- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi


TS
mbia
Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia pernah mempunyai sebuah aturan yang kontroversial mengenai syarat untuk menjadi seorang presiden, yakni harus merupakan orang Indonesia asli.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli".
Namun, aturan ini berubah di era Reformasi ketika Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR) menggulirkan amendemen.
Aturan tersebut pun resmi dihapus dan diubah lewat amendemen kedua UUD 1945 yang diketok pada tahun 2000.
Setelah diamandemen, Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden."
Relevan
Perubahan narasi dalam amendemen kedua UUD 1945 dinilai sudah relevan dengan masa kini.
Menurut dosen hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, kata "asli" dalam versi awal sebelum amendemen saat itu disusun berdasarkan refleksi konteks sejarah di awal kemerdekaan.
Saat itu, bangsa Indonesia baru merdeka sehingga masih ada kekhawatiran tentang kemungkinan campur tangan pihak asing atau bekas penjajah.
"Jadi istilah orang Indonesia asli dimaksudkan sebagai bentuk proteksi terhadap kedaulatan politik bangsa yang masih sangat rentan dan belum stabil," kata Titi saat dihubungi, Senin (9/10/2025).
Seiring berjalannya waktu, frasa itu dihapus lewat amendemen UUD 1945 karena dianggap sudah tidak relevan.
Menurut Titi, amendemen UUD 1945 itu menegaskan, semua warga negara Indonesia (WNI) memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, tanpa ada diskriminasi atas dasar keturunan, ras, atau asal-usul.
Oleh karenanya, syarat dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD NRI 1945 versi amendemen yang menyebut “warga negara Indonesia sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain” dianggap sudah memadai dan relevan dengan masa ini.
"(Versi lama) tidak relevan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip hak kewarganegaraan yang lebih egaliter," kata Titi.
Jika istilah orang Indonesia asli tetap dipertahankan, hal ini dinilai akan membuka ruang diskriminasi terhadap warga negara yang sah namun memiliki latar belakang keturunan tertentu seperti WNI keturunan Tionghoa, Arab, atau lainnya.
Hal itu dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi setelah reformasi.
"Perubahan tersebut penting dan krusial karena memperkuat prinsip civic nationalism, bahwa keindonesiaan ditentukan oleh ikatan kewarganegaraan, bukan asal-usul darah atau etnis," terangnya.
Bagi Titi, penghapusan kata "asli" tersebut justru mempertegas bahwa syarat menjadi presiden di Indonesia tidak boleh didasarkan pada ras atau etnis, melainkan pada status kewarganegaraan dan loyalitas kepada negara.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
"Dalam konteks masa kini, menghidupkan kembali narasi “presiden harus WNI asli” tidak hanya ahistoris, tetapi juga berpotensi menghidupkan politik identitas yang sempit dan diskriminatif," ujar dia.
Senada dengan Titi, pakar hukum tata negara dari Themis Indonesia Feri Amsari juga menilai penghilangan kata "asli" dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 sudah ideal.
Jika kata "orang Indonesia asli" masih ada dalam beleid tersebut, tentu dapat menimbulkan beragam masalah.
Sebab, perlu dijelaskan lebih lanjut definisi dan kriteria dari "orang Indonesia asli" yang dimaksud.
Lebih jauh, kata "asli" juga berpotensi jadi masalah ketika membahas konteks Indonesia di masa depan yang mana banyak WNI melakukan kimpoi campuran antar negara.
Lewat penghapusan kata "asli" dalam amendemen UUD 1945, diharapkan putra-putri Indonesia yang berasal dari pernikahan campuran tidak tertolak menjadi seorang presiden di masa depan.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
"Sepanjang mereka adalah warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah meminta status kewarganegaraan lain, sebenarnya itu sudah memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan dari seorang calon presiden," kata Feri.
Jadi kontroversi
Meski sudah lama diubah, narasi soal "orang Indonesia asli" sebagai syarat calon presiden dan wakil presiden juga sempat menjadi kontroversi.
Pada 2016, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ingin kembali memasukkan kata "orang Indonesia asli" dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang sudah diamandemen.
PPP saat itu ingin butir pasal tersebut menjadi: "Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden."
Usulan tersebut menjadi salah satu poin rekomendasi resmi dalam Musyawarah Kerja Nasional I PPP pada masa itu, tetapi disambut oleh pro dan kontra.
Wakil presiden ketika itu, Jusuf Kalla, menilai belum tentu seluruh partai akan menyetujui usulan PPP terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus Indonesia asli.
“Namanya dalam demokrasi tentu boleh mengusulkan sesuai keyakinannya. Itu bukan mengamandemen sebenarnya, (tapi) kembali ke asal bunyi UUD 1945 yang asli itu begitu,” kata Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, 7 Oktober 2016.
“Tetapi ini kan tentu tidak satu partai ini tidak, belum tentu yang lainnya juga setuju. Kita bicara dalam konteks demokrasi saja,” lanjut JK.
Sejumlah politisi juga ada yang menilai bahwa usulan tersebut cenderung diskriminatif, bahkan perlu dikaji mendalam oleh semua fraksi yang ada di DPR RI.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Misalnya, politikus PDI-P Hendrawan Supratikno menganggap semangat UUD 1945 harus melindungi, jangan sampai justru mendiskriminasi.
"Kalau ada usulan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia asli yang maknanya pribumi itu malah tidak sesuai spirit UUD yang justru melindungi bukan mendiskriminasi. Itu tidak relevan namanya," ujar Hendrawan pada Oktober 2016.
Merespons isu yang sama, politikus Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan menyatakan Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah mengatur pengertian orang Indonesia asli.
Dalam aturan soal kewarganegaraan, tak disebutkan bila orang Indonesia asli berarti pribumi.
"Kalau Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus pribumi, itu kemunduran. Kita sudah selesai dengan hal semacam itu di era reformasi, ini kok malah balik lagi ke masa lalu," kata Daniel saat dihubungi, 4 Oktober 2016.
Menurut Daniel, akan sulit untuk mengartikan orang Indonesia asli karena nenek moyang orang Indonesia sendiri tidak berasal dari dataran Indonesia, melainkan dari Indocina.
"Kalau definisinya seperti itu berarti enggak ada yang orang Indonesia yang asli dong karena nenek moyangnya saja bukan dari dataran Indonesia, tapi dari Indocina," ucapnya.
https://nasional.kompas.com/read/202...-era-reformasi
Presiden Singapura dan Malaysia pernah orang Indonesia malah maju itu




soelojo4503 dan tablearound5923 memberi reputasi
2
313
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan