- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Umbra: When Lights Gone, Darkness Comes (Fiksi Horror)


TS
blessed88shop
Umbra: When Lights Gone, Darkness Comes (Fiksi Horror)
Hai agan²,
Numpang bikin lapak ya di mari. Ini horror fiksi yang aku buat.

Apa jadinya jika tempat liburan mewah justru menjadi mimpi buruk?
Darren hanya ingin melupakan masa lalu keluarganya yang berantakan. Tapi di Tirta Winaya Heritage, ia malah terseret ke dalam teror gaib yang mengintai setiap langkahnya.
Hantu, kutukan, dan misteri berdarah masa kolonial mulai menghantui malam-malam Darren.
Bisakah ia bertahan hidup dalam bayangan Umbra, atau justru ikut menjadi bagian dari kegelapan itu?
Aku lanjut chapter 1 ya dibawah. Kalo suka boleh donk di lemparin Cendol

Siang itu, ruang kerja Bu Angeline sunyi. Hanya dengung pendingin ruangan yang terdengar. Ponselnya tiba-tiba berdering—nama yang muncul jarang sekali: Anthony Alcander.
"Selamat siang, Pak Anthony," sapanya cepat, sedikit terkejut.
"Siang, Bu Angeline. Minggu ini putra saya, Erick, akan ke Giriwening. Dia tidak sendiri, ada temannya, Darren Pradipta. Anak itu ingin magang di resort."
Bu Angeline spontan mengambil pulpen. "Baik, Pak. Akan kami sambut dengan baik. Bagian apa yang diinginkan untuk Darren?"
"Tempatkan saja di keamanan. Anggap sebagai pembelajaran dari bawah. Perlakukan mereka sewajarnya, tanpa keistimewaan."
"Dipahami, Pak."
Anthony hanya menambahkan, "Saya percaya pada Anda," lalu menutup telepon.
Bu Angeline menatap layar ponsel yang gelap, hatinya sedikit berdebar. Putra pemilik resort datang, plus seorang anak muda asing yang akan bekerja di Giriwening. Ia bisa merasakan minggu yang sibuk—dan mungkin tidak biasa—sudah menunggu.
***
Kereta eksekutif melaju meninggalkan Jakarta, meninggalkan hiruk-pikuk kota dengan segala kerumitannya. Di kursi berhadapan, Erick Alcander duduk santai, earphone terpasang, sesekali mengunyah keripik sambil membuka media sosial. Di samping jendela, Darren Pradipta menatap pemandangan yang perlahan berubah: gedung tinggi berganti hamparan sawah hijau.
Suasana sunyi hingga Erick melepaskan earphonenya dan menatap Darren. "Lo nggak tidur dari tadi. Pikiran Lo kayaknya berat, ya?"
Darren menghela napas. "Lagi mikirin rumah."
"Nyokap bokap?" Erick menebak tepat.
Darren mengangguk. "Mereka lagi proses cerai. Udah lama nggak akur. Gue capek dengerin mereka ribut soal hal yang sama. Pulang ke rumah malah bikin stres."
Erick mengangguk, lalu mengulurkan sebotol teh dingin. "Minum dulu. Lo butuh istirahat. Giriwening tenang, jauh dari Jakarta. Lo bisa mulai tarik napas lagi di sana."
Darren menerima botol itu, tersenyum tipis. "Thanks. Gue bingung juga mau ke mana, tapi pas lo nawarin, entah kenapa gue langsung iya."
"Berarti insting Lo bener. Lagi pula, lo bisa bilang ini pelarian... atau liburan sambil kerja. Siapa tahu nemu arah baru," kata Erick dengan nada ringan.
Darren terkekeh. "Iya juga ya."
Erick kembali menyandarkan punggung ke kursi. "Delapan jam ke depan, bro. Siapin mental. Turun kereta, kita langsung ke stasiun kecil yang baunya campur solar sama sate keliling."
Darren tersenyum untuk pertama kalinya sejak berangkat, merasa sedikit lega.
Kereta akhirnya melambat dan berhenti di stasiun kecil dengan satu peron dan bangunan tua bercat pudar. Udara Giriwening terasa segar, bercampur aroma tanah basah dan kayu tua.
"Welcome to the jungle," gumam Erick sambil menatap sekeliling.
"Bukan jungle juga kali. Tapi beda banget sama Jakarta," jawab Darren.
Mereka menyeret koper keluar dan naik angkot hijau lumut. Supir, pria paruh baya dengan batik lengan pendek, bertanya, "Mau ke Tirta Winaya, Mas?"
"Iya, Pak. Dua orang," jawab Darren.
Di dalam angkot, Erick mengerutkan hidung. "Duh... bau jeruk nyegrak banget. Kayak cologne murah."
Darren menahan tawa. "Tahan, bro. Ini pengalaman hidup. Katanya lo mau belajar jadi rakyat jelata."
Erick memutar mata. "Gue bilang belajar hidup sederhana, bukan diserang bau pewangi norak."
Mereka duduk diam sepanjang perjalanan. Meski sederhana, Darren merasa damai. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kebebasan dari tekanan rumah dan pertengkaran orang tua.
***
Keesokan paginya, Darren datang ke kantor administrasi Tirta Winaya Heritage Resort. Kemeja putihnya bersih, celana pinjaman Erick sedikit kebesaran.
"Der, kancing atas lo belum dikancing," sindir Erick sambil menyerahkan sisir.
Darren mendesis geli. "Lo kayak nyokap gue, cerewet."
Mereka tertawa pelan, lalu masuk ke ruang personalia. Bu Raras, mengenakan cardigan hijau lembut, menyambut mereka ramah.
"Mas Darren ya? Silakan duduk. Ini cuma formalitas, jangan tegang," sapanya.
"Siap, Bu," jawab Darren sambil menatap sekeliling ruangan yang wangi melati.
Bu Raras membuka map. "Mas Darren akan ditempatkan di bagian keamanan, shift sore dulu. Sistem kita fleksibel, nanti bisa belajar ke bagian lain."
"Baik, Bu. Saya siap," jawab Darren.
"Yang penting, jaga sikap dan nama baik resort. Banyak tamu penting. Jangan takut bertanya kalau belum paham."
Darren mengangguk. "Mengerti, Bu."
"Satu lagi, jangan terlalu kaget kalau malam-malam suasana agak... berbeda," Bu Raras tersenyum sambil menutup map.
Darren menatapnya bingung. "Maksudnya, Bu?"
"Nanti juga tahu sendiri," jawab Bu Raras. "Selamat bergabung, Mas Darren."
Di luar, Erick menepuk pundak Darren. "Lolos, kan?"
"Lolos donk! Kan gue bawa anak bos," jawab Darren sambil tersenyum.
Mereka berjalan ke beranda kamar tamu semalam. Darren terhenti melihat lukisan besar dekat tangga sayap timur, seorang pria Jawa berpakaian bangsawan tempo dulu, wajahnya mirip Darren.
"Eh, mirip lo, sumpah. Tapi versi tuanya," gumam Erick.
Darren menatap lukisan itu, merasakan ada yang aneh dalam sorot mata pria di kanvas.
Setelah berkeliling, mereka duduk di beranda. Darren menatap langit senja, bersandar di kursi rotan.
"Rik, gue putusin buat ngekos aja. Gak enak numpang lama-lama di sini."
Erick menoleh cepat. "Lah, kenapa? Kan bisa sekamar sama gue."
Darren tersenyum. "Disini gue kerja, bukan tamu. Lagian gue gak enak sama staf lain."
Erick menghela napas. "Oke. Tapi kalau butuh apa-apa, langsung kabari gue."
"Thanks, bro," Darren menepuk bahu Erick. "Lo udah baik banget ngajak gue ke sini."
Tak lama, Darren pindah ke kos sederhana di tepi desa Giriwening, sekitar 15 menit jalan kaki dari resort. Rumah kos milik pasangan lansia, Pak Darno dan Bu Murni. Kamar kecil, berdinding kayu, menghadap kebun pisang, dengan tempat tidur single, meja kayu, dan rak buku tua.
Darren menyukai suasana itu. Angin sore membawa suara jangkrik dan aroma kayu bakar.
Di ruang tengah, Pak Darno memberi pesan sederhana. "Kalau malam dengar suara aneh, diem aja. Jangan disahutin."
Darren menoleh. "Suara apa, Pak?"
Pak Darno tersenyum sambil menyalakan rokoknya. "Desa ini penuh cerita, Nak. Yang penting jaga tata krama di tempat baru."
Darren mengangguk. "Siap, Pak."
Numpang bikin lapak ya di mari. Ini horror fiksi yang aku buat.
Spoiler for spoiler :

Apa jadinya jika tempat liburan mewah justru menjadi mimpi buruk?
Darren hanya ingin melupakan masa lalu keluarganya yang berantakan. Tapi di Tirta Winaya Heritage, ia malah terseret ke dalam teror gaib yang mengintai setiap langkahnya.
Hantu, kutukan, dan misteri berdarah masa kolonial mulai menghantui malam-malam Darren.
Bisakah ia bertahan hidup dalam bayangan Umbra, atau justru ikut menjadi bagian dari kegelapan itu?
Aku lanjut chapter 1 ya dibawah. Kalo suka boleh donk di lemparin Cendol


Spoiler for chapter 1:
Siang itu, ruang kerja Bu Angeline sunyi. Hanya dengung pendingin ruangan yang terdengar. Ponselnya tiba-tiba berdering—nama yang muncul jarang sekali: Anthony Alcander.
"Selamat siang, Pak Anthony," sapanya cepat, sedikit terkejut.
"Siang, Bu Angeline. Minggu ini putra saya, Erick, akan ke Giriwening. Dia tidak sendiri, ada temannya, Darren Pradipta. Anak itu ingin magang di resort."
Bu Angeline spontan mengambil pulpen. "Baik, Pak. Akan kami sambut dengan baik. Bagian apa yang diinginkan untuk Darren?"
"Tempatkan saja di keamanan. Anggap sebagai pembelajaran dari bawah. Perlakukan mereka sewajarnya, tanpa keistimewaan."
"Dipahami, Pak."
Anthony hanya menambahkan, "Saya percaya pada Anda," lalu menutup telepon.
Bu Angeline menatap layar ponsel yang gelap, hatinya sedikit berdebar. Putra pemilik resort datang, plus seorang anak muda asing yang akan bekerja di Giriwening. Ia bisa merasakan minggu yang sibuk—dan mungkin tidak biasa—sudah menunggu.
***
Kereta eksekutif melaju meninggalkan Jakarta, meninggalkan hiruk-pikuk kota dengan segala kerumitannya. Di kursi berhadapan, Erick Alcander duduk santai, earphone terpasang, sesekali mengunyah keripik sambil membuka media sosial. Di samping jendela, Darren Pradipta menatap pemandangan yang perlahan berubah: gedung tinggi berganti hamparan sawah hijau.
Suasana sunyi hingga Erick melepaskan earphonenya dan menatap Darren. "Lo nggak tidur dari tadi. Pikiran Lo kayaknya berat, ya?"
Darren menghela napas. "Lagi mikirin rumah."
"Nyokap bokap?" Erick menebak tepat.
Darren mengangguk. "Mereka lagi proses cerai. Udah lama nggak akur. Gue capek dengerin mereka ribut soal hal yang sama. Pulang ke rumah malah bikin stres."
Erick mengangguk, lalu mengulurkan sebotol teh dingin. "Minum dulu. Lo butuh istirahat. Giriwening tenang, jauh dari Jakarta. Lo bisa mulai tarik napas lagi di sana."
Darren menerima botol itu, tersenyum tipis. "Thanks. Gue bingung juga mau ke mana, tapi pas lo nawarin, entah kenapa gue langsung iya."
"Berarti insting Lo bener. Lagi pula, lo bisa bilang ini pelarian... atau liburan sambil kerja. Siapa tahu nemu arah baru," kata Erick dengan nada ringan.
Darren terkekeh. "Iya juga ya."
Erick kembali menyandarkan punggung ke kursi. "Delapan jam ke depan, bro. Siapin mental. Turun kereta, kita langsung ke stasiun kecil yang baunya campur solar sama sate keliling."
Darren tersenyum untuk pertama kalinya sejak berangkat, merasa sedikit lega.
Kereta akhirnya melambat dan berhenti di stasiun kecil dengan satu peron dan bangunan tua bercat pudar. Udara Giriwening terasa segar, bercampur aroma tanah basah dan kayu tua.
"Welcome to the jungle," gumam Erick sambil menatap sekeliling.
"Bukan jungle juga kali. Tapi beda banget sama Jakarta," jawab Darren.
Mereka menyeret koper keluar dan naik angkot hijau lumut. Supir, pria paruh baya dengan batik lengan pendek, bertanya, "Mau ke Tirta Winaya, Mas?"
"Iya, Pak. Dua orang," jawab Darren.
Di dalam angkot, Erick mengerutkan hidung. "Duh... bau jeruk nyegrak banget. Kayak cologne murah."
Darren menahan tawa. "Tahan, bro. Ini pengalaman hidup. Katanya lo mau belajar jadi rakyat jelata."
Erick memutar mata. "Gue bilang belajar hidup sederhana, bukan diserang bau pewangi norak."
Mereka duduk diam sepanjang perjalanan. Meski sederhana, Darren merasa damai. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kebebasan dari tekanan rumah dan pertengkaran orang tua.
***
Keesokan paginya, Darren datang ke kantor administrasi Tirta Winaya Heritage Resort. Kemeja putihnya bersih, celana pinjaman Erick sedikit kebesaran.
"Der, kancing atas lo belum dikancing," sindir Erick sambil menyerahkan sisir.
Darren mendesis geli. "Lo kayak nyokap gue, cerewet."
Mereka tertawa pelan, lalu masuk ke ruang personalia. Bu Raras, mengenakan cardigan hijau lembut, menyambut mereka ramah.
"Mas Darren ya? Silakan duduk. Ini cuma formalitas, jangan tegang," sapanya.
"Siap, Bu," jawab Darren sambil menatap sekeliling ruangan yang wangi melati.
Bu Raras membuka map. "Mas Darren akan ditempatkan di bagian keamanan, shift sore dulu. Sistem kita fleksibel, nanti bisa belajar ke bagian lain."
"Baik, Bu. Saya siap," jawab Darren.
"Yang penting, jaga sikap dan nama baik resort. Banyak tamu penting. Jangan takut bertanya kalau belum paham."
Darren mengangguk. "Mengerti, Bu."
"Satu lagi, jangan terlalu kaget kalau malam-malam suasana agak... berbeda," Bu Raras tersenyum sambil menutup map.
Darren menatapnya bingung. "Maksudnya, Bu?"
"Nanti juga tahu sendiri," jawab Bu Raras. "Selamat bergabung, Mas Darren."
Di luar, Erick menepuk pundak Darren. "Lolos, kan?"
"Lolos donk! Kan gue bawa anak bos," jawab Darren sambil tersenyum.
Mereka berjalan ke beranda kamar tamu semalam. Darren terhenti melihat lukisan besar dekat tangga sayap timur, seorang pria Jawa berpakaian bangsawan tempo dulu, wajahnya mirip Darren.
"Eh, mirip lo, sumpah. Tapi versi tuanya," gumam Erick.
Darren menatap lukisan itu, merasakan ada yang aneh dalam sorot mata pria di kanvas.
Setelah berkeliling, mereka duduk di beranda. Darren menatap langit senja, bersandar di kursi rotan.
"Rik, gue putusin buat ngekos aja. Gak enak numpang lama-lama di sini."
Erick menoleh cepat. "Lah, kenapa? Kan bisa sekamar sama gue."
Darren tersenyum. "Disini gue kerja, bukan tamu. Lagian gue gak enak sama staf lain."
Erick menghela napas. "Oke. Tapi kalau butuh apa-apa, langsung kabari gue."
"Thanks, bro," Darren menepuk bahu Erick. "Lo udah baik banget ngajak gue ke sini."
Tak lama, Darren pindah ke kos sederhana di tepi desa Giriwening, sekitar 15 menit jalan kaki dari resort. Rumah kos milik pasangan lansia, Pak Darno dan Bu Murni. Kamar kecil, berdinding kayu, menghadap kebun pisang, dengan tempat tidur single, meja kayu, dan rak buku tua.
Darren menyukai suasana itu. Angin sore membawa suara jangkrik dan aroma kayu bakar.
Di ruang tengah, Pak Darno memberi pesan sederhana. "Kalau malam dengar suara aneh, diem aja. Jangan disahutin."
Darren menoleh. "Suara apa, Pak?"
Pak Darno tersenyum sambil menyalakan rokoknya. "Desa ini penuh cerita, Nak. Yang penting jaga tata krama di tempat baru."
Darren mengangguk. "Siap, Pak."
Spoiler for All Chapter :
Diubah oleh blessed88shop 06-09-2025 07:56
0
41
Kutip
3
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan