- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
NKRI: Entitas Astral di Duit Nyata


TS
tanmalako091539
NKRI: Entitas Astral di Duit Nyata

Selain dari ucapan Mama Gufron di acara pengajian RT, istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia — alias NKRI — sebenarnya tidak pernah muncul sama sekali dalam Undang-Undang Dasar 1945. Silakan bolak-balik dari Pembukaan sampai Penjelasan, dari pasal satu sampai pasal terakhir, yang ada hanya RI (Republik Indonesia) . UUD kita tidak mengenal akronim hype seperti NKRI. Istilah NKRI hidup dan berkembang bukan di wilayah hukum, melainkan di ruang politik dan retorika.
Yang lebih lucu lagi, tidak ada satu pun lembaga negara bernama “NKRI.” Coba cari di struktur pemerintahan: ada Presiden Republik Indonesia, bukan Presiden NKRI; ada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, bukan Mahkamah Konstitusi NKRI; ada Bank Indonesia, bukan Bank NKRI. Tapi entah bagaimana, istilah NKRI menjelma seperti selebgram politik — tidak punya jabatan resmi, tapi wajahnya muncul di mana-mana: di spanduk jalan raya, di khutbah Jumat, di kampanye caleg, bahkan di acara lomba makan kerupuk. Ia hidup dan beredar, tapi tidak punya akta kelahiran yang sah.
Padahal, secara formal, negara kita punya satu nama resmi dan berwibawa: RI. RI bukan nama panggilan, RI adalah nama resmi di akta konstitusi. Tapi entah sejak kapan, banyak pejabat lebih suka menyebut NKRI—mungkin karena terdengar lebih gagah, lebih berwawasan nusantara, dan lebih patriotik untuk dibubuhkan di baliho. “Harga mati!” teriaknya, sambil lupa bahwa secara hukum, yang “hidup” hanya RI, bukan entitas astral seperti NKRI yang muncul entah dari dimensi mana.
Nah, di sinilah komedi konstitusionalnya dimulai. Tahun 2011, DPR dan pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 7 tentang Mata Uang. Di dalamnya tertulis dengan bangga bahwa Rupiah adalah mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalimat sederhana ini menimbulkan paradoks mendasar: negara mana yang dimaksud? Karena dalam konstitusi, subjek hukum yang memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan moneter hanyalah RI, bukan NKRI.
Penyebutan NKRI dalam undang-undang menimbulkan ketidaksesuaian ontologis. Ia menempatkan entitas simbolik di atas entitas konstitusional. Kesalahan ini bukan sekadar teknis redaksional, melainkan menunjukkan adanya pergeseran makna negara dari realitas hukum menjadi imajinasi politik. Rupiah, yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan ekonomi, berubah menjadi produk semantik dari negara yang tidak pernah ada secara hukum. Frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia” mungkin disisipkan dengan semangat nasionalisme yang berlebihan. Ia hadir seperti aksesoris dalam teks undang-undang — bukan karena kebutuhan yuridis, melainkan karena gengsi ideologis. Seolah-olah kata “Republik Indonesia” kurang heroik tanpa tambahan “Negara Kesatuan.” Padahal, dalam logika hukum, setiap kata menentukan legitimasi. Sekali nama negara diganti tanpa dasar konstitusional, maka seluruh konsekuensi yuridisnya ikut bergeser.
Dalam konteks ini, keberadaan NKRI di dalam undang-undang menjadi semacam hantu administratif. Ia tidak memiliki badan hukum, tetapi diberi hak konstitusional untuk menerbitkan uang. Sementara lembaga yang sah, Bank Indonesia, justru dipinggirkan menjadi sekadar pelaksana teknis, seperti percetakan komersial yang menunggu pesanan. Padahal, Bank Indonesia sejak awal berdiri didesain sebagai pemilik hak ekslusif penerbitan mata uang dan penjaga kedaulatan moneter — bukan pekerja lepas pemerintah.
Lebih jauh, pencantuman nama NKRI membuka ruang bagi tafsir politis dan ekonomi yang tidak bertanggung jawab. Jika penerbit Rupiah bukan lagi lembaga yang diatur UUD, maka pengawasan dan pertanggungjawaban keuangannya pun menjadi kabur. Dalam kondisi seperti itu, ruang gelap bagi manipulasi kebijakan moneter terbuka lebar. Penggunaan istilah yang tidak memiliki dasar hukum bisa menjadi pintu masuk bagi praktik state capture corruption — bentuk korupsi di mana jaringan kekuasaan mampu mengubah isi undang-undang demi kepentingan ekonomi tertentu.
Dalam logika politik, kata-kata bukan sekadar bahasa, tetapi instrumen legitimasi. Dengan menambahkan istilah NKRI dalam undang-undang, sekelompok elite secara tidak langsung memindahkan sumber kedaulatan moneter dari lembaga formal ke entitas simbolik yang bisa mereka kelola dengan bebas. Nasionalisme dijadikan topeng, sementara ekonomi negara berputar dalam orbit yang tidak sepenuhnya konstitusional.
Menariknya, istilah NKRI sering digunakan sebagai pelindung moral bagi berbagai praktik ekonomi yang tidak transparan. Banyak pihak diuntungkan secara tidak langsung dari penggunaan simbol tersebut. Kontrak, proyek, dan program yang diselubungi slogan NKRI cenderung lolos tanpa kritik, karena siapa pun yang mempertanyakan otomatis dicap tidak nasionalis. Dengan demikian, NKRI berfungsi ganda: sebagai alat ideologis dan sekaligus tameng hukum bagi aliran kepentingan yang tidak terlihat.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana semangat nasionalisme yang semestinya memperkuat negara justru bisa berubah menjadi instrumen dekonstruksi konstitusi. Istilah NKRI menjadi seperti “kata sakti” yang membuka ruang kekuasaan tanpa batas hukum. Ia lahir bukan dari musyawarah konstitusional, melainkan dari kebutuhan politis untuk menciptakan simbol pemersatu yang mudah dijual. Dalam proses itu, Republik Indonesia yang sebenarnya diatur dalam UUD perlahan bergeser menjadi sekadar nama formal yang digunakan di dokumen resmi, sementara NKRI berperan sebagai wajah populis di ruang publik.
Pemerintah sudah semestinya segera meninjau kembali keabsahan redaksi dalam undang-undang tersebut. Negara yang berdaulat tidak boleh bergantung pada istilah yang tidak diakui konstitusi. Ketepatan nama bukan semata soal tata bahasa, melainkan soal legitimasi kekuasaan. Jika RI ingin tetap menjadi entitas yang berdaulat secara konstitusional, maka seluruh peraturan yang menyebut NKRI perlu dikoreksi.
Ketaatan pada konstitusi bukan tanda kurang nasionalis, melainkan bentuk tertinggi dari penghormatan terhadap negara. Sementara menambahkan istilah ideologis tanpa dasar hukum justru memperlemah legitimasi hukum itu sendiri. Rupiah adalah simbol kedaulatan ekonomi. Ia harus lahir dari sumber hukum yang sah, bukan dari imajinasi politik yang lahir di ruang rapat tertutup. Jika benar ingin menegakkan kedaulatan, maka langkah pertama bukan mencetak uang baru, melainkan mencetak kembali kesadaran konstitusional kita.
Dengan demikian, pemerintah perlu menata ulang bahasa undang-undang sebagaimana mestinya. Biarkan konstitusi berbicara dengan nama aslinya: Republik Indonesia. Sebab dari nama itulah seluruh legitimasi kekuasaan bersumber. Segala tambahan di luar itu — betapapun patriotiknya ia terdengar — hanyalah ornamen yang menutupi retak pada dinding hukum negara.
0
17
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan