- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Komnas HAM diminta hentikan praktik kriminalisasi terhadap Orang Papua
TS
mabdulkarim
Komnas HAM diminta hentikan praktik kriminalisasi terhadap Orang Papua

Gamaliel M. Kaliele
Last updated: September 7, 2025 1:36 pm
Author : Gamaliel M. Kaliele
Editor : Angela Flassy
Direktur Lp3BH Manokwari, Yan Warinussy saat di temui Komnas HAM Papua, Sabtu (6/9/2025). Jubi/docLp3BH
Sorong, Jubi – Pertemuan antara Komnas HAM RI Perwakilan Papua dan Tim Advokasi LP3BH Manokwari membuka tabir baru dalam kasus dugaan makar yang menjerat empat warga Papua. Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy, menegaskan pertemuan itu bukan sekadar agenda formalitas.
“Pertemuan ini ruang untuk mengurai kejanggalan yang sejak awal membayangi kasus ini,” kata Warinussy saat ditemui di Manokwari, Sabtu (6/9/2025).
Menurutnya, kehadiran Komnas HAM yang dipimpin Frits Ramandey menunjukkan adanya pengakuan negara bahwa proses hukum berjalan tidak normal. Ia menyinggung surat resmi Komnas HAM bernomor 148/TL.Adua.3.5.6/IX/2025 yang mempertegas keseriusan perkara tersebut.
Warinussy menuding ada pelanggaran prosedur sejak tahap penyidikan hingga pelimpahan ke Kejaksaan Negeri Sorong. “Keluarga terdakwa tidak pernah diberi pemberitahuan resmi soal jalannya proses hukum. Prinsip keterbukaan dan keadilan diabaikan,” ungkapnya, Minggu (7/9/2025).
Salah satu sorotan terbesar adalah pemindahan sidang ke Pengadilan Negeri Makassar tanpa pemberitahuan. “Pasal 85 KUHAP jelas mengatur mekanisme pemindahan sidang. Keputusan sepihak ini melukai hak asasi para terdakwa,” ucapnya.
Ia menegaskan, masalah utamanya bukan sekadar teknis hukum, melainkan jarak ribuan kilometer yang memutus akses para terdakwa dengan keluarga. “Bayangkan seorang ayah menjalani proses hukum panjang tanpa bisa melihat anak-anaknya. Itu bentuk penyiksaan psikologis,” ujar Warinussy.
Bagi LP3BH, langkah ini bukan sekadar kelalaian, tetapi kesewenang-wenangan negara. Warinussy menyerukan gereja dan pemerintah daerah hadir sebagai fasilitator, agar keluarga dapat mendampingi terdakwa. “Ini kewajiban moral sekaligus hukum,” tegasnya.
Ia menekankan, mandat Komnas HAM sesuai UU No. 39/1999 harus dijalankan maksimal. Pemantauan di Sorong dan Manokwari 3–8 September, menurutnya, tidak boleh berakhir hanya pada laporan. “Publik berhak tahu fakta. Jangan sampai laporan jadi dokumen tanpa nyawa,” ucapnya.
Lebih jauh, Warinussy menilai pemindahan sidang ke Makassar hanya menambah beban keluarga—baik ekonomi maupun psikologis. “Kasus ini adalah cermin perlakuan negara terhadap rakyat Papua. Kalau hari ini kita diam, besok bisa lebih banyak lagi orang Papua yang dikriminalisasi,” ujarnya.
Ia juga meminta pemerintah pusat tidak lepas tangan. “Kalau ini pelanggaran, katakan pelanggaran. Jangan lagi ada bahasa halus yang menutupi fakta. Rakyat Papua butuh kejujuran negara,” tegas Warinussy.
Menutup pernyataannya, ia menegaskan advokasi akan terus berjalan. “Ini bukan akhir, tetapi awal dari perjuangan panjang. Kami akan berdiri bersama keluarga dan rakyat Papua melawan segala bentuk kriminalisasi. Keadilan tidak boleh dipindahkan sejauh ribuan kilometer hanya demi kepentingan penguasa. Keadilan harus hadir di tempat rakyat berada,” katanya.
https://jubi.id/domberai/2025/komnas...p-orang-papua/
LBH Papua Sorong laporkan penyiksaan warga sipil ke Komnas HAM

Gamaliel M. Kaliele
Last updated: September 7, 2025 1:31 pm
PH Korban, Ambrosius Klagilit memberikan surat penganduannya Kepada Komnas HAM Papua, Sabtu (6/9/2025). - Jubi/istimewa
Sorong, Jubi – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Sorong melaporkan dugaan penyiksaan seorang warga sipil bernama Ortizan F. Tarage oleh aparat Kepolisian Resor Sorong Kota, Papua Barat Daya kepada Kepala kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Perwakilan Papuam Jumat (5/9/2025).
Direktur LBH Papua Pos Sorong, Ambrosius Klagilit, SH menilai peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan masuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang harus segera diproses hukum.
Menurut LBH, peristiwa penyiksaan itu terjadi pada 10 Mei 2025.
Saat itu Ortizan bersama istrinya sedang memancing di belakang kantor Diklat, yang kini menjadi Kantor DPRP Papua Barat Daya. Sekitar pukul 10.30 WP, datang sekelompok orang berpakaian preman. “Mereka belakangan diketahui adalah anggota polisi, tetapi tidak menunjukkan surat tugas dan surat perintah penangkapan. Mereka langsung menangkap Ortizan,” ujar Ambrosius kepada Jubi Sabtu (6/9/2025).
LBH kemudian mengetahui penangkapan itu dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor SP.Kap/135/V/RES.1.8./2025/Satreskrim. “Namun cara penangkapan tersebut jelas sewenang-wenang dan melanggar hukum, karena tanpa prosedur sah dan penuh intimidasi,” katanya.
Ortizan lalu dibawa ke kantor polisi dan dipaksa mengaku mencuri dua unit sepeda motor. “Korban dipaksa mengaku mencuri motor sebagaimana tertuang dalam laporan polisi Nomor LP/B/90/IV/2025/SPKT/Polsek Sorong Timur/Polresta Sorong Kota/Polda Papua Barat Daya, tanggal 16 April 2025. Padahal korban menolak, karena ia tidak pernah melakukan pencurian itu,” jelas Ambrosius.
Karena menolak tuduhan, korban disiksa.
“Dalam keadaan tangan diborgol, korban dibawa ke bagian belakang ruang tahanan. Sejak siang hingga sore hari, ia dipukuli dengan kayu, bambu, besi, gembok besi, hingga selang. Ini penyiksaan yang kejam dan terencana,” ujarnya.
Menurut LBH, kondisi korban sangat parah setelah siksaan tersebut. Ortizankemudian dibawa ke RSUD Sele Be Solu. Ortizan dipaksa berjalan sendiri. Ketika Ortizan terjatuh, ia dipaksa berdiri.
“Setelah itu korban hanya dipasang infus lalu ditaruh di ruang belakang rumah sakit,” katanya.
Tidak hanya luka fisik, korban juga mengalami intimidasi. “Korban diancam agar tidak mengambil jalur hukum. Ancaman ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah penganiayaan terencana yang bertujuan membungkam korban,” kata Ambrosius.
LBH menegaskan, tindakan aparat Polresta Sorong Kota jelas bertentangan dengan konstitusi. Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
“Itu adalah hak asasi non-derogable yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun,” tegasnya.
Selain UUD 1945, LBH mengingatkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Pasal 33 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaannya.
“Polisi yang melakukan tindakan ini jelas melanggar hukum,” ujarnya.
LBH juga menyoroti penangkapan yang dinilai sewenang-wenang. Dimana pada pasal 34 UU HAM, melarang penangkapan, penahanan, dan paksaan tanpa dasar hukum yang sah.
“Fakta bahwa korban ditangkap tanpa prosedur sah, lalu dipaksa mengaku kejahatan yang tidak dilakukannya, adalah bentuk pelanggaran HAM serius,” jelas Ambrosius.
Indonesia, kata LBH, seharusnya berkomitmen pada hukum internasional yang telah diratifikasi, melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Anti Penyiksaan, serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Indonesia berkewajiban melindungi warganya dari penyiksaan. Tapi realitas di lapangan justru sebaliknya.
Ambrosius menegaskan, tindakan aparat Polresta Sorong Kota mencoreng wajah Indonesia di mata internasional.
“Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan jelas menolak penyiksaan dan Meski tidak mengikat secara hukum, Indonesia mengakuinya sebagai prinsip dasar. Tetapi di Sorong, prinsip itu diinjak-injak oleh aparat sendiri,” ujarnya.
LBH juga mengingatkan adanya aturan internal kepolisian. “Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip HAM dalam Tugas Kepolisian, dan Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Keadilan Restoratif.
“Semestinya menjadi pedoman Tapi justru dilanggar. Polisi bukannya melindungi rakyat, malah menyiksa rakyat,” kata Ambrosius.
Karena itu, LBH menyatakan bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM berat. “Kami tidak ragu menyebutnya pelanggaran HAM berat, karena memenuhi unsur penyiksaan yang dilakukan aparat negara. Tidak ada justifikasi hukum maupun moral untuk perbuatan ini,” katanya.
LBH kemudian mengajukan tiga tuntutan utama:
Komnas HAM Papua harus segera melakukan investigasi independen agar pelaku bisa dimintai pertanggungjawaban.
Kapolresta Sorong Kota wajib menetapkan pelaku penyiksaan sebagai tersangka karena bukti sudah cukup.
Sipropam Polresta Sorong Kota harus menindak tegas anggota yang terlibat dan Ambrosius juga menolak kasus ini ditutup-tutupi.
“Kami tidak ingin kasus ini berhenti di meja internal kepolisian dan Penyiksaan ini harus diadili secara terbuka, karena menyangkut martabat manusia dan prinsip negara hukum,” ujarnya.
Ia mengingatkan, jika kasus ini dibiarkan maka akan menciptakan budaya impunitas. Praktik penyiksaan oleh aparat akan terus berulang jika tidak ada tindakan tegas. Aparat akan merasa kebal hukum, dan itu berbahaya bagi demokrasi dan HAM di Indonesia, khususnya di Papua Barat Daya.
“Kami menolak keras segala bentuk kekerasan oleh aparat. Negara tidak boleh membiarkan penyiksaan ini berlalu tanpa keadilan. Korban adalah manusia, bukan binatang percobaan. Polisi harus diadili agar hukum tidak menjadi panggung impunitas,” katanya.(*)
https://jubi.id/domberai/2025/lbh-pa...ke-komnas-ham/
masalah penyiksaan di Sorong
0
43
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan