Kejadian yang menimpa Affan, ojol pada tanggal 28 Agustus 2025 sebenarnya banyak terjadi dan banyak dilakukan oleh polisi (bukan oknum). Iya, kekerasan bahkan sampai pembunuhan. Entah kepada pendemo atau kepada masyarakat kecil yang tidak sepaham dengan pemerintah.

Semboyan 'Polri untuk Masyarakat' juga tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaannya. Masyarakat mana yang dilindungi polri? Masyarakat yang punya banyak uang atau yang punya kekuasaan. Itu jawabannya. Dari hal ini sudah bertolak belakang, bukan?

Mengapa?
1. Polisi dilatih untuk lihai bersenjata, memaksimalkan tubuh (otot). Tidak dilatih berpikir,
2. Pendidikan untuk menjadi anggota polisi minimal SMA.

Setidaknya, saya punya dua alasan untuk tidak memercayai semboyan di atas dan menurut saya dua alasan tersebut menjadi acuan mengapa polisi mesti melakukan kekerasan dalam tindakannya.

Saya tidak kasihan pada Affan, terlepas beliau ikut demo atau sebatas mengantar pesanan. Namun, bagaimana dengan trauma ibunya? Anak pamit kerja, pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Ibu mana yang tidak trauma? Affan sudah tenang, mungkin sudah bertemu dengan malaikat--bidadari atau mungkin sudah berbincang mesra dengan Tuhan, tapi tidak dengan hati ibunya. Kacau.

Hubungannya dengan DPR apa?
Ya jelas, kalau tidak karena DPR yang memicu amarah rakyat, tidak mungkin terjadi demo. Kalau terjadi demo, dilindungi sama polisi. Untuk melindungi keduanya, ada nyawa yang dikorbankan. Seperti itu terus.

Kuncinya dua, kalau polisi dan DPR tidak (bisa) dibubarkan:
1. Setarakan gaji DPR dengan guru PAUD. Karena dengan seperti ini, DPR tidak akan banyak tingkah. Hapus juga semua tunjangannya.
2. Syarat menjadi anggota polisi minimal S1 dan mempunyai prestasi akademik maupun non akademik. Kalau perlu ditambah lagi, harus pernah tercatat sebagai anggota organisasi. Barangkali polisi bisa memaksimalkan otaknya ketimbang otot.

Turut berduka cita yang mendalam pada Affan dan negeri tercinta ini!


Ditulis oleh Zaitun, Pegiat Literasi Sekaligus Delegasi Duta Baca Nusantara 2025