- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Zaman Edan! Ga ada duit masalah apa juga kalah aja,


TS
Alioedinkk
Zaman Edan! Ga ada duit masalah apa juga kalah aja,
Masuklah ke dalam lautan hiruk-pikuk yang kita sebut Zaman Edan! Sebuah era di mana bumi berputar dengan sumbu yang miring, dan langit seolah dicat dengan warna-warna kegilaan. Di tengah pusaran ini, berdirilah sang protagonis yang terlunta-lunta: manusia tanpa duit. Ia bagai seorang kesatria yang turun ke gelanggang tanpa pedang dan perisai, hanya berbekal keteguhan hati yang mungkin sebentar lagi runtuh.
"Ga ada duit, masalah apa juga kalah aja!"
Kalimat itu bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah ratapan epik dari jiwa-jiwa yang terdampar. Ini adalah pengakuan pahit dari sebuah kekalahan universal. Bukan kekalahan oleh masalah itu sendiri—karena masalah adalah santapan harian setiap insan—melainkan kekalahan oleh sebuah sistem tak kasat mata yang telah menahbiskan: uang adalah nyawa kedua.
Lihatlah! Di panggung Zaman Edan ini, masalah-masalah itu bagai para gladiator yang siap menerkam. Masalah kesehatan, masalah rumah tangga, masalah cinta, masalah harga cabe yang melambung tinggi. Bagi mereka yang bersenjatakan uang, setiap masalah adalah medan pertempuran yang bisa dimenangkan dengan strategi finansial. Mereka bisa membeli obat, membeli nasihat hukum, membeli kenyamanan, bahkan membeli waktu.
Namun, bagi sang manusia tanpa duit, setiap masalah yang datang adalah sebuah tiran yang tak terbantahkan. Ia datang bagai badai menerpa gubuk reyot. Bertarung? Mustahil. Melawan? Sia-sia. Yang tersisa hanyalah sebuah kepasrahan yang getir: "kalah aja." Ini bukan kekalahan karena pengecut, bukan! Ini adalah kekalahan karena kelelahan. Kelelahan melawan arus, kelelahan berteriak di tengah keramaian yang tuli, kelelahan mempertahankan harga diri ketika perut keroncongan.
Kata "kalah" di sini mengandung tragedi yang begitu dalam. Ia adalah bendera putih yang dikibarkan bukan karena menyerah pada masalah, tetapi menyerah pada ZAMAN-nya. Zaman di mana logika telah tergulingkan. Di mana kejujuran bisa dibungkam oleh segepok rupiah, di mana kebenaran bisa diputar balikkan oleh kuasa modal, dan di mana keputusasaan adalah pemandangan biasa.
"Ga ada duit..." itu adalah mantra penyempitan ruang gerak. Ia adalah penjara tanpa jeruji yang membelenggu pilihan, memangkas impian, dan mencekik suara. Dalam Zaman Edan, orang miskin dilarang sakit, dilarang sedih yang berlarut, dilarang memiliki masalah yang rumit. Mereka hanya "diizinkan" untuk kalah, untuk menerima nasib, untuk tenggelam dalam diam.
Namun, di balik semua drama keputusasaan ini, ada sebuah pertanyaan yang menggantung seperti pedang: Apakah kekalahan ini adalah akhir dari segalanya? Ataukah justru sebuah bentuk perlawanan yang lain? Menerima kekalahan dengan sadar, agar tidak gila di tengah zaman yang memang sudah gila?
Inilah potret suram yang terpampang nyata. Sebuah epik tentang manusia yang terkapar, dikalahkan bukan oleh musuhnya, tetapi oleh medan perangnya sendiri. Di Zaman Edan, uang bukan lagi sekadar alat tukar, ia adalah nafas. Dan tanpa nafas, semua masalah—besar atau kecil—akan menjadi nisan terakhir bagi harapan.
Maka, berlarilah, wahai jiwa-jiwa yang terengah-engah! Bertahanlah di Zaman Edan ini. Meski kata dunia, "Ga ada duit, masalah apa juga kalah aja," jangan lupa bahwa dalam kekalahan yang paling pahit sekalipun, seringkali tersembunyi sebuah kemenangan tertinggi: tetap mampu menjadi manusia yang merasakan, yang peduli, dan yang, suatu saat nanti, bangkit kembali dari abu keputusasaan. Karena zaman mungkin edan, tetapi hati yang tidak pernah edan adalah benteng terakhir yang tak tergoyahkan.
Konten Sensitif
"Ga ada duit, masalah apa juga kalah aja!"
Kalimat itu bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah ratapan epik dari jiwa-jiwa yang terdampar. Ini adalah pengakuan pahit dari sebuah kekalahan universal. Bukan kekalahan oleh masalah itu sendiri—karena masalah adalah santapan harian setiap insan—melainkan kekalahan oleh sebuah sistem tak kasat mata yang telah menahbiskan: uang adalah nyawa kedua.
Lihatlah! Di panggung Zaman Edan ini, masalah-masalah itu bagai para gladiator yang siap menerkam. Masalah kesehatan, masalah rumah tangga, masalah cinta, masalah harga cabe yang melambung tinggi. Bagi mereka yang bersenjatakan uang, setiap masalah adalah medan pertempuran yang bisa dimenangkan dengan strategi finansial. Mereka bisa membeli obat, membeli nasihat hukum, membeli kenyamanan, bahkan membeli waktu.
Namun, bagi sang manusia tanpa duit, setiap masalah yang datang adalah sebuah tiran yang tak terbantahkan. Ia datang bagai badai menerpa gubuk reyot. Bertarung? Mustahil. Melawan? Sia-sia. Yang tersisa hanyalah sebuah kepasrahan yang getir: "kalah aja." Ini bukan kekalahan karena pengecut, bukan! Ini adalah kekalahan karena kelelahan. Kelelahan melawan arus, kelelahan berteriak di tengah keramaian yang tuli, kelelahan mempertahankan harga diri ketika perut keroncongan.
Kata "kalah" di sini mengandung tragedi yang begitu dalam. Ia adalah bendera putih yang dikibarkan bukan karena menyerah pada masalah, tetapi menyerah pada ZAMAN-nya. Zaman di mana logika telah tergulingkan. Di mana kejujuran bisa dibungkam oleh segepok rupiah, di mana kebenaran bisa diputar balikkan oleh kuasa modal, dan di mana keputusasaan adalah pemandangan biasa.
"Ga ada duit..." itu adalah mantra penyempitan ruang gerak. Ia adalah penjara tanpa jeruji yang membelenggu pilihan, memangkas impian, dan mencekik suara. Dalam Zaman Edan, orang miskin dilarang sakit, dilarang sedih yang berlarut, dilarang memiliki masalah yang rumit. Mereka hanya "diizinkan" untuk kalah, untuk menerima nasib, untuk tenggelam dalam diam.
Namun, di balik semua drama keputusasaan ini, ada sebuah pertanyaan yang menggantung seperti pedang: Apakah kekalahan ini adalah akhir dari segalanya? Ataukah justru sebuah bentuk perlawanan yang lain? Menerima kekalahan dengan sadar, agar tidak gila di tengah zaman yang memang sudah gila?
Inilah potret suram yang terpampang nyata. Sebuah epik tentang manusia yang terkapar, dikalahkan bukan oleh musuhnya, tetapi oleh medan perangnya sendiri. Di Zaman Edan, uang bukan lagi sekadar alat tukar, ia adalah nafas. Dan tanpa nafas, semua masalah—besar atau kecil—akan menjadi nisan terakhir bagi harapan.
Maka, berlarilah, wahai jiwa-jiwa yang terengah-engah! Bertahanlah di Zaman Edan ini. Meski kata dunia, "Ga ada duit, masalah apa juga kalah aja," jangan lupa bahwa dalam kekalahan yang paling pahit sekalipun, seringkali tersembunyi sebuah kemenangan tertinggi: tetap mampu menjadi manusia yang merasakan, yang peduli, dan yang, suatu saat nanti, bangkit kembali dari abu keputusasaan. Karena zaman mungkin edan, tetapi hati yang tidak pernah edan adalah benteng terakhir yang tak tergoyahkan.
0
46
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan