Kaskus

Story

aurora..Avatar border
TS
aurora..
[CERPEN] Fobia Aneh Dara
Pagi itu, langit Yogyakarta masih berwarna kelabu, seolah belum sepenuhnya terbangun dari tidur panjang. Udara di sekitar SMA negeri tersebut terasa lembap setelah hujan semalam. Embun masih menempel di ujung dedaunan di taman sekolah, sementara beberapa siswa berjalan tergesa-gesa menuju kelas, menenteng buku dan tas berat di bahu mereka.

Di antara kerumunan itu, Sandara Triawati, atau yang biasa dipanggil Dara, melangkah pelan, menunduk, memeluk buku di dadanya. Gadis itu berbeda dari kebanyakan teman sebayanya. Kulitnya sangat putih, hingga membuat Dara sangat percaya diri memakai pakaian terbuka. Rambutnya panjang dan berkilau seperti helai sutra hitam yang memantulkan cahaya pagi. Bibirnya merah alami dan hidungnya mancung sempurna.

Namun, semua kecantikan itu tidak membuat Dara populer. Malah sebaliknya, Dara dikenal sebagai gadis yang aneh.

Aneh karena Dara takut pada ibu kantin sekolahnya sendiri, yaitu Bu Irma.

***

Dara tidak pernah bisa menjelaskan ketakutan itu dengan kata-kata yang logis. Sejak pertama kali masuk SMA, setiap kali melihat sosok Bu Irma di kantin, dengan celemek merah jambu yang kadang bernoda minyak, tangan kasar bekas kerja keras, dan kebiasaannya menggoda anak-anak sekolah, Dara selalu merasa napasnya sesak. Ada sesuatu di mata Bu Irma yang membuat jantungnya berdegup tidak karuan.

Bahkan, saat teman-teman lain berebut membeli bakso atau es teh manis buatan Bu Irma, Dara lebih memilih makan bekal sendiri di kelas. Kadang, kalau terpaksa lewat depan kantin, ia akan menunduk, berjalan secepat mungkin, atau malah berlari.

“Dara, kok kamu kayak dikejar hantu, sih?” tanya sahabatnya, Maya, pada suatu sore

Dara hanya tersenyum kikuk.

“Entahlah, May… aku takut sama Bu Irma. Aku takut digodain sama Bu Irma.” ucap Dara jujur

Maya tertawa, menggeleng tidak percaya.

“Kamu jangan kayak gitu, Dara. Bu Irma itu orangnya baik, lho. Dia sering kasih bonus gorengan ke aku.” ucap Maya

Dara menunduk. Dara tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Bukan karena ia tidak bisa, melainkan karena dirinya sendiri tidak tahu mengapa ketakutan itu terasa nyata, seperti trauma aneh yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

***

Suatu hari, sekolah mengadakan study tour ke Lyon, kota kecil di Prancis yang terkenal dengan sejarah dan arsitektur klasiknya. Dara sangat menantikan perjalanan itu, bukan karena ingin berwisata, tetapi karena ia ingin melarikan diri dari Bu Irma, meskipun hanya sementara.

Selama seminggu di Lyon, Dara merasa seperti gadis baru. Ia tertawa lepas bersama teman-teman, berfoto di depan Basilika Fourvière, dan menikmati udara dingin khas musim dingin sambil menyeruput cokelat panas. Maya bahkan nekat menggoda Dara.

“Lihat deh, Dara! Mukamu udah nggak kusut lagi kayak di sekolah. Kayaknya karena jauh dari Bu Irma!” canda Maya

Dara tersenyum, tetapi hatinya mengiyakan.
Ya, mungkin benar. Dara merasa lebih bebas. Lebih tenang.

Namun semua itu berakhir saat pesawat mereka mendarat di bandara.

Setibanya di sekolah keesokan harinya, Dara datang untuk mengambil sertifikat study tour. Dara berjalan di lorong kelas yang sepi, mengingat hari itu siswa lain masih libur. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan sisa debu perjalanan. Dara melangkah menuju kelas XI IPA 3, kelasnya.

Dan di sanalah, ketakutannya kembali.

***

Bu Irma berdiri tepat di depan pintu kelas, memegang sapu dan kantong plastik besar. Wajahnya tampak serius, peluh membasahi pelipisnya.

“Eh, Mbak Dara…” ucap Bu Irma, suaranya berat, sedikit parau

“Kamu baru pulang, ya?” lanjut Bu Irma

Sekejap, jantung Dara seakan berhenti berdetak. Tubuhnya menegang hebat. Dara melangkah mundur perlahan.

Bu Irma tersenyum samar.

“Ibu cuma mau nanya, kamu—” ucap Bu Irma lagi

Belum sempat Bu Irma menyelesaikan kalimatnya, Dara sudah berbalik dan berlari sekuat tenaga.

Langkah sepatunya beradu keras dengan lantai koridor. Suara napasnya memburu. Dalam kepala Dara, hanya ada satu pikiran, yaitu harus lari.

“Dara! Tunggu! Ibu cuma mau—” teriak Bu Irma

Namun, suara Bu Irma terdengar seperti gema yang mengerikan di telinganya. Dara tidak menoleh. Dara bahkan tidak sengaja mendorong seorang siswi dan hampir terjatuh saat berbelok di lorong belakang laboratorium.

Bu Irma berusaha mengejarnya, berteriak memanggil namanya, tetapi bagi Dara, suara itu seperti ancaman.

Hujan tiba-tiba turun. Langit mendung menggulung cepat, angin kencang membuat rambut panjang Dara menempel di wajahnya. Dara terus berlari keluar gerbang sekolah, menyeberangi jalan kecil, hingga tiba di belakang perumahan warga. Napasnya terengah-engah, dadanya terasa sesak.

Di depan matanya ada sebuah kandang ayam besar milik warga. Tanpa berpikir, Dara langsung masuk, berjongkok di sudut, bersembunyi di balik karung pakan ayam.

Ayam-ayam berkokok bingung melihat gadis berseragam putih abu-abu, wajahnya pucat pasi, lututnya gemetar.

Dara menutup mulutnya, menahan isak. Air mata mengalir deras di pipinya yang putih bersih.

Dara mendengar suara langkah kaki di kejauhan, seperti suara sepatu Bu Irma.

“Dara… kamu di mana, Nak?” ucap Bu Irma, suara itu lembut, tetapi bagi Dara terdengar membahayakan

Dara memejamkan mata rapat-rapat. Dara ingin kabur.

***

Hari itu menjadi bahan pembicaraan seisi sekolah.

“Katanya Dara lari sampai ke kandang ayam belakang rumah warga?” tanya seorang murid laki-laki di kantin

“Iya, aku lihat sendiri. Kasihan Bu Irma dibilang nyeremin, padahal cuma mau ngasih oleh-oleh dari anaknya yang di Taiwan,” jawab murid laki-laki yang lainnya

Maya hanya bisa menatap ke luar jendela, merasa bersalah karena tidak bisa menjelaskan kenapa sahabatnya seperti itu. Dara sendiri memilih tidak masuk sekolah diam di rumah selama beberapa hari.

Dara berbohong kepada orang tuanya, mengatakan bahwa dirinya sakit perut. Padahal, yang sakit bukan perutnya, melainkan pikirannya.

Setiap kali memejamkan mata, Dara melihat wajah Bu Irma, tatapannya, dan sapaannya. Namun, di sisi lain, ada rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Mengapa Bu Irma selalu mengejar? Apa yang sebenarnya ingin dikatakan?

***

Minggu berikutnya, Dara memaksa dirinya masuk sekolah.

Dara melangkah pelan melewati halaman, berusaha tidak menoleh ke arah kantin. Namun, seperti biasa, matanya tidak bisa lepas dari sosok Bu Irma yang sedang menata lauk di etalase.

Bu Irma menatap Dara sebentar, lalu tersenyum. Tidak ada niat jahat. Hanya senyum lelah seorang wanita yang sudah bekerja sejak subuh.

Namun, Dara buru-buru memalingkan wajah.

Maya menghela napas panjang.

“Kamu nggak capek lari terus gitu, Dara? Aku ngerti kamu takut, tapi Bu Irma nggak pernah marah, lho.” ucap Maya

Dara tidak menjawab. Dara hanya menatap ujung sepatunya.

“Coba kamu kasih kesempatan deh,” lanjut Maya pelan

“Kadang, yang kita takuti cuma bayangan dari pikiran sendiri.” ucap Maya dengan lembut

Dara terdiam cukup lama. Kata-kata itu menusuk hatinya, tetapi sulit diterapkan. Dara ingin berhenti lari, tetapi tubuhnya menolak.

***

Sore itu, setelah jam pelajaran usai, Dara memutuskan pulang lebih cepat karena hujan mulai turun lagi. Gerimis menari di atas aspal, meninggalkan aroma tanah basah yang samar. Dara membuka payung kecil berwarna biru muda dan berjalan sendirian melewati gang sempit menuju halte.

Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara dari arah belakang, suara sepatu berlari.

Dara menoleh cepat. Dua pria dengan jaket hitam mendekat. Wajah mereka tertutup masker, dan salah satunya memegang pisau kecil berkilat.

“Cantik banget ya, Mbak. Sendirian aja?” tanya seorang pria, suara itu berat dan kasar

Dara mundur perlahan.

“Maaf, saya mau jalan dulu.” tolak Dara

Namun salah satu dari mereka menarik tasnya dengan kasar. Dara berteriak, payungnya terlempar ke tanah. Dara berusaha melawan, tetapi tenaganya terlalu lemah.

“Diam, cewek cantik!” bentak perampok itu, mendorongnya hingga terjatuh di jalan becek

Dara berteriak minta tolong.

“TOLONG!!! TOLONG!!!” teriak Dara histeris

Tiba-tiba, suara lain terdengar dari kejauhan, suara perempuan yang sangat dikenalnya.

“Lepaskan anak itu!”

Dara menoleh dengan mata terbelalak. Ternyata, itu adalah Bu Irma.

Wanita itu berlari tanpa payung, hujan mengguyur tubuhnya habis-habisan. Tanpa pikir panjang, ia menarik tangan Dara dan mendorongnya ke belakang.

“Lari, Dara!” teriak Bu Irma

Salah satu perampok mendorong Bu Irma keras hingga tubuhnya jatuh menghantam trotoar. Namun, meskipun lututnya berdarah, Bu Irma tetap berdiri lagi, mencoba menghalangi mereka.

Dara membeku, tidak tahu harus apa.

“Ayo, kita kabur aja!” teriak salah satu perampok, panik karena warga mulai berlari keluar rumah

Akhirnya mereka berdua lari, meninggalkan Bu Irma terkapar di tengah jalan, basah kuyup, menggigil.

Dara mendekat, suaranya bergetar.

“Bu… Bu Irma…”

Wanita itu tersenyum lemah, menatap Dara dengan mata yang sama seperti biasanya, tetapi kali ini Dara menyadari, itu bukan tatapan menyeramkan. Itu tatapan penuh kasih.

“Ibu cuma mau kasih kamu gantungan kunci dari Taiwan,” ucap Bu Irma pelan, sambil mengulurkan benda logam kecil dari sakunya yang sudah basah.

“Anak Ibu yang beli di sana… katanya buat siswi paling pintar di kelas.” lanjut Bu Irma

Air mata Dara tumpah. Dara langsung berlutut di tanah, menggenggam tangan Bu Irma yang dingin.

“Maaf, Bu… maaf…” ucap Dara, suaranya serak, tenggelam di antara suara hujan

***

Beberapa jam kemudian, Bu Irma dibawa ke rumah sakit. Luka di lututnya cukup parah, tetapi tidak perlu dirawat inap. Dara menemaninya, duduk di kursi plastik, memegang tangan wanita itu erat.

Dalam diam, ia menatap wajah Bu Irma. Keriput halus di sekitar mata, kulitnya yang kasar, dan guratan kelelahan di pipinya, semuanya itu kini tampak indah di mata Dara.

“Kenapa kamu selalu takut sama Bu, Nak?” tanya Bu Irma perlahan setelah mulai membaik

Dara menunduk.

“Saya… nggak tahu, Bu. Setiap saya digodain Ibu, saya selalu takut. Tapi saya nggak tahu kenapa.” ucap Dara pelan

Bu Irma tersenyum kecil.

“Mungkin kamu orangnya tidak suka digodain, Nak. Kadang orang sering begitu. Orang takut itu bukan karena apa yang ada di depan mata, tetapi karena bayangan dari pikiran sendiri.” ucap Bu Irma dengan lembut

Kata-kata itu membuat dada Dara sesak. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Air matanya mengalir begitu saja.

***

Malam itu, Dara pulang dengan hati berat. Ia membuka bungkusan kecil dari Bu Irma, sebuah gantungan kunci dari logam berbentuk gedung pencakar langit Taipei 101. Di dalamnya, ada secarik kertas kecil bertuliskan tulisan tangan anak Bu Irma.

[Untuk Mbak Dara yang cantik. Mama sering cerita kalau kamu anak pintar. Salam dari Taipei — Fahri.]

Dara menatap tulisan itu lama sekali. Ia teringat kembali semua momen ketika ia berlari ketakutan, ketika ia bersembunyi di kandang ayam, ketika ia membuat Bu Irma menahan rasa sakit hati karena dihindari terus-menerus.

Semua terasa menyesakkan.

Malam itu, Dara menangis sejadi-jadinya di kamarnya. Bukan karena takut, melainkan karena rasa bersalah.

***

Hari-hari berikutnya, Dara sering membantu di kantin sepulang sekolah. Awalnya teman-teman kaget.

“Eh, Dar, kamu sekarang malah bantu Bu Irma?” tanya Maya, tidak percaya

Dara hanya tersenyum, sambil mengaduk es teh manis.

“Aku mau belajar berhenti takut, May. Aku mau menebus kesalahanku.” ucap Dara jujur

Bu Irma menatap Dara dari belakang meja, tersenyum haru. Bu Irma tidak pernah menyalahkan Dara atas ketakutannya dulu. Justru, Bu Irma sering berkata.

“Orang yang berani mengakui rasa takutnya itu hebat. Tapi orang yang berani melawannya, itu luar biasa.” ucap Bu Irma

Setiap kali mendengar kalimat itu, dada Dara terasa hangat. Dara belajar banyak, bahwa ketakutan kadang tidak butuh alasan logis, tetapi bisa dihadapi dengan keberanian dan kekuatan.

***

Suatu sore, ketika kantin hampir tutup, Bu Irma duduk di kursi kayu sambil memegang lututnya yang masih terasa nyeri. Dara datang membawa segelas air hangat.

“Terima kasih, Nak Dara.” ucap Bu Irma

“Harusnya saya yang berterima kasih, Bu,” jawab Dara dengan nada lembut

“Kalau bukan karena Ibu, saya nggak tahu apa yang bakal terjadi waktu itu.” lanjut Dara

Bu Irma tertawa kecil.

“Namanya juga manusia, Nak. Kadang, yang kita tolong justru orang yang dulu selalu menghindari kita. Hidup ini aneh, ya?” ucap Bu Irma

Dara mengangguk.

“Tapi dari keanehan itu, saya belajar, Bu.” ucap Dara

“Belajar apa?” tanya Bu Irma

“Bahwa nggak semua orang yang menakutkan itu jahat. Kadang, yang kita tolak justru orang yang paling baik.” ucap Dara

Bu Irma menatapnya lama, lalu menepuk punggung Dara dengan lembut.

“Kamu anak baik, Nak. Kulitmu boleh seputih salju, tapi hatimu sekarang lebih putih dari salju.” ucap Bu Irma

Dara tertawa pelan, untuk pertama kalinya tanpa rasa takut sedikit pun.

***

Malam itu, di rumahnya, Dara menulis di buku hariannya.

[Aku pernah lari dari seseorang yang cuma ingin berbuat baik. Aku pernah sembunyi karena pikiranku sendiri. Tapi, kini aku tahu, bahwa yang benar-benar menakutkan bukanlah orang lain, melainkan ketakutan yang dibuat sendiri. Terima kasih, Bu Irma. Karena Ibu, aku belajar jadi lebih berani.]

Dara menutup buku itu, menatap ke luar jendela, melihat hujan turun lagi seperti hari saat perampokan itu. Namun, kali ini, ia tidak gemetar.

Dara hanya tersenyum kecil, mengingat wajah Bu Irma yang kini terasa seperti pelindung, bukan ancaman.

Dan di bawah langit mendung Yogyakarta, seorang gadis bernama Dara akhirnya berhasil mengalahkan rasa takutnya sendiri.

TAMAT

thumb142Avatar border
silohAvatar border
si.matamalaikatAvatar border
si.matamalaikat dan 6 lainnya memberi reputasi
7
326
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan