- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Risiko Burden Sharing SBN: Inflasi Hingga Independensi BI Buram


TS
jaguarxj220
Risiko Burden Sharing SBN: Inflasi Hingga Independensi BI Buram
Bloomberg Technoz, Jakarta - Wacana penerapan skema berbagi beban bunga utang atau burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kembali mencuat di tengah kebutuhan pembiayaan jumbo untuk program Asta Cita.
Burden sharing merupakan skema pembagian beban bunga yang dilakukan dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk program pemerintah. Skema ini sebelumnya pernah diterapkan pada masa darurat keuangan pandemi Covid-19, di mana BI ikut menanggung beban pembiayaan negara melalui pembelian obligasi pemerintah dengan bunga lebih rendah dari pasar.
Analis perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo menilai burden sharing semestinya hanya berlaku dalam kondisi darurat ketika akses pasar terbatas, seperti saat pandemi lalu. Dalam situasi normal, menurutnya, pemerintah sebaiknya mengandalkan pembiayaan melalui pasar surat utang atau sumber pendanaan lain agar independensi BI tetap terjaga.
"Namun, jika kebutuhan pembiayaan program Asta Cita sangat besar sementara pasar belum cukup menyerap dengan biaya murah, maka burden sharing bisa dipertimbangkan kembali sebagai opsi sementara dengan batasan ketat," kata Arianto kepada Bloomberg Technoz, dikutip Kamis (4/9/2925).
Pada dasarnya, Arianto mengungkapkan peran BI dalam pelaksanaan skema burden sharing ialah untuk mendukung stabilitas fiskal dan program pemerintah. Namun risikonya, kredibilitas BI sebagai otoritas moneter independen bisa dipertanyakan, inflasi berpotensi naik akibat injeksi likuiditas, serta timbul moral hazard dari pemerintah.
"Sebenarnya saat ini pendanaan berbunga relatif murah bisa didapatkan lewat pasar obligasi, apalagi dengan tren suku bunga turun, sehingga burden sharing bukan pilihan utama," jelasnya.
Sementara itu, dari sisi regulasi, dia menegaskan burden sharing bukanlah mekanisme normal yang diatur dalam UU BI maupun UU Keuangan Negara, melainkan hanya untuk kondisi khusus.
"Jika ingin diterapkan kembali di era normal, perlu landasan hukum yang lebih jelas, misalnya perubahan regulasi atau keputusan politik bersama agar tidak melanggar prinsip independensi BI," tegasnya.
Sejalan denga Arianto, ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana berpandang bahwa burden sharing berisiko meruntuhkan independensi BI secara de facto. Sebab, ia mengingatkan, Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 hanya memperbolehkan BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dalam kondisi krisis dan atas keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
"Jadi apakah sebenarnya saat ini pemerintah dan BI mengakui bahwa kondisi keuangan negara saat ini sedang krisis? Tapi berkebalikan dengan ihwal syarat UU tersebut, seluruh stakeholder negara selalu mengatakan bahwa kondisi stabilitas keuangan kita masih tangguh," tegasnya.
Selain itu menurutnya, keterlibatan BI dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai program pemerintah adalah sinyal bahwa pemerintah kesulitan mencari pembiayaan dari publik.
Kondisi ini berpotensi menurunkan nilai rupiah karena pada dasarnya BI mencetak uang baru tanpa menciptakan barang dan jasa tambahan di perekonomian.
"Investor yang melihat BI tidak lagi bisa diandalkan untuk mengutamakan nilai mata uang rupiah akan berisiko pergi atau menuntut bunga yang lebih premium untuk mengakomodasi risiko tersebut, yang pada akhirnya semakin membuat keuangan negara menjadi lebih berat dari sekarang," pungkasnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, hingga awal September 2025 BI telah membeli SBN senilai Rp200 triliun di pasar sekunder.
"Kami sampaikan sampai dengan kemarin [Senin 1 September 2025] kami sudah membeli SBN Rp200 triliun dan itu konsisten dengan kami memang mau ekspansif kebijakan moneternya. Penurunan suku bunga dan kemudian kami ekspansif menambah likuiditas dengan cara membeli SBN dari pasar sekunder sesuai kaidah-kaidah kebijakan moneter," jelas Perry dalam Rapat bersama DPD RI secara daring, dikutip Rabu (3/9/2025).
Adapun dari Dana hasil pembelian SBN tersebut sebagian digunakan pemerintah untuk mendukung program perumahan rakyat dan koperasi Desa Merah Putih. Dalam skema burden sharing, BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepakat berbagi beban bunga secara proporsional.
"Misalnya untuk pendanaan perumahan rakyat itu bebannya Bu Menteri Keuangan dan kami BI itu sama-sama 2,9%. Sehingga bisa menurunkan biaya bunga fiskal 2,9%," ungkap Perry.
Sementara itu, untuk program koperasi Desa Merah Putih, bunga yang ditanggung bersama mencapai 2,15%. Menurut Perry, formula pembagian bunga dihitung dari selisih antara bunga SBN 10 tahun dan hasil penempatan pemerintah di perbankan, lalu dibagi dua.
https://www.bloombergtechnoz.com/det...ensi-bi-buram/
Dengan kebijakan Burden Sharing diberlakukan lagi, berarti memang kondisi ekonomi sekarang sama seperti era COVID.
Burden sharing merupakan skema pembagian beban bunga yang dilakukan dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk program pemerintah. Skema ini sebelumnya pernah diterapkan pada masa darurat keuangan pandemi Covid-19, di mana BI ikut menanggung beban pembiayaan negara melalui pembelian obligasi pemerintah dengan bunga lebih rendah dari pasar.
Analis perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo menilai burden sharing semestinya hanya berlaku dalam kondisi darurat ketika akses pasar terbatas, seperti saat pandemi lalu. Dalam situasi normal, menurutnya, pemerintah sebaiknya mengandalkan pembiayaan melalui pasar surat utang atau sumber pendanaan lain agar independensi BI tetap terjaga.
"Namun, jika kebutuhan pembiayaan program Asta Cita sangat besar sementara pasar belum cukup menyerap dengan biaya murah, maka burden sharing bisa dipertimbangkan kembali sebagai opsi sementara dengan batasan ketat," kata Arianto kepada Bloomberg Technoz, dikutip Kamis (4/9/2925).
Pada dasarnya, Arianto mengungkapkan peran BI dalam pelaksanaan skema burden sharing ialah untuk mendukung stabilitas fiskal dan program pemerintah. Namun risikonya, kredibilitas BI sebagai otoritas moneter independen bisa dipertanyakan, inflasi berpotensi naik akibat injeksi likuiditas, serta timbul moral hazard dari pemerintah.
"Sebenarnya saat ini pendanaan berbunga relatif murah bisa didapatkan lewat pasar obligasi, apalagi dengan tren suku bunga turun, sehingga burden sharing bukan pilihan utama," jelasnya.
Sementara itu, dari sisi regulasi, dia menegaskan burden sharing bukanlah mekanisme normal yang diatur dalam UU BI maupun UU Keuangan Negara, melainkan hanya untuk kondisi khusus.
"Jika ingin diterapkan kembali di era normal, perlu landasan hukum yang lebih jelas, misalnya perubahan regulasi atau keputusan politik bersama agar tidak melanggar prinsip independensi BI," tegasnya.
Sejalan denga Arianto, ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana berpandang bahwa burden sharing berisiko meruntuhkan independensi BI secara de facto. Sebab, ia mengingatkan, Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 hanya memperbolehkan BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dalam kondisi krisis dan atas keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
"Jadi apakah sebenarnya saat ini pemerintah dan BI mengakui bahwa kondisi keuangan negara saat ini sedang krisis? Tapi berkebalikan dengan ihwal syarat UU tersebut, seluruh stakeholder negara selalu mengatakan bahwa kondisi stabilitas keuangan kita masih tangguh," tegasnya.
Selain itu menurutnya, keterlibatan BI dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai program pemerintah adalah sinyal bahwa pemerintah kesulitan mencari pembiayaan dari publik.
Kondisi ini berpotensi menurunkan nilai rupiah karena pada dasarnya BI mencetak uang baru tanpa menciptakan barang dan jasa tambahan di perekonomian.
"Investor yang melihat BI tidak lagi bisa diandalkan untuk mengutamakan nilai mata uang rupiah akan berisiko pergi atau menuntut bunga yang lebih premium untuk mengakomodasi risiko tersebut, yang pada akhirnya semakin membuat keuangan negara menjadi lebih berat dari sekarang," pungkasnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, hingga awal September 2025 BI telah membeli SBN senilai Rp200 triliun di pasar sekunder.
"Kami sampaikan sampai dengan kemarin [Senin 1 September 2025] kami sudah membeli SBN Rp200 triliun dan itu konsisten dengan kami memang mau ekspansif kebijakan moneternya. Penurunan suku bunga dan kemudian kami ekspansif menambah likuiditas dengan cara membeli SBN dari pasar sekunder sesuai kaidah-kaidah kebijakan moneter," jelas Perry dalam Rapat bersama DPD RI secara daring, dikutip Rabu (3/9/2025).
Adapun dari Dana hasil pembelian SBN tersebut sebagian digunakan pemerintah untuk mendukung program perumahan rakyat dan koperasi Desa Merah Putih. Dalam skema burden sharing, BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepakat berbagi beban bunga secara proporsional.
"Misalnya untuk pendanaan perumahan rakyat itu bebannya Bu Menteri Keuangan dan kami BI itu sama-sama 2,9%. Sehingga bisa menurunkan biaya bunga fiskal 2,9%," ungkap Perry.
Sementara itu, untuk program koperasi Desa Merah Putih, bunga yang ditanggung bersama mencapai 2,15%. Menurut Perry, formula pembagian bunga dihitung dari selisih antara bunga SBN 10 tahun dan hasil penempatan pemerintah di perbankan, lalu dibagi dua.
https://www.bloombergtechnoz.com/det...ensi-bi-buram/
Dengan kebijakan Burden Sharing diberlakukan lagi, berarti memang kondisi ekonomi sekarang sama seperti era COVID.






rizkync108 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
243
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan