- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Membayangkan Kiai tanpa Indonesia (Juz 2)


TS
tanmalako091539
Membayangkan Kiai tanpa Indonesia (Juz 2)
Konten Sensitif

Tak ada yang tahu bagaimana itu terjadi. Suatu malam di tengah acara halaqah akbar bertema “Menjaga Tradisi di Tengah Arus Globalisasi”, tanah lapang tempat para kiai berkumpul mendadak runtuh. Sebuah sinkhole raksasa menganga seperti lubang hitam yang kelaparan, menelan puluhan kiai bersorban dan bersarung ke dalam perut bumi.
Beberapa detik kemudian, mereka terlempar—bukan ke akhirat, bukan pula ke alam barzakh, melainkan ke sebuah desa kecil di provinsi Friesland, Belanda utara. Salju turun tipis. Sapi-sapi berdiri bingung di kejauhan, menatap rombongan manusia berbusana asing yang muncul entah dari dimensi mana. Seorang kiai tua mengusap salju dari sorbannya dan berbisik pelan, “Sepertinya kita bukan di Jombang.”
Awalnya mereka panik. Tak ada warung soto, tak ada toa masjid, bahkan tak ada sinyal grup WhatsApp alumni pesantren. Tidak ada suara azan, hanya suara kerkklok (lonceng gereja) yang berdentang dari menara batu berumur ratusan tahun. Tapi para kiai tak kehilangan akal. Seperti biasa, mereka mengadakan rapat. Dihadiri oleh empat Kiai sepuh, dua belas kiai muda dan seekor domba tersesat bernama Olaf, mereka duduk melingkar di sebuah lumbung tua, bekas kaaspakhuis (gudang keju) yang aromanya cukup kuat untuk membuat siapa pun istighfar tiga kali.
Salah satu kiai muda membuka pembicaraan dengan pertanyaan eksistensial, “Ini hijrah atau nyasar, Pak Yai?” Seorang kiai senior, mantan pengasuh pesantren dan dosen terbang filsafat Islam paruh waktu, menjawab dengan tenang, “Kadang hidayah itu menyamar jadi kecelakaan geologis.”
Diskusi lalu mengarah pada rencana besar: bertahan hidup, berdakwah, dan—tentu saja—menjaga tradisi. Tapi bukan sembarang dakwah. Ini bukan saatnya ceramah umum dengan pengeras suara rakitan. Ini medan yang lain. Mereka sadar, mereka kini adalah religieuze minderheid (minoritas religius) di negeri sekuler, di tanah di mana liberalisme bukan isu, tapi sistem operasi. Maka mereka menggali kembali sejarah: bagaimana para zendeling (misionaris) datang ke Nusantara dengan senyum, sekolah gratis, dan obat cacing. Dan mereka pun tersadar—ini saatnya membalas.
“Ingat,” kata seorang kiai dengan janggut seputih salju di luar lumbung, “dulu mereka datang ke negeri kita dengan sekolah gratis, obat cacing, dan janji surga dalam brosur warna-warni. Sekarang giliran kita.”
“Kita dirikan multiculturele pesantren (pesantren multikultural), lengkap dengan barista bersarung dan podcast tafsir dalam bahasa Belanda. Kita ajarkan mereka ngaji—pelan-pelan, sambil yoga.”
“Tak perlu paksa syahadat. Cukup buat mereka ragu pada sekularisme. Selebihnya biar santri TikTok yang bergerak.”
Rencana itu kemudian diberi nama sandi: Omgekeerde Infiltratie 2.0—Reverse Infiltrasi. Sebuah strategi zendelingstijl terugmissie (misi balik bergaya misionaris), halus dan penuh estetika. Mereka memulai dari hal kecil: membuka halal kookcursus untuk para ibu lokal, mengajarkan resep rendang sambil menyelipkan kisah Sunan Bonang. Para kiai belajar membuat konten YouTube dengan intro yang ramah algoritma. Mereka menyulap lumbung keju menjadi gemeenschapsruimte (ruang komunitas), lengkap dengan musholla beraroma keju Edam dan mihrab menghadap kiblat dengan bantuan Google Maps dan ijtihad darurat.
Anak-anak muda Belanda yang awalnya penasaran kini mulai rutin datang. Mereka menyebut tempat itu Huis van Licht (House of Light), meski beberapa warga lebih suka menyebutnya het mysterieuze magazijn met mannen in jurken (gudang misterius berisi lelaki berjubah). Tapi para kiai tak gentar. Mereka tahu sejarah ada di pihak mereka. Bukankah dulu missiescholen(sekolah-sekolah misi) itu juga awalnya cuma rumah biasa dengan papan nama manis?
Yang menarik, dalam waktu tiga bulan, para kiai berhasil membentuk jaringan dakwah berbasis kultural—tanpa perlu menyebut kata “dakwah”. Mereka menggelar kajian yang dikemas sebagai interreligieus spiritueel reflectiekanaal (forum refleksi spiritual antaragama), di mana tafsir surat Al-Kahfi berdampingan dengan kutipan Rumi, Kierkegaard, dan musik ambient. Beberapa warga desa yang sebelumnya skeptis mulai rutin datang, awalnya karena kopi hitam gratis), lalu pelan-pelan karena merasa “ada yang hangat di sini.”
Kiai muda mulai diundang ke culturele festivals, di mana ia membacakan syair-syair sufistik sambil memainkan gamelan. Seorang kiai paruh baya menjadi kolumnis tetap di dorpskrant (koran desa), menulis tentang “Buurtleven volgens een filosoof uit het Oosten” (kehidupan bertetangga menurut seorang filsuf dari Timur).
Namun tentu saja, tidak semua berjalan mulus. Aparat lokal mulai curiga. “Apakah ini sekte?” tanya seorang wijkagent (polisi lingkungan) yang bingung melihat antrean warga belajar huruf Arab. Mereka pun mengirim religieadviseurs (penyuluh agama negara) dan secularisme-experts untuk memantau. Tapi para kiai sudah siap. Mereka membuka forum pluriforme dialoog, dengan moderator lulusan pesantren yang fasih lima bahasa dan empat dialek postmodernisme.
Saat wawancara dengan media lokal, seorang kiai menjelaskan: “Kami bukan ingin mengganti budaya. Kami hanya menawarkan spirituele opties lain, seperti IKEA menawarkan banyak model rak.” Jawaban itu viral, disukai ribuan orang, dan membuat seorang ateis di Amsterdam merenung selama seminggu penuh.
Lama-kelamaan, kehadiran para kiai tidak lagi dianggap asing. Mereka menjadi bagian dari lanskap desa—seperti kincir angin, keju tua, dan sapi-sapi pemikir. Anak-anak kecil mulai memanggil mereka opa sorban, dan warga mulai menanyakan kapan Ramadan vasten dimulai karena ingin ikut merayakan keheningan bersama.
Tanpa terasa, dalam waktu enam bulan, pesantren itu tidak hanya bertahan. Ia tumbuh. Bukan hanya sebagai pusat kajian Islam, tapi sebagai ruang interculturele interactie, tempat nilai-nilai pesantren bertemu dengan dunia Eropa dalam bentuk yang lembut namun subversif. Mereka tidak menaklukkan Belanda. Mereka hanya menyusup, perlahan, dengan semangat kolonial gaya baru—berbalut sarung dan kopi tubruk.
Seorang kiai tua, yang kini dipanggil “Sheikh van Friesland”, menulis di jurnal pribadinya:
“Dulu mereka datang dengan kapal, kitab, dan mimpi menaklukkan. Kini kami datang dengan gravitasi, Google Translate, dan ingatan panjang tentang apa itu penjajahan. Kami tidak mengulangi sejarah. Kami mengeditnya.”
Dan entah karena cuaca, takdir, atau algoritma YouTube, suatu malam salju turun lebih deras dari biasanya. Para kiai duduk bersarung di tepi perapian, menatap ke luar jendela lumbung keju yang kini telah berubah menjadi pusat peradaban mikro. Seorang Kiai muda membuka laptop dan membaca komentar dari netizen Belanda: “Ik weet niet waarom, maar ik huil bij deze video van een opa die uitleg geeft over wudhu.” (Aku tak tahu kenapa, tapi aku menangis menonton video seorang kakek yang menjelaskan cara wudhu.) Para kiai tertawa kecil. Mereka tahu, sejarah sedang bergeser. Bukan oleh perang, bukan oleh traktat, tapi oleh video 60 detik dan secangkir kopi.
Maka mereka menutup malam itu dengan doa panjang, bukan lagi minta dikembalikan ke Indonesia, tapi agar sinyal internet tetap stabil dan dana kas cukup untuk beli mic baru. Sebab kini mereka tahu: jika kolonialisme dulu dimulai dari pelabuhan, infiltrasi balik ini cukup dimulai dari WiFi dan sepotong keju.
Diubah oleh tanmalako091539 Kemarin 22:57
0
15
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan