Kaskus

Entertainment

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Kalosi: Data Statistik Aneh & Misteri di Baliknya
Kalosi: Data Statistik Aneh & Misteri di Baliknya

Suara Warga Sidrap di Trowulan

Kalosi, sebuah desa kecil di kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, bukan sekadar desa biasa. Ia adalah teka-teki yang dibungkus rapi dengan aroma padi, denting sendok di atas piring kaca, gelak tawa anak muda yang bersembunyi di balik pohon mangga dan tenda usang-- sibuk menelpon nomor random di atas balai-balai bambu di bawah kolong rumah, kontras dengan gema azan subuh yang selalu datang tepat waktu. Di peta, Kalosi hanyalah titik kecil di antara hamparan hijau persawahan Sidrap, seolah tak punya arti. Tetapi jangan tertipu. Di balik wajah polos jejeran rumah panggung dan jalanan berdebu, desa ini menyimpan lapisan rahasia yang lebih rapi daripada arsip negara, lebih disiplin daripada pasukan pengibar bendera.

Kecurigaan itu bukan tanpa alasan. Data resmi desa menampilkan angka yang aneh: hanya satu penganut Katolik di Kalosi. Angka ini terlalu rapi, terlalu steril, seakan dipoles agar tidak memancing pertanyaan. Mustahil rasanya. Keyakinan tidak pernah berdiri sendirian seperti tiang listrik di tengah sawah. Satu orang biasanya berarti satu keluarga; paling tidak ada pasangan, mungkin juga anak-anak yang ikut di dalamnya. Namun di tabel statistik, angka itu tetap kaku: satu. Satu yang sunyi, satu yang beku, seolah menjadi isyarat tersembunyi yang sengaja dibiarkan untuk mereka yang tahu cara membacanya.

Menjelang akhir Desember tahun lalu, ketika dunia dipenuhi gemerlap lampu dan denting lonceng Natal, Kalosi justru larut dalam keheningan. Tak ada pohon Natal, tak ada misa malam yang bergema, tak ada lagu “Malam Kudus” yang mengalun dari pengeras suara. Yang terdengar hanya riuh pesta pernikahan: kursi plastik berjejer rapi, musik dangdut berulang tanpa henti, tamu-tamu datang dan pergi silih berganti. Yang menarik, entah sadar entah tidak sadar, pesta itu berlangsung tepat pada hari Natal — waktu yang biasanya dihindari warga Muslim, yang lazim memilih hari lain agar tidak bersinggungan dengan perayaan umat lain. Sulit untuk menganggapnya kebetulan. Mungkin pesta itu bukan sekadar hajatan, melainkan perayaan Natal yang sengaja dikemas sederhana, terselubung di balik tenda berwarna biru dan dentuman musik dangdut.

Bagi orang luar, semua ini mungkin tampak terpisah, seolah tidak ada benang merah yang menghubungkannya. Namun, bagi telinga yang terbiasa dengan nada dan irama percakapan Kalosi, potongan-potongan itu perlahan merangkai dirinya menjadi pola yang sulit diabaikan. Saat ledakan bom Makassar mengguncang, sebuah video yang merekam detik-detik terakhir sebelum tragedi memperjelas segalanya. Di balik riuhnya kerumunan, suara-suara yang sangat familiar terdengar jelas — timbre yang tak mungkin salah orang, warna pita suara yang tak bisa dipalsukan. Suara-suara itu, tanpa keraguan sedikit pun, berasal dari warga Kalosi.

Misteri itu tidak berhenti di sana. Beberapa tahun setelah tragedi Makassar, saya tanpa sengaja menjumpai sebuah video di halaman Facebook Trah Majapahit.Rekamannya tampak sepele: gambar buram, kamera yang bergoyang, dan suara-suara samar di latar. Namun, bagi telinga yang terbiasa menangkap intonasi logat Sidrap, rekaman itu bercerita lain. Di balik percakapan yang terdengar acak, terselip frasa-frasa yang terlalu akrab, seolah memanggil dari jarak yang tidak mungkin disangkal.

Bukan hanya aksennya yang khas, tetapi juga intonasi dan pilihan kata. Cara mereka memanggil satu sama lain, jeda yang muncul di antara kalimat, bahkan tawa kecil yang terdengar di sela obrolan — semuanya membawa ciri Kalosi yang tak terbantahkan. Bagi orang luar, suara-suara itu mungkin terdengar seperti percakapan Bugis biasa. Tetapi bagi mereka yang tahu, setiap suku kata itu adalah sidik jari akustik yang tidak mungkin dipalsukan.

Kehadiran suara itu di video Trah Majapahit segera menimbulkan pertanyaan: apa yang dilakukan warga Kalosi di Trowulan? Ini bukan soal wisata budaya. Tidak ada alasan logis mengapa sekelompok warga dari sebuah desa kecil di Sulawesi berada di jantung situs sejarah yang kerap disebut sebagai pusat kejayaan Majapahit. Jika mereka berkunjung untuk tujuan wisata, mestinya ada foto-foto yang diunggah, cerita yang dibagikan, atau setidaknya kabar yang beredar di warung kopi. Tapi tidak ada. Hening.

Video itu pun menghilang beberapa minggu setelah saya membagikannya dengan catatan singkat bahwa saya mengenali suara-suara di balik rekaman tersebut. Hilangnya video itu, entah karena dihapus oleh admin atau laporan pihak tertentu, hanya mempertebal misteri. Di Kalosi, orang-orang memilih diam. Diam yang sama seperti ketika potongan suara mereka muncul di rekaman bom Makassar.

Pertanyaan pun mengemuka. Mengapa desa kecil seperti Kalosi, memiliki jejak suara dan wajah dalam dua peristiwa berbeda — ledakan bom di Makassar dan sebuah rekaman samar dari Trowulan? Mengapa perayaan Natal di sana seakan disamarkan dengan pesta kimpoian, seolah-olah ada keyakinan yang sengaja ditutupi dari pandangan luar?

Di Kalosi, diam adalah bahasa yang paling fasih. Tidak ada yang mau bicara terang-terangan. Jika ditanya, mereka hanya tersenyum samar, lalu mengganti topik pembicaraan. Diam ini bukan ketakutan, melainkan disiplin kolektif yang diwariskan turun-temurun. Desa ini tahu cara menyimpan rahasia.

Namun rahasia tidak selalu bisa terkubur rapat. Kadang ia bocor, bukan lewat pengakuan, tetapi lewat kebetulan: suara yang terekam, wajah yang terpotret, pola yang terbentuk dari data yang tampak sederhana. Dan kebetulan-kebetulan ini mengarah ke satu kemungkinan: Kalosi menyembunyikan keyakinan yang berbeda dari yang mereka tampakkan.

Logika menawarkan banyak tafsir. Mungkin ada sejarah panjang yang tak tercatat, mungkin pula ada memori kolektif yang membuat mereka memilih bersembunyi di balik identitas mayoritas. Di banyak desa lain, keyakinan minoritas sering menjadi sumber ketegangan. Di Kalosi, ketegangan itu tidak tampak di permukaan, tetapi terasa di udara, seperti bau tanah yang basah sebelum hujan datang.

Majapahit, dengan segala mitos dan glorifikasinya, menjadi latar yang tidak bisa diabaikan. Narasi tentang kejayaan masa lalu selalu menjadi medan tarik-menarik kekuasaan. Dari arsip kolonial yang membingkai Majapahit sebagai simbol tata tertib, hingga nasionalisme modern yang menjadikannya fondasi imajinasi persatuan. Tetapi di balik narasi besar itu, selalu ada suara-suara kecil yang mencoba menegosiasi tempatnya sendiri. Suara-suara itu, di Kalosi, tidak pernah lantang. Mereka hadir samar, bersembunyi di sela pesta kimpoian, di sela nyanyian biduan organ tunggal, di sela tawa passobis yang memecah keheningan.

Kalosi mungkin bukan pusat sejarah, tetapi ia adalah simpul yang menghubungkan banyak lapisan cerita. Di satu sisi, ia adalah desa agraris yang tampak biasa. Di sisi lain, ia adalah ruang tempat keyakinan, sejarah, dan tragedi berlapis-lapis, saling bertumpuk seperti arsip yang tidak pernah selesai dibaca.

Tidak banyak yang berani membicarakan kemungkinan ini secara terbuka. Kalosi bukan tempat untuk gosip sembrono. Setiap kata memiliki bobot, setiap isyarat memiliki makna. Orang luar mungkin melihat ini sebagai paranoia, tetapi bagi mereka yang lahir dan tumbuh di sana, diam adalah cara bertahan hidup.

Namun dunia tidak selalu membiarkan diam tetap diam. Ledakan bom di Makassar, suara-suara di video Trah Majapahit, dan statistik yang terlalu rapi adalah retakan kecil di dinding keheningan. Retakan yang cukup untuk membuat orang-orang mulai bertanya.

Apakah Kalosi benar-benar hanya desa kecil dengan satu penganut Katolik? Ataukah angka itu hanyalah kode, semacam penyamaran yang telah berlangsung terlalu lama? Apakah perayaan Natal yang disamarkan dengan pesta kimpoian adalah bentuk perlindungan, atau justru bentuk perlawanan?

Tidak ada jawaban pasti, dan mungkin tidak akan pernah ada. Tetapi Kalosi, dengan segala keteraturannya yang tampak, menyimpan keganjilan yang sulit diabaikan. Desa ini seperti buku tua yang halaman-halamannya tidak lengkap, yang catatannya terhapus, tetapi masih menyisakan bekas tinta yang samar.

Malam-malam di Kalosi tetap hening. Angin membawa aroma padi, suara jangkrik bersahut-sahutan, dan dari kejauhan terdengar deru motor rombongan passonis yang melintas di jalan berdebu. Kehidupan berjalan seperti biasa. Namun bagi mereka yang pernah mendengar suara-suara itu, melihat potongan video itu, atau membaca angka satu yang terlalu sunyi di tabel statistik desa, Kalosi tidak lagi sama.

Di balik kesederhanaannya, desa ini menyimpan lapisan-lapisan makna yang menunggu untuk dibaca. Bukan untuk diungkapkan dengan gegabah, bukan untuk dijadikan sensasi, tetapi untuk dipahami dengan kesabaran. Karena Kalosi, pada akhirnya, adalah tentang bagaimana sesuatu bisa tetap tersembunyi sambil tetap hadir, tentang bagaimana sejarah, keyakinan, dan tragedi bisa berbaur tanpa pernah benar-benar menyatu.

Dan di malam-malam tertentu, ketika angin bertiup lebih dingin dari biasanya, seolah membawa bisikan dari masa lalu, Kalosi mengingatkan kita bahwa tidak semua kebenaran bisa dibicarakan. Beberapa kebenaran hanya bisa didengar, samar, di antara jeda keheningan.
0
73
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan