Mirna menatapnya sebentar. Nalurinya berkata jangan. Namun, rasa curiga seorang ibu jauh lebih kuat dari apa pun. Bu Mirna melangkah mendekat.
Tali ransel itu kusut, ada bercak warna merah kecoklatan dan agak kuning di salah satu sisi kainnya. Ketika Bu Mirna menunduk lebih dekat, Riana tiba-tiba masuk.
“Bu!” seru Riana kaget, langsung meraih ranselnya dan menutup resletingnya rapat
“Ibu cuma mau beresin kamar kamu, Nak,” ucap Bu Mirna gugup
“Kok kamu kaget?” tanya Bu Mirna curiga
“Maaf, Bu. Aku cuma nggak mau Ibu repot.” jawab Riana tenang
Suasana hening sesaat. Riana tersenyum lagi, kali ini sedikit memaksa.
“Aku bisa bersihin sendiri kok, Bu. Nanti sore saja, ya.” ucap Riana dengan ekspresi agak defensif
Bu Mirna menatap putrinya lama-lama. Ada sedikit getaran panik di suara Riana, seperti seseorang yang menyimpan sesuatu. Namun, Bu Mirna tidak ingin langsung menuduh. Bu Mirna hanya mengangguk pelan dan keluar kamar.
Namun, sejak kejadian itu, kecurigaan kecil mulai tumbuh di kepalanya.
***
Tiga hari kemudian, Bu Mirna mendapati sesuatu yang membuatnya benar-benar cemas. Saat menyapu kamar Riana, bulu sapunya tersangkut di bawah meja belajar. Ketika Bu Mirna berjongkok untuk melepaskannya, sesuatu terbungkus kertas jatuh dari bawah laci.
Bu Mirna membuka kertas itu. Isinya ternyata uang lima ratus ribu rupiah, dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam plastik bening.
“Uang siapa ini?” gumam Bu Mirna curiga
Riana tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Uang bulanan yang Riana biasa terima dari ibunya biasanya hanya cukup untuk transportasi dan beli makanan.
Sore harinya, ketika Riana pulang, Bu Mirna menatapnya dengan gugup.
“Nak Riana, Ibu mau tanya. Kamu akhir-akhir ini kerja sampingan, ya?” tanya Bu Mirna curiga
Riana, yang baru saja membuka sepatu, berhenti sebentar, lalu tersenyum samar.
“Kenapa, Bu?” tanya Riana dengan sedikit defensif
“Ya, Ibu cuma nanya. Kamu kelihatannya capek, terus Ibu nemu uang di kamar kamu. Dari mana?” tanya Bu Mirna curiga
Riana menatap ibunya dalam-dalam, tetapi ekspresinya tetap datar.
“Aku nabung, Bu. Dari sisa uang jajan.” jawab Riana santai
“Sampai lima ratus ribu?” tanya Bu Mirna, kali ini semakin curiga
“Lumayan lama nabungnya,” jawab Riana tenang
Bu Mirna ingin menanyakan lebih jauh, tapi ada sesuatu di tatapan anaknya yang membuatnya ragu. Bukan tatapan panik, bukan juga tatapan bersalah, melainkan sangat tenang, seolah semua pertanyaan itu tidak akan mengubah apa pun.
“Ya sudah,” ucap Bu Mirna akhirnya
“Tapi, kalau kamu ada apa-apa, bilang sama Ibu, ya.” ucap Bu Mirna
Riana mengangguk, lalu melangkah ke kamar. Pintu ditutup. Bu Mirna tetap berdiri di ruang tamu, menggenggam ujung dasternya sendiri dengan tangan gemetar.
Bu Mirna tidak tahu mengapa perasaannya begitu tidak enak malam itu.
***
Hari-hari berikutnya justru membuat situasi semakin aneh. Riana semakin tertutup, tetapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau defensif berlebihan. Riana tetap sopan, tetap tersenyum, tetap menanyakan kabar ibunya setiap pagi. Namun, interaksi mereka terasa seperti formalitas, seperti dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja.
Bu Mirna mulai memperhatikan detail kecil. Pertama, Riana sering mencuci tangannya lama di kamar mandi, kadang sampai sepuluh menit. Kedua, tisu bekas atau kapas kadang terlihat di tong sampah kamar, dengan warna merah gelap atau cokelat kekuningan di ujungnya. Ketiga, Riana sering mengetik lama di laptop tanpa suara, seolah mengerjakan sesuatu yang tidak ingin diketahui siapa pun.
Sampai suatu sore, saat Riana keluar ke minimarket untuk membeli sesuatu, Bu Mirna memberanikan diri masuk ke kamarnya lagi. Bu Mirna menyapu lantai perlahan, hingga bulu sapunya kembali tersangkut di kolong tempat tidur.
Dengan napas tertahan, ia menunduk. Di sana, terlihat beberapa gumpal kapas berwarna merah kecokelatan, sebagian sudah mengering.
Bu Mirna menatapnya dengan mata membesar. Bu Mirna meraihnya dengan tangan gemetar. Kapas itu lembut, tetapi ada aroma samar, seperti logam, seperti darah yang mengering.
Jantungnya berdetak kencang.
“Ya Tuhan…” gumam Bu Mirna syok
Bu Mirna memeriksa lagi, dan menemukan gumpalan kapas lain dengan noda yang sama di sudut kasur. Di dekatnya, terselip plastik bening yang berisi uang 500 ribu rupiah.
Pikiran Bu Mirna langsung liar. Jangan-jangan, Riana terluka? Atau lebih buruk lagi, donor darah setiap minggu secara ilegal demi mendapatkan uang? Atau, menjadi korban kejahatan?
Tangannya gemetar saat menutup kembali tirai kamar. Bu Mirna duduk di tepi ranjang Riana, meremas kapas itu di tangannya.
“Riana… kamu kenapa, Nak…” gumam Bu Mirna dengan suara parau
Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
***
Malamnya, saat Riana pulang, Bu Mirna menatap wajah anaknya lama sekali. Riana tampak biasa saja, bahkan ceria, menanyakan apakah ibunya sudah makan malam atau belum. Namun, bagi Bu Mirna, setiap senyum itu kini terlihat seperti kebohongan yang ditutup-tutupi dengan sangat rapi.
“Nak Riana,” ucap Bu Mirna pelan
“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Bu Mirna
Riana berhenti mengambil nasi.
“Maksud Ibu?” tanya Riana dengan nada agak panik
“Kamu akhir-akhir ini beda. Pulang malam, bawa uang, terus Ibu… nemu kapas di kamar kamu. Ibu takut kamu kenapa-kenapa.” ucap Bu Mirna
Riana meletakkan sendoknya perlahan, lalu tersenyum lembut.
“Nggak usah khawatir, Bu. Aku beneran nggak apa-apa.” jawab Riana tenang
Jawaban itu lagi. Nada yang sama. Ketenangan yang sama.
Bu Mirna menatapnya tanpa bisa bicara. Dalam diam, ia hanya bisa melihat anaknya makan dengan tenang, seolah tidak ada hal penting satu pun yang perlu dijelaskan.
***
Malam itu, Bu Mirna tidak bisa tidur. Bu Mirna duduk di kursi dekat jendela, menatap ke arah kamar Riana yang sudah gelap. Bayangan gelap di bawah pintu membuat pikirannya semakin tak tenang.
Dalam hatinya, Bu Mirna curiga kalau putrinya ternyata selama ini terlibat dalam hal yang mengerikan.
Bu Mirna teringat kembali kapas yang ditemukannya, warna merah kecokelatan yang membuatnya yakin ada darah di situ. Bu Mirna bahkan sempat berpikir, Riana mungkin diam-diam menjual darahnya demi mendapatkan uang, atau melakukan hal-hal lain yang tidak sanggup ia bayangkan.
Pikiran buruk itu membuatnya nyaris menangis lagi.
Pukul satu dini hari, ketika Bu Mirna hendak memejamkan mata, terdengar suara pelan dari kamar Riana, suara ketikan laptop.
TIK TIK TIK TIK
Berulang. Teratur.
Bu Mirna berdiri perlahan, melangkah ke arah kamar anaknya. Dari celah pintu, ia melihat Riana duduk di depan meja belajar, wajahnya disinari cahaya layar laptop. Tangannya bergerak cepat di keyboard.
Riana berhenti sebentar, menatap sesuatu di layar, lalu menghela napas panjang. Bibirnya bergerak dan bergumam pelan, seolah membaca ulang tulisan yang baru saja ia ketik.
Bu Mirna menatap lama dari balik pintu, tetapi tidak berani masuk. Bu Mirna kembali ke kamarnya dengan hati berat.
***
Keesokan paginya, Riana bangun lebih pagi dari biasanya. Riana tampak bersemangat, memakai kemeja biru muda dan sepatu kets putihnya.
“Mau ke kampus, Nak?” tanya Bu Mirna, setengah mengantuk
“Iya, Bu. Ada yang mau aku urus sedikit.” jawab Riana
“Urus apa?” tanya Bu Mirna
Riana tersenyum kecil.
“Pokoknya ada, deh. Nanti Ibu tahu kok.” ucap Riana dengan nada penuh misteri
Kata-kata Riana barusan membuat jantung Bu Mirna mencelos. Namun, Riana hanya tertawa kecil, mencium tangan ibunya, dan keluar rumah.
Bu Mirna terdiam lama di kursinya. Bu Mirna menatap ke luar jendela, menatap bayangan putrinya yang semakin menjauh di jalan kecil itu.
Di dalam hati Bu Mirna, tumbuh tekad yang kuat. Besok, ia akan tahu. Apa pun yang disembunyikan Riana, ia harus tahu. Karena, tidak ada yang lebih menakutkan bagi seorang ibu, selain rahasia yang dijaga rapat-rapat oleh anaknya sendiri.
To be continued...
@aldo12 @kenditz @127.127.127.127






swnovels dan 2 lainnya memberi reputasi
3
114
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan