Kaskus

Entertainment

andreaa91Avatar border
TS
andreaa91
Satu Hari di Al-Khoziny Sidoarjo
Hallo Agan/Sista Namaku Rhiana — sebut saja begitu.

Aku seorang psikolog, tapi jujur saja, tidak ada buku teks atau teori apa pun yang benar-benar bisa mempersiapkanku untuk menghadapi kesedihan manusia di dunia nyata.


Sebagian besar hari-hariku dihabiskan untuk mendengarkan. Mendengarkan cerita, luka, kehilangan, dan ketakutan orang lain. Kadang aku berpikir, mungkin aku terlalu sering menjadi tempat orang bersandar, sampai lupa bahwa aku pun bisa letih. Tapi setiap kali aku ingin berhenti, selalu ada satu peristiwa yang menarikku kembali — mengingatkanku mengapa dulu aku memilih jalan ini.


Pagi di Sidoarjo


Pagi itu masih begitu muda, 4 Oktober 2025.

Udara terasa hangat meski matahari baru saja naik. Tiba-tiba ponselku berdering — sebuah panggilan dari seorang teman, yang kebetulan merupakan anggota tim SAR penanganan runtuhnya bangunan di Ponpes Al-Khoziny, Sidoarjo.


“Halo, ada apa, Za?” sahutku, sedikit terkejut.


Suara di seberang sana terdengar lelah tapi tegas.

“Ri, elu bisa bantu ke lokasi nggak? Ada yang butuh pendampingan nih.”


Aku terdiam sejenak. Beberapa hari sebelumnya, aku sempat melihat status WhatsApp-nya — dia memang ikut dalam tim yang mengevakuasi korban di lokasi itu.

“Baiklah,” jawabku mantap.


Aku segera bersiap-siap, memeriksa apa saja yang perlu kubawa. Sekitar satu jam kemudian, aku meninggalkan rumah dengan motor kesayanganku. Jalanan pagi itu padat, tapi pikiranku hanya tertuju pada satu hal: sampai secepatnya ke lokasi.


Kecepatan motorku rata-rata 60 km/jam. Menjelang tiba di tempat kejadian, aku memutuskan berhenti sejenak untuk membeli beberapa botol air mineral. Cuaca Sidoarjo hari itu sangat terik — suhu mencapai 42°C — dan aku tahu, sedikit air bisa sangat berarti bagi siapa pun yang tengah kelelahan di sana.


Tiga puluh menit berlalu. Akhirnya aku tiba di lokasi.

Suasana begitu ramai. Suara orang-orang bercampur menjadi satu — ada yang datang hanya untuk melihat proses evakuasi, ada para wali santri yang tenggelam dalam lantunan doa dan dzikir, ada pula yang menangis diam-diam sambil memandangi reruntuhan bangunan yang kini hanya menyisakan debu dan puing.


Aku mencoba menghubungi temanku, tapi panggilanku tak dijawab. Aku tahu, pasti sedang sibuk luar biasa.

Akhirnya, aku melapor pada petugas yang berjaga di sekitar area bahwa aku dipanggil oleh salah satu anggota tim SAR. Tak lama kemudian, temanku muncul. Wajahnya tampak letih — mungkin karena sudah berhari-hari bertugas tanpa istirahat cukup.


“Ri, ini yang tadi kuceritakan. Tolong, ya,” katanya singkat.

“Siap,” jawabku.


Dia kemudian membawaku ke tempat istirahat sementara para wali santri. Di sana, aku diperkenalkan pada seorang ibu — sebut saja beliau Ibu Santi (bukan nama sebenarnya).


Beliau duduk mematung. Tatapannya kosong, matanya sembab — jelas bekas menangis lama. Tidak banyak kata keluar dari bibirnya. Bahkan, untuk sekadar diajak bicara pun terasa sulit. Wajar, pikirku. Siapa pun pasti akan sangat terguncang oleh peristiwa seperti ini.


Aku menemaninya dalam diam untuk beberapa saat. Lalu perlahan, dengan suara yang bergetar, beliau mulai bercerita…




Suara dari Reruntuhan


Perlahan, Ibu Santi mulai membuka suara.

Awalnya lirih, hampir tak terdengar, seperti seseorang yang berbicara di antara isak yang belum selesai.


“Anak saya... santri di sini,” ucapnya pelan, menatap ke arah bangunan yang kini tinggal puing. “Dia baru tiga bulan mondok. Katanya betah... katanya banyak teman.”


Aku hanya bisa diam. Kadang, diam adalah satu-satunya bentuk empati yang tersisa ketika kata-kata terasa terlalu ringan dibanding luka yang dihadapi seseorang.


Ibu Santi melanjutkan, “Waktu dengar berita bangunan runtuh itu, saya langsung lari ke sini. Saya pikir, mungkin dia sudah dievakuasi... tapi sampai sekarang, belum ada kabar.”

Suaranya pecah. Tangan yang menggenggam kerudungnya bergetar hebat.


Aku menatap wajahnya — lelah, tapi masih ada sebersit harapan di sana. Harapan yang menggantung di antara doa dan kenyataan.


Di sekitar kami, suara mesin ekskavator terus menderu, sesekali diselingi seruan petugas ketika menemukan sesuatu di bawah reruntuhan. Suara itu seperti pisau, membelah keheningan yang mencekam. Setiap kali terdengar, Ibu Santi refleks berdiri — berharap, mungkin kali ini kabar baik yang datang.


Namun setelah beberapa menit, ia kembali duduk. Pandangannya kosong lagi.


Aku menatap temanku yang berdiri tak jauh dari situ. Ia hanya menggeleng pelan, seolah berkata, belum ada perkembangan.


Aku mencoba menenangkan Ibu Santi, “Bu, yang kuat ya... banyak yang sedang berjuang di dalam sana. Mereka tidak berhenti mencari.”

Dia mengangguk, tapi air matanya kembali jatuh, seakan tubuhnya tak lagi bisa menahan beratnya perasaan itu.


Sinar matahari siang makin menyengat, tapi udara justru terasa dingin — dingin yang lahir dari kehilangan, bukan dari cuaca.


Aku duduk di sampingnya, menatap reruntuhan bangunan yang kini penuh dengan kenangan dan doa yang belum sempat disampaikan. Dalam hati, aku ikut berdoa: semoga setiap nama yang hilang, segera ditemukan... dan setiap hati yang hancur, diberi kekuatan untuk tetap bertahan.



Di Antara Doa dan Debu


Waktu terasa berjalan lambat. Matahari sudah tinggi di atas kepala, tapi di lokasi itu, seolah tak ada yang peduli pada panas, haus, atau lapar. Semua mata tertuju pada satu titik: reruntuhan bangunan yang kini jadi saksi bisu dari kisah yang memilukan.


Petugas SAR terus bekerja tanpa henti. Debu beterbangan, bercampur dengan keringat dan air mata. Sesekali terdengar teriakan, “Teman-teman! Hati-hati di sisi kanan!” — membuat semua orang menahan napas.


Aku memegang bahu Ibu Santi yang kini mulai lemas. Tubuhnya tampak kaku, tapi matanya tak beranjak sedikit pun dari arah tim penyelamat.

“Bu, mau duduk dulu di tenda?” tanyaku pelan.

Dia menggeleng. “Saya mau di sini saja. Kalau anak saya ketemu... saya ingin jadi orang pertama yang melihat.”


Aku menatapnya, tak kuasa menahan perih di dada. Tak ada kekuatan yang lebih besar dari cinta seorang ibu.


Waktu berlalu. Suara ekskavator tiba-tiba berhenti. Hening seketika menyelimuti area itu. Semua orang spontan berdiri, menatap ke arah tim yang kini berkerumun di satu titik.


“Temuan!” seru salah satu petugas.


Ibu Santi mencengkeram tanganku erat. Aku bisa merasakan dinginnya jari-jarinya, sekalipun udara siang itu membakar kulit. Kami melangkah perlahan mendekat, tapi langkahnya terhenti di tengah jalan. Nafasnya tersengal.

Aku berusaha menahan dia agar tetap tenang. “Bu... sabar ya, biarkan petugas yang pastikan dulu.”


Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam pun berlalu. Lalu, salah satu petugas menghampiri. Wajahnya datar, tapi mata itu menyimpan berat yang sulit dijelaskan. Ia berbisik sesuatu pada temanku dari tim SAR.


Aku tahu... dari cara temanku menunduk, dari ekspresinya yang tiba-tiba hancur.


Tanpa kata, aku menoleh ke arah Ibu Santi. Ia sudah tahu bahkan sebelum ada yang sempat berbicara. Lututnya lemas, tubuhnya jatuh dalam pelukanku, dan tangisnya pecah begitu dalam — bukan sekadar tangis kesedihan, tapi juga perpisahan.


Di sekitar kami, orang-orang menundukkan kepala. Tak ada suara selain isak dan doa.

Langit yang sedari pagi cerah tiba-tiba mendung. Angin bertiup pelan, membawa debu dan doa ke udara — seolah alam pun ikut berduka.


Aku menatap ke arah reruntuhan yang kini mulai dibersihkan sedikit demi sedikit.

Di sanalah, kisah seorang anak berakhir... tapi cinta seorang ibu takkan pernah berhenti di sana.



Langit Sore di Al-Khoziny


Sore itu, langit Sidoarjo berwarna jingga pucat.

Sisa-sisa debu masih beterbangan di udara, meninggalkan aroma tanah dan besi yang khas — aroma yang akan lama menetap di ingatanku.


Ibu Santi sudah dibawa ke tenda untuk mendapatkan pendampingan lebih lanjut.

Tubuhnya lemah, tapi di sela tangisnya ia sempat berbisik lirih,

“Yang penting saya sudah ketemu, Nak... sekarang saya cuma ingin dia tenang di sana.”


Kata-kata itu menancap dalam di benakku.

Begitu sederhana, tapi penuh kekuatan. Seolah dalam kehilangan yang begitu besar pun, seorang ibu masih bisa merelakan dengan cara yang begitu indah.


Aku berdiri tak jauh dari reruntuhan itu, menatap sisa bangunan yang kini mulai sunyi.

Dari kejauhan, suara adzan maghrib terdengar, menggema lembut di antara hiruk pikuk yang perlahan reda. Suara itu membawa ketenangan yang aneh — menenangkan, tapi juga menyayat.


Temanku dari tim SAR menepuk bahuku pelan. Wajahnya letih, matanya merah, tapi ada keteguhan di sana.

“Kita nggak bisa menyelamatkan semua, Ri,” katanya pelan, “tapi selama kita masih bisa berdoa untuk mereka, berarti kita belum benar-benar kehilangan.”


Aku hanya mengangguk. Tak ada kata yang bisa menggantikan beratnya hari itu.


Dalam perjalanan pulang, motor yang biasanya kugunakan dengan penuh semangat kini terasa berat. Setiap detik perjalanan seolah menayangkan kembali wajah Ibu Santi, suara tangisnya, dan doa-doa yang bergaung di antara reruntuhan.


Ketika malam turun sepenuhnya, aku berhenti di pinggir jalan. Menatap langit yang kini gelap, hanya diterangi cahaya lampu kota yang berpendar redup.


Lalu, dalam diam, aku berbisik pelan —

untuk setiap ibu yang kehilangan anaknya,

untuk setiap anak yang tak sempat pulang,

dan untuk setiap jiwa yang memilih bertahan di tengah luka:

semoga Tuhan memberi tempat terindah dan kekuatan yang tak pernah habis.


Sebab pada akhirnya, dari tragedi itu aku belajar —

bahwa cinta, doa, dan harapan...

tak akan pernah ikut runtuh, bahkan ketika dunia di sekelilingnya hancur.


kokobasketAvatar border
bang.toyipAvatar border
bang.toyip dan kokobasket memberi reputasi
2
111
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan