Kaskus

Story

habilyaAvatar border
TS
habilya
Samudra Luka, Cahaya Rindu
Samudra Luka, Cahaya Rindu



Namaku Maryam. Aku selalu merasa hidupku begitu lengkap. Bagaimana tidak? Dua tahun yang lalu aku menikah dengan seorang lelaki yang dengan tulus mencintaiku, dan aku pun membalas cintanya dengan segenap hatiku. Kehidupan kami sederhana, tetapi penuh kehangatan.

Aku masih ingat betapa harunya saat pertama kali aku mengandung. Di tahun kedua pernikahan, Tuhan mengaruniakan kami seorang putra yang tampan. Suamiku menatap bayi kecil itu dengan mata berkaca-kaca, lalu mengecup keningku sambil berbisik lirih, “Terima kasih, sayang, sudah memberiku anugerah terindah dalam hidup ini.”

Aku tersenyum. Saat itu aku benar-benar yakin, aku adalah wanita paling bahagia di dunia.

Hari-hari kami berjalan biasa saja, penuh rutinitas sederhana. Suamiku berangkat bekerja sejak pagi, sementara aku mengurus rumah dan putra kecil kami. Malamnya, ia pulang dengan wajah lelah, tetapi tetap menyempatkan diri menggendong anak kami, bercanda dengannya, lalu menemaniku makan malam.

Namun, semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mengenal dunia maya.

Awalnya aku tidak begitu tertarik dengan hal itu. Ponselku hanya kugunakan untuk telepon dan pesan singkat. Tetapi karena desakan teman, aku akhirnya membuat sebuah akun di Facebook. “Biar bisa bersilaturahmi dengan teman lama,” begitu alasan mereka. Aku pun mengangguk, menganggapnya hal sepele.

Ternyata dari situlah pintu kehidupan baruku terbuka—pintu yang kelak menyeretku ke jurang kegelapan.

Suatu malam, saat suamiku tertidur pulas di sampingku, aku iseng membuka Facebook. Notifikasi baru muncul, sebuah pesan dari seseorang yang sama sekali tidak kukenal.

“Hai.” begitu singkat isi pesannya.

Aku menatap layar ponsel itu sebentar, ragu. Tetapi entah mengapa, jariku dengan cepat membalas.

“Hai juga 🙂”

Tak lama, balasan datang.
“Boleh kenalan nggak? Aku Farhan. Kamu siapa?”

Aku mengetik pelan,
“Kenalin, aku Maryam. Salam kenal ya.”

Dia membalas cepat, “Hmm, nama yang indah.”

Aku tersenyum kecil.
“Nama kamu juga nggak kalah indah kok.”

Dan sejak malam itu, obrolan kami berlanjut. Hari demi hari, percakapan dengan Farhan menjadi kebiasaan baruku. Dari obrolan ringan, candaan kecil, hingga curhat-curhat yang seharusnya hanya aku bagi dengan suamiku.

Aku tidak sadar, pelan-pelan hatiku mulai condong ke arah lain.
Aku lupa, aku sudah menjadi seorang istri.

Hari-hari yang dulu penuh tawa bersama suamiku kini mulai terasa berbeda. Entah sejak kapan, aku merasa lebih bersemangat menunggu notifikasi pesan di Facebook daripada menunggu kepulangan suamiku.

Pagi-pagi, setelah suamiku berangkat kerja, aku duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Jemariku tak pernah lepas dari layar, menunggu balasan Farhan.

“Selamat pagi, Maryam cantik. Sudah sarapan belum?”
Pesan itu datang hampir setiap hari.

Aku tersenyum, sesuatu yang jarang kulakukan saat menatap wajah suamiku belakangan ini.
“Udah, kamu sendiri?” balasku.

“Belum. Nggak enak kalau makan sendirian. Pengen ada yang nemenin.”

Aku terkekeh kecil, meski tak ada seorang pun di sekitarku yang bisa melihat. Rasanya... menyenangkan.

Perlahan, aku mulai melupakan sosok yang dulu selalu membuatku merasa aman—suamiku sendiri.

Sore itu, suamiku pulang lebih cepat. Aku yang sedang asyik berbalas pesan dengan Farhan sedikit terkejut melihat pintu rumah terbuka.

“Maryam sayang!” panggilnya lembut.

Aku buru-buru meletakkan ponsel di meja, mencoba menyembunyikan raut wajahku yang kesal karena merasa “diganggu.”
“Iya, ada apa?” jawabku datar.

Ia menatapku penuh perhatian. “Kok wajahmu kusut gitu? Kamu sakit?”

Aku menghela napas, malas menanggapi. “Nggak kok. Aku sehat. Tumben pulang cepat?”

Suamiku tersenyum tipis. “Sayang, sepertinya kamu lupa ya? Ini kan hari Minggu. Aku memang libur hari ini.”

“Oh…” hanya itu jawabku, tanpa ada semangat di nada suaraku.

Suasana mendadak canggung. Dulu, setiap kali ia pulang lebih cepat, aku akan menyambutnya dengan senyum lebar, bahkan kadang memeluknya. Kini? Aku justru berharap ia tetap berada di kantor agar aku bisa leluasa berhubungan dengan Farhan.

Beberapa hari kemudian, aku menggunakan alasan klise untuk keluar rumah.
“Mas Zamy, aku keluar sebentar ya. Ada arisan.”

Padahal, aku tahu benar aku tak sedang menuju arisan. Aku melangkahkan kaki menuju sebuah restoran ternama di kotaku, tempat Farhan sudah menungguku.

Saat aku masuk, dia segera berdiri. Wajahnya tampak begitu percaya diri.
“Maaf, nunggu lama, ya?” tanyaku sambil menarik kursi.

“Tidak juga,” jawabnya singkat, lalu memanggil pelayan. “Saya pesan menu terbaik di sini, dua porsi.”

Aku meliriknya canggung. “Farhan, apa nggak terlalu mahal?”

Dia tertawa kecil, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. “Udah, jangan khawatir. Aku yang traktir.”

Aku terdiam, lalu menunduk dengan wajah memerah. “Terima kasih ya… baru kali ini aku makan di tempat seindah ini.”

Dia menatapku serius. “Suamimu nggak pernah ngajak kamu ke tempat kayak gini?”

Aku menggeleng pelan. “Dia kan cuma pegawai biasa. Gajinya juga nggak seberapa.”

Farhan mendengus ringan. “Maryam, kamu tahu nggak? Kamu itu nggak kelihatan sama sekali kalau sudah punya anak. Kamu cantik, elegan. Suamimu pasti orang yang paling beruntung.”

Hatiku bergetar. Kata-katanya terasa seperti mantra. Aku tertawa kecil, berusaha menutupi debar di dadaku.
“Kamu juga, Farhan. Suatu hari nanti, pasti ada wanita yang beruntung bisa jadi istrimu.”

Dia tersenyum, menatapku tajam. “Entah kenapa aku berharap wanita itu adalah kamu.”

Kalimat itu membuat jantungku berdegup lebih kencang. Untuk sesaat, aku lupa siapa diriku. Aku lupa bahwa aku sudah bersuami.


Gimana Guys Mau lanjut ?
chamelemonAvatar border
chamelemon memberi reputasi
1
93
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan