- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 4: Rahasia Kabut Abadi


TS
kenzie16465
[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 4: Rahasia Kabut Abadi
![[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 4: Rahasia Kabut Abadi](https://s.kaskus.id/images/2025/08/11/4222_10160369_9875_20250811102943.png)
Foto: KasKus/Kenzie16465
Kabut mulai menipis, seolah terbuka oleh hembusan angin yang datang dari arah tebing. Reno menatap lurus ke depan, matanya terbelalak. Di tengah celah kabut, ia melihat sesuatu yang tidak mungkin ada di dunia nyata—sebuah gerbang raksasa, tinggi menjulang, terbuat dari batu berwarna biru keperakan yang memantulkan cahaya lembut.
Gerbang itu berdiri di ujung jembatan kayu yang rapuh, melintang di atas jurang tak berdasar. Ujung lain jembatan itu hilang dalam cahaya putih yang berputar-putar seperti pusaran air. Reno bisa mendengar suara gaib memanggil namanya dari arah pusaran itu.
"Reno... waktumu hampir tiba..."
Suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Bukan suara dari orang asing, melainkan suara yang terdengar akrab... seperti milik ayahnya. Ayah yang sudah hilang bertahun-tahun lalu di tempat ini.
Reno melangkah maju, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara langkah kaki lain di belakangnya. Sosok pria tua yang ia temui sebelumnya—yang dipanggil orang-orang sebagai Penjaga Pintu Langit—muncul dari balik kabut, membawa tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar.
“Jangan gegabah,” katanya dengan nada berat. “Setiap langkah di sini akan menentukan takdirmu, juga takdir dunia di bawah sana.”
Reno menatap pria itu tajam. “Kalau begitu jelaskan. Apa sebenarnya tempat ini? Apa hubungan Pintu Langit dengan Kakekku?”
Penjaga itu diam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kau harus tahu, dunia ini terbagi menjadi dua lapisan. Dunia manusia, dan dunia cahaya. Pintu Langit adalah gerbang di antara keduanya. Tapi gerbang ini tidak boleh dibuka sembarangan, karena kabut di sini adalah pengikat kedua dunia.”
“Pengikat?” Reno mengulang kata itu, mencoba mencerna.
“Ya. Kabut ini bukan sekadar udara lembap. Ia adalah sisa-sisa energi dari perang kuno ribuan tahun lalu. Jika pengikat itu terlepas... dunia akan bercampur, dan kehancuran akan datang.”
Reno merasakan dadanya sesak. “Jadi... Kakekku...?”
Pria tua itu menatap Reno dalam-dalam. “Kakekmu adalah salah satu Penjaga. Ia mengorbankan dirinya untuk menutup Pintu Langit ketika kabut mulai melemah. Tapi ia... terjebak di sisi lain. Dan sekarang, kabut itu melemah lagi. Kau... satu-satunya yang bisa menyeberang.”
Reno menatap jembatan itu lagi. Pusaran cahaya di ujungnya kini berputar lebih cepat, mengisyaratkan sesuatu yang mendesak. “Kalau aku menyeberang... apa yang akan terjadi?”
“Kau akan menghadapi ujian terakhir,” jawab Penjaga itu. “Dan ingat, kabut ini bukan hanya menutup mata, tapi juga hati. Di dalam sana, kau akan melihat hal-hal yang membuatmu ragu, marah, bahkan takut. Hanya yang hatinya tetap murni yang bisa kembali.”
Angin bertiup kencang, membuat papan-papan jembatan berderit. Reno merasakan waktu semakin sedikit. Ia menggenggam erat tali tasnya, menguatkan diri. “Kalau itu satu-satunya cara untuk menemukan Kakekku... aku akan melakukannya.”
Pria tua itu mengangguk pelan, lalu mengangkat tongkatnya. Cahaya dari tongkat itu berubah menjadi nyala biru yang melingkari Reno, seperti perisai tipis. “Ini akan melindungimu dari kabut, tapi hanya untuk waktu terbatas. Ingat, jangan percaya pada semua yang kau lihat.”
Reno menelan ludah, lalu melangkah ke jembatan. Suara papan berderit membuatnya waspada. Setiap langkah terasa seperti menapaki batas antara kenyataan dan mimpi. Kabut kembali menebal di tengah jembatan, menyelimuti pandangannya.
Di dalam kabut itu, bayangan-bayangan mulai muncul. Reno melihat dirinya sebagai anak kecil, duduk di bahu ayahnya sambil tertawa. Ia hampir saja tersenyum, tapi kemudian bayangan itu berubah. Ia melihat ayahnya... mendorongnya ke jurang.
Reno terhenti. Itu tidak mungkin... Ayah tidak akan melakukan itu. Tapi bayangan itu terasa begitu nyata, membuat hatinya goyah.
“Jangan percaya,” ia berbisik pada dirinya sendiri, mengingat pesan Penjaga.
Namun semakin ia melangkah, bayangan-bayangan itu semakin jahat. Ia melihat ibunya menangis, ia melihat dirinya sendiri gagal menyelamatkan teman-temannya, ia melihat dunia yang terbakar.
Sampai akhirnya, ia melihat sosok Kakeknya berdiri di ujung jembatan. Kakeknya tersenyum, mengulurkan tangan. “Ayo, Reno. Sudah waktunya pulang.”
Reno berdiri terpaku. Hatinya ingin berlari, tapi sesuatu di dalam dirinya berkata ada yang tidak beres. Ia menatap mata “Kakeknya” itu, dan di dalamnya ia melihat bayangan... bukan cahaya, melainkan kegelapan.
“Itu bukan kakekku...” gumamnya.
Seketika, kabut di sekelilingnya bergejolak, dan sosok itu berubah menjadi makhluk tinggi berkulit abu-abu dengan mata merah menyala. Suaranya menggelegar, “Kau terlalu pintar untuk anak sepertimu... Tapi tak masalah. Kau tidak akan pernah melewati Pintu Langit!”
Makhluk itu melompat ke arah Reno, tapi perisai cahaya dari tongkat Penjaga menahan cakarannya. Reno tahu waktu perisainya terbatas. Ia berlari melewati makhluk itu, papan-papan jembatan berjatuhan di belakangnya.
Di ujung jembatan, pusaran cahaya semakin besar. Tanpa ragu, Reno melompat masuk ke dalamnya—dan seketika dunia di sekelilingnya berubah.
Ia berdiri di padang luas berwarna keemasan, langitnya biru tanpa awan, dan di kejauhan... ia melihat sosok pria yang berdiri membelakanginya.
“Reno...” suara itu memanggil lagi, kali ini tanpa keraguan.
Reno menahan napas. “Kakek?”
Pria itu menoleh, dan senyum hangat yang ia rindukan selama bertahun-tahun menyambutnya.
🌀 Bersambung ke Part 5: Cahaya yang Memanggil
🌀 [CERPEN] PINTU LANGIT — PART 3: Penunggu Gunung Prau
0
19
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan